Zelda menuruni anak tangga masjid. Di tangan sebelah kirinya tergenggam kamus saku tebal 3 bahasa, buku yang kerap menemaninya ke mana saja. Bak sahabat karib. Sedangkan, tangan kanannya terlipat di depan dada, memeluk mesra kitab suci Al-Qur'an kesayangannya, kebanggaannya sebagai seorang muslim.
Hapalannya nyaris sempurna. Zelda melangkah menuju Bapenta akhwat, bermaksud menemui Umi. Dengan hapalan yang tinggal setengah juz lagi, Zelda justru merasa berat. Entahlah... tetapi sejak tadi sore, terutama ketika membaca Qur'an bersama-sama sebelum shalat maghrib, Zelda kesulitan berkonsentrasi dan itu berakibat tak bagus untuk semua hal dalam dirinya.
Satu menit menjadi waktu yang terlalu sebentar bagi seorang Zelda untuk sungguh hapal 10 ayat Al-Qur'an. Itu buruk, ia merasa kemampuannya menurun seketika. Dan ini semua jelas ada sebabnya.
Zelda mendekati Bapenta akhwat. Melangkah tak terlalu cepat menggunakan kedua kaki jenjangnya. Ia menarik napas dalam-dalam, menunduk, menatap setiap kerikil yang terinjak. Rasa yang baru, memang selalu tak nyaman. Asing. Dan Zelda tengah merasakan itu. Sedikit pelik memang, jika seorang hafidz hebat 29 juz yang nyaris menyempurnakan hapalannya mendadak luluh lantak dikalahkan oleh sebuah rasa.
Dari kejauhan, Zelda dapat melihat bagaimana Bapenta akhwat ramai oleh para wali murid yang tengah berada dalam suasana hangat, makan malam indah bersama buah hati tercinta. Saling mengobati rindu. Zelda tak sabar ingin bergegas sampai lalu berbincang bersama umi. Namun, tiba-tiba ragu menyerbu. Zelda menghentikan langkahnya. Mempererat Al-Qur'an dalam dekapnya, ia memutar arah. Mungkin sebaiknya ia ke asrama dulu, menunggu waktu shalat isya dengan belajar. Tak apa, tak menemui umi untuk kali ini, ia akan mengerti.
Zelda melangkah menjauhi Bapenta akhwat. Lagi-lagi oleh karena rasa itu. Zelda benar-benar terganggu. Untuk saat ini, Zelda tak mengerti harus ia apakan rasa itu agar mereda dan berhenti mengacaukan segala dalam dirinya.
***
Aldam tengah mengantri untuk mengambil jatah makan malam di matbakh. Di depannya, Said melakukan hal yang serupa. Satu menit saja mereka telat datang, makanan jelas sudah akan habis. Perbincangan menegangkan di ruangan Ustadz Thoriq memakan waktu cukup banyak. Rengekan perut sudah lama Aldam tak hiraukan. Kini ia tak tahan lagi, bersama Said makan di sebuah tempat duduk semen berlapis keramik di depan GOR.
"Di sini aja ya, Dam?" tanya Said menduduki tempat duduk semen berlapis keramik tersebut.
"Oh na'am," Aldam duduk di sebelah Said dan mulai melahap nasinya yang berlauk tahu, tempe, serta tumis toge.
Sunyi untuk beberapa detik.
Said membuka suara, "Gimana ya, Dam?".
Aldam menoleh, menatap Said, "Apanya?" alisnya terangkat.
"Jasus!" Said melanjutkan, "Mata-mata pondok. Itu tugas kita selanjutnya dari Ustadz Thoriq kan?".
Aldam menghela napas.
"Mana tugas buat persiapan khutbatul arsy aja masih banyak banget, belum selesai semua ya kan?" Said melahap sesendok nasi dengan tempe dan tumis toge.
"Ane juga tak tahu lah, Id. Dah tak dapat berkutik kita nih kalau Ustadz Thoriq bercakap, dah turun tangan. Kalau masih membantah, boleh jadi kita out dari pondok".
Said mengangguk mengerti.
"Tak terbayang oleh ane, macem mana abah dan ibu ane kalau ane dikeluarkan," Aldam menarik napas, "Anak pertama memang harus sempurna".
"Betul lah! Kalau anak pertama aja udah bejat, bagaimana anak-anak selanjutnya?" Said terkekeh.
Aldam mendecak, "Apalah ente nih, sama saja dengan ortu ane!".
KAMU SEDANG MEMBACA
[ON GOING] Goresan Larik Cinta Dalam Do'a
Novela JuvenilIslam itu kaffah. Sempurna dalam mengatur segala tatanan kehidupan. Bukan sebatas bagaimana caranya sholat-menyolati. Tapi juga, menceritakan seperti apa itu mencintai. Tentu cinta dalam kacamata yang sebenarnya. Bukan semata-mata nafsu yang menjelm...