Fourteen: Bloodstain

18 6 2
                                    

Ia berdiri di depan pagar hitam nan menjulang, ia tatap seseorang yang tengah berdiri di balkon. Petir berbunyi saling bersahutan membelah keheningan malam tanpa adanya sang hujan. Lolongan anjing penjaga layaknya melodi, kilatan petir bagaikan lampu sorot. Bau amis darah menusuk tajam indera penciuman, kameja putihnya berubah merah bermandikan darah. Bercak noda darah turut mengering menghiasi pipi.

Malam ini masih malam di bulan Januari, tetapi siapa sangka mereka bergerak lebih cepat dari yang ia duga. Seorang saksi nyaris mati dan kini tengah terbaring koma di rumah sakit. Sebuah usb berlumuran darah ia cengkram erat, seringai tipis menghiasi. Sebelum ia pergi, sepucuk surat bertinta merah ia selipkan di antara besi-besi pagar.

Beginikah rasa dari peperangan sesungguhnya? Lengah sedikit saja, nyawalah taruhannya. Licik dan licin. Apapun dilakukan untuk membekap mulut orang yang hendak mengungkap kebenaran. Di satu sisi ia merasa beruntung, tetapu di sisi lainnya ia merasa benci dengan diri sendiri. Teringat akan Jason yang terjatuh akibat mempertahankan barang bukti.

Teringat di hari itu, di hari saat ia menyusup masuk kedalam kantor presdir. Memporak-poranda seisi lemari, membakar surat dan berkas penting dan mengambil arsip rahasia berisikan bukti bahwa perusahaan memanipulasi saham milik orang lain serta uang investasi yang masuk ke dalam rekening pribadi. Nahas, di waktu yang nyaris bersamaan Jason datang. Mengnyalin data berisikan bukti-bukti penggelapan uang sebuah proyek ke dalam usb. Ya, ialah lelaki yang diduga sebagai anak itu. Anak yang mereka kira sang ancaman.

"Seharusnya ini tidak terjadi," ucapnya pelan. Ia berjalan tanpa tahu arah yang ia inginkan, hingga sebuah klub malam menarik perhatian. Ia melihat seseorang yang ia kenal masuk ke dalam.

Lagi, ia melangkah tanpa peduli bau amis di badan. Dentuman musik memekakkan dan bau minuman berakohol membuatnya pusing.
Ia bagaikan anak kucing yang tersesat ke dalam gerombolan anjing, ia sungguh asing dengan tempat seperti ini. Ini adalah yang pertama kali.

Melihat banyak perempuan berpakaian minim seketika membuatnya bergidik. Tempat maksiat seperti ini, mengapa masih diizinkan beroperasi?
Ia berjalan ke sisi kiri ketika melihat orang yang ia cari masuk ke sebuah pintu bertuliskan VIP, ia terus melangkah tanpa peduli berapa banyak orang yang ia tabrak. Namun, saat ia ingin meraih gagang pintu sebuah tangan lembut menahannya.

"Ini berbahaya."

Singkat, tetapi berhasil membuatnya terkejut. Ia balik menggenggam tangan itu, keduanya keluar dari tempat itu. Mereka bersembunyi ke sebuah bangunan kosong sekitar duaratus meter dari tempat itu. Hanya terdapat sebuah lampu yang menjadi penerangan, selebihnya sungguh gelap gulita. Karena awan hitam telah kembali menutupi sang rembulan.

Arlojinya menunjukan pukul dua belas malam tepat. Hawa dingin menusuk-nusuk kulit, bau amis tak henti-hentinya menyeruak. "Sebaiknya kita akhiri di sini saja, lupakan apa yang telahku katakan di hari itu. Cinta ternyata bisa menghambatku."

Wajahnya tak menampakkan raut sedih atau pun kecewa, datar. Begitulah keadaannya. Apakah ia kembali menjadi sosok yang dulu, lagi?

"Kurasa juga begitu, kuharap kamu tidak menyesalinya."

Ia membanting sapu hingga menimbul keributan beberapa orang yang berada di ruangan itu pun lekas pergi tanpa rasa peduli untuk menengahi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ia membanting sapu hingga menimbul keributan beberapa orang yang berada di ruangan itu pun lekas pergi tanpa rasa peduli untuk menengahi. Mereka takut akan amukan emosi lelaki itu.

Benar-benar munafik, bukan?
Menusuk dari belakang, namun saat berhadapan langsung, nyali ciut seketika. Ia cengkram pundak wanita itu, kilatan emosi terukir jelas di mata birunya. Buku-buku jarinya mengeras, tatapannya sungguh mengintimidasi. Siapapun akan menolak kontak mata dengannya. Termasuk wanita itu. Orang  yang menyebarkan isu jahat itu.

"Cinta, huh?" Shawn menatap wanita itu dengan raut wajah dingin, tak ada rasa kasihan melihatnya bergetar ketakutan. "Seharusnya kamu sudah tahu, kosekuensi atas apa yang telah tanganmu perbuat. Diam bukan berarti aku tidak mau tahu, aku hanya ingin melihat sampai di mana permainanmu itu."

Sungguh, ia nyaris hampir tidak percaya dengan apa yang Cantika lakukan terhadapnya dan Seruni. Ini bukan lagi bisa dikatakan sebagai cinta, tetapi obsesi. Obsesi yang membutakan mata hati dan naluri.
Bersikap seolah-olah paling tahu segalanya.

Ia mendekat, lalu membisikan kata-kata bernada ancaman.
"Dengar, jika fitnah itu tetap berlanjut ... aku tak segan melakukan kekerasan."

Shawn melepaskan cengkramannya, lalu pergi. Ia melakukan itu atas dasar rasa benci bukan sekedar rasa peduli. Bagaimana bisa sesama wanita tak dapat memahami?
Persis seperti sepuluh tahun silam, saat penghinaan terucap dari seorang wanita. "Wanita jalang!"

Ia mungkin sulit menerima rasa cinta dari wanita, tetapi bukan berarti ia tak menghargai mereka. Sekali lagi, melihat Seruni seperti melihat ibunya dulu. Korban fitnah dan penghinaan tanpa tahu letak kesalahan dan apa yang telah ia lakukan. Mengapa manusia tak fokus membenahi hidupnya sendiri?

Itu hanya menambah beban jika terus mengurusi hidup orang lain, sebuah kesia-siaan dan omong kosong.

"Bullshit!" Ia berdiri menatap jajaran gedung pencakar langit, hembusan angin menerpa rambut pirang yang mulai memanjang.

Apa semua itu akan berhasil?
Ia seorang diri dan mereka membentuk aliansi. Apa bukti yang ada padanya sudah cukup untuk meruntuhkan kekejian ini?
Mereka berkonspirasi dan ia terjebak di tengah-tengah. Antara si hitam dan putih, hatinya bagaikan abu-abu. Kebingungan. Apa semua itu akan berakhir?

Mengapa begitu sulit melakukannya, setelah melihat rasa penyelasan dari pria itu?
Apa ia harus berhenti sampai di sini?

Shawn mencengkram kepalanya, kesal dan rasa benci membuatnya dilanda kebingungan. Ia bahkan belum memulai, tetapi mengapa rasa iba itu merasuki?

Ia menundukkan kepala, lalu melihat sebuah sobekan foto seseorang yang tak asing baginya. Sangat mirip dengan Seruni, dari senyum manisnya hingga rambut kecokelatannya itu. Ia memungutnya, kemudian tersadar.

Wanita itu bukanlah sosok asing.
Wanita itu adalah seseorang yang sering sang ibu ceritakan hingga ia tertidur. Sahabat baik sang ibu, wanita yang bernasib sama. Ya ibunya, Tarissa Lycoris Ambrose. Ibu kandung Shawn Daneil Krisan Ambrose.

Wanita itu, Bae Hana . Ibu dari seorang wanita muda bernama Seruni Adriani Bae.
Kebetulan atau takdir?
Mereka berlari di lingkaran yang sama. Tanpa tahu sama lain dan nyaris lupa akan janji di masa lalu.

"Aku tidak lupa, aku hanya ingin melupakannya sekarang."
Hatinya sekeras batu, jantungnya sedingin antartika. Walau cinta mulai dirasa, ia selalu menampiknya.
Tak menyadari seseorang dalam diamnya merasa tersakiti.

Hari ini, karena wanita munafik itu. Rasa nan asing itu memudar, terbelah layaknya foto digenggamanya.


Bersambung

04-02-20

ILY SERUN! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang