3. About Time

66 21 22
                                    

"I'm okay."

"Don't say it again, Krisan," ucap suara lembut beraksen Yunani kental di seberang telepon.

"I'm okay, don't worry too much."
Sesaat terjadi keheningan, lalu terdengar isakan tangis. Menyayat hati Shawn.

"Be patient, my dear. Sebentar lagi, tunggulah."

"Yeah, you too." Shawn tak lagi sanggup berkata-kata, lidahnya terasa kelu. Suaranya tertahan sebatas tenggorokan.

Panggilan diputus sepihak, Shawn mengusap matanya cepat. Hampir saja ia mengatakan sesuatu yang seharusnya ia rahasiakan dari sang ibu. Tentang wanita yang telah menghina ibunya dan menjadi biang kesengsaraan hidupnya di masa lalu.

Biarlah ia menanggung beban penderitaan itu, ia rela. Sudah cukup air mata menetes, menangisi pria yang tak pernah mengasihinya.

Shawn menghela nafas, mengambil apron yang tergantung di ruang ganti pegawai kafe. Senyum tipisnya terukir menyambut pelanggan yang mengantri di depan stand barista.
Tersenyum penuh kepalsuan, begitulah caranya bertahan.

"Tanganmu ... apa baik-baik saja?" tanya Joshua, manajer sekaligus anak pemilik tempatnya bekerja.

"Yup," jawab Shawn.

"Nyaris kukira kamu mengikuti atraksi sirkus," celetuk Tomi, penjaga kasir.

Joshua dan Tomi tertawa, sedangkan Shawn tersenyum kecut. Bohong jika tangan kanannya tak terasa sakit saat digerakkan. Namun, ia tetap memaksa beraktifitas. Kerena dengan menyibukkan diri, perlahan waktu akan cepat berlalu tanpa memikirkan hal-hal yang kembali bermunculan dari masa lalu.

Faktanya, tanpa bekerja pun Shawn bisa hidup sangat berkecukupan. Ia terlahir di keluarga kaya raya, tetapi ia lebih suka menikmati hasil jerit payahnya sendiri, rasanya berbeda dan memiliki kepuasan tersendiri.

"Oh my ... itu ... apa dia artis Korea?" bisik Tomi, menatap seorang pelanggan perempuan yang duduk di dekat pintu.

Shawn mengikuti arah pandang keduanya, lalu diam-diam tersenyum miring.

Tak ingin menyia-nyiakannya, kedua lelaki itu langsung melancarkan aksi tebar pesona dan basa-basinya. Mereka nampak gencar menarik perhatian sang calon korban. Sayangnya, itu tak berhasil. Keduanya gagal total, mereka salah mencari incaran.

Shawn memangku wajah dengan sebelah tangannya, netranya menatap lurus ke arah perempuan itu.

"Seruni di tengah Antarktika." Deskripsi khusus Shawn untuk sosok perempuan yang tak lain adalah Seruni. Ia melepas apron hitamnya, meletakan di atas meja. Menghampiri Joshua dan Tomi yang berdiri di luar kafe. Keduanya sibuk menyesap rokok.

"Cantik, tapi dingin. So ... crazy!" ujar Joshua merasa menyesal.

"Kukira wanita seperti itu hanya ada di film, sifat dinginnya tak normal," timpal Tomi.

"Menyerah?" ucap Shawn sambil melipat tangan di depan dada.

Tomi menginjak puntung rokoknya, lalu menatap remeh pada Shawn.

"Alright, kami ingin melihat bagaimana seorang Shawn Ambrose menangani perempuan," tantang Tomi sekaligus merasa penasaran.

Joshua mengangguk-anggukan kepala. "Nah, kalau berhasil dapat bonus nomor ponsel adik perempuanku."

Sebelah alis Shawn terangkat. "Keep it for yourself."

Tomi menggelengkan kepala, tak habis pikir. Lelaki itu memiliki sifat terlampau kaku dan tidak memiliki selera humor. "Ah, sialan! Pantas saja pelanggan perempuan kafe ini merasa enggan denganmu, Shawn."

ILY SERUN! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang