Tak terhitung berapa banyak wartawan berkerumunan di halaman gedung pengadilan. Para petugas keamanan turut bersiaga di area jalan masuk lengkap dengan seragam hitam khas.
Di sisi lain, Dwinata bersaudara keluar dengan kepala tertunduk. Pakaian mewah yang biasa melekat, kini tergantikan oleh setelan khas tahanan. Terlihat sangat lusuh dengan wajah pias. Gelang emas serta cincin bertahta permata kini sebatas borgol nan dingin ketika bersentuhan dengan kedua tangan yang kusam.
Wartawan bak serigala kelaparan, menyerang mereka dengan beragam pertanyaan. Sorotan kamera bak senjata api dan lontaran kata-kata mereka bagaikan lesatan peluru.
Lidah kelu, perasaan malu mencapai puncak. Tak ada kalimat bantahan, tidak sedikitpun kata-kata terlontar.
Semua telah berada di titik terakhir, hancur seperti semestinya.
Tak jauh dari mereka, wanita yang masih berstatus bagian dari keluarganya berteriak. Melontarkan makian atas apa yang telah terjadi."Lihat apa yang telah terjadi, Sialan!"
Harta dan kekuasaan hasil merebut hak orang lain telah hangus. Tinggalah kenangan dan serangan balik dari pihak yang pernah tersakiti. Mereka tersudutkan, bak seluruh panah tertuju hanya ke arah mereka seorang.
Sosok lelaki tersenyum sinis, menonton wajah-wajah mereka dengan ekspresi menghina. "Ini tak cukup."
Keputusan hakim di pengadilan sudah menempuh titik akhir. Tidak ada lagi ajang debat maupun adu banding dari kedua kubu. Semua usai, walau beberapa pihak pelapor belum sepenuhnya merasa puas atas hukuman yang ditimpakan, mereka telah menerima apa adanya.
Sebagian juga berharap, para terdakwa dapat merenungi segala kesalahan yang telah mereka perbuat.Satu keluarga pelapor bahkan nyaris hilang kendali akibat emosi. Hanya nyaris. Hak yang sempat direnggut dikembalikan, walau itu turut perdampak kepada dua perusahaan besar seperti Bae Magazine dan Lycoris Corporation.
Tak apa. Keduanya merelakan segalanya yang menjadi hak orang-orang itu. Membangun kekuasaan dan mendapat kekayaan menjadi nomor kesekian saat ini. Cukup berfokus untuk menggegam cinta tulus yang telah diharapkan selama satu dekade lamanya, tentu tanpa kedua hal bersifat duniawi itu.
Kresna menghela nafas, dalam diam ia menyembunyikan kesedihan. Ia hanya dapat menatap dari kejauhan ketika kedua saudaranya digiring ke dalam mobil tahanan. Lalu, ketika kendaraan roda empat itu menghilang seiringnya rombongan wartawan mulai berkurang. Kresna memutuskan pergi untuk menemui kliennya.
Rasa sedih sedikit meredup, melihat senyuman hangat Shawn menyambutnya. Tak lupa sosok Tarissa memeluk erat tangan kanan sang anak.
"Apapun yang Anda inginkan, saya akan mengusahakannya sebagai balas budi," ucap Tarissa dengan seulas senyum.
"Melihat senyum dan kebahagiaan kalian sudah lebih cukup." Kresna mengeluarkan satu dokumen di dalam tas jinjing kulitnya. "Hak kalian."
Mereka berbincang cukup lama. Hingga matahari benar-benar tenggelam. Sinar rembulan beradu dengan gemerlapnya lampu-lampu di ibukota. Saling menjabat tangan, lalu berpisah. Satu untuk melanjutkan serta menata kehidupan baru, di sisi lainnya bersiap-siap menghadapi segala tantangan yang pasti selalu datang sebagai ujian dari Tuhan.
Setelah bergelut dengan perasaannya. Seruni akhirnya datang kepemakaman sang ayah, tidak lama. Namun, meninggalkan jejak yang membekas di batinnya. Kesedihan atas kehilangan, begitulah.
Ia abaikan ponselnya yang terus bergetar. Di luar, pesawat silih berganti datang dan pergi. Seperti kehidupan, luka yang datang lalu sembuh, kemudian kembali ke semula bak terjebak di sebuah lingkaran. Begitulah kehidupan, bukan?
Angin dini hari menerpa rambut kecokelatannya. Sesaat ini menoleh, ia merasakan sesuatu yang kurang. Namun, Seruni sadar itu tidak mungkin terjadi saat ini.
Sosok tersebut sudah pergi satu jam yang lalu, hatinya berkali-kali meruntuki sikap enggannya terhadap lelaki yang sudah mencuri hatinya.Entah itu disebut enggan ataukah canggung bercampur malu. Seruni merasa tak mampu menatap Shawn secara terang-terangan. Bahkan ketika pesawat lepas landas, pikirannya terbagi menjadi dua. Tentang sang ibu dan lelaki itu. Tetapi perlahan-lahan Shawn sungguh memenuhi isi kepalanya dengan cinta. Apa berakhirnya semua ini, secara tidak langsung menjadi sebuah perpisahan?
Seruni membiarkan jantungnya berdegup kencang, teringat ketika ketidaksengajaan membuat ciuman pertamanya terenggut. Lalu, semua kenangan yang ia habiskan bersama Shawn bak film terbaik yang hanya ada dipikirannya.
Cincin pemberiaan Shawn tersemat di jari telunjuk kanan. Kalung penuh kenangan dimodifikasi menjadi sebuah gelang. Kembali teringat tentang perjanjian di masa itu. "Mungkin kita seri, tetapi di pertemuan selanjutnya adalah penentuan."
Hana melirik Seruni tanpa berniat mengusik lamunannya. "Ah ... anak muda," ucapnya di dalam hati sambil mengulum senyum.
Seruni mengusap pelan cincinnya, sesekali melirik ragu sebuah buku harian di atas pahanya.
Tidak berselang lama, Hana merasa gemas untuk angkat bicara. "Apa ada seseorang yang mengisi hatimu akhir-akhir ini?"
Seruni yang tersadar, lalu menghindari kontak mata dari Hana ke arah jendela. "Entahlah," gumamnya.
Hana tertawa pelan. "Ah ... terdengar seperti hubungan tanpa kepastian."
Baiklah, walau ini adalah hari kesekian setelah satu dekade tak berjumpa, Hana sama sekali tidak berubah. Ia tetaplah seorang ibu yang sangat suka menggoda sang putri.
"Aku merindukan, Duty...," ucap Seruni tiba-tiba. "Mungkin juga tuannya."
"Apa kamu menginginkan kucing seperti milik putra Tarissa?"
Seruni tersenyum, lalu menggeleng cepat.
Hana kembali berkata, "Tunggu, kamu tidak menginginkan kucing itu tapi pemiliknya, bukan?"
"Come on, Eomma. Berhenti menggodaku." Ekspresinya berubah datar, tetapi jantungnya masih berdegup kencang dan perutnya bak dihuni jutaan kupu-kupu. Mengelitikinya lamtas meninggalkan sensasi aneh. Senang, penuh harap akan perasaan seseorang. Tak apa, bukan?
Seruni melawan keraguan, lalu mulai menulis kata demi kata di dalam buku itu. Ia memutuskan untuk menulis apa saja kenangan bahagia hingga pengalaman tak biasa yang pernah ia alami. Sedangkan, kenangan yang terbilang suram akan ia biarkan tetap tersimpan di hati.
Hidup harus tetap berlanjut walau terkadang pasti ada pada masanya ia akan mengingat hal-hal menyakitkan, Seruni yakin semuanya tak lagi sesakit di masa lalu. Mungkin ia tidak mampu bersikap hangat, apalagi menghilangkan sisi dinginnya yang sudah melekat sejak lama. Namun, setidaknya ia telah belajar dari sosok yang tak disangka, Shawn. Rasa peduli itu penting, tentu dengan cara berbeda tidak selalu sama setiap individu.
Bongkahan es yang terlihat abadi, tidak selalu membeku. Itu hanya terlihat bukan terbukti.
Terkadang, sosok yang sedingin salju memiliki hati sehangat mentari.Bersambung
11 november 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
ILY SERUN! [END]
RomanceBalas dendam mempersatukan Seruni Bae dan Shawn Ambrose. Lalu perasaan yang awalnya terasa asing perlahan-lahan membawa ingatan masa kecil keduanya yang jauh dari kebahagiaan. Ily Seruni.... Bukan cerita yang kental akan romansa....