Sixteen: Night Time

14 5 1
                                    

Waktu terasa melambat, jalan yang mereka pijak dirasa begitu jauh dari boasanya. Keduanya terjebak di belunggu tanpa jarak. Ingin menjauh, tetapi selalu mendekat.

Shawn bergumam, ia larut dalam alunan melodi, mengabaikan rasa penat akibat menggendong Seruni.
Tak ada taksi atau kendaraan lewat, jalanan komplek sungguh sepi. Shawn sengaja memutar jalan untuk menghindari Bianca dan Tasya. Walau itu melelahkan, rasanya ia senang berada di posisi seperti ini.

Hening, tetapi tak merasa kesepian.
Lalu, langkahnya terhenti di sebuah taman bermain. Ia tersenyum, teringat penjanjian konyol sepuluh tahun silam.

Seruni mengedipkan mata beberapa kali, ia baru saja tersadar.

"Taman ini lagi ... apa gadis cengeng itu akan kemari?" gumam Shawn.

Seruni memberontak, sebuah pukulan kecil ia layangkan ke kepala Shawn.

Ia berjongkok, menurunkan Seruni. Lalu duduk di salah satu ayunan. Ia menggerak-gerak kaki bagaikan anak kecil tengah bermain, seulas senyum tipis terukir melihat Seruni turut duduk di ayunan. Beberapa menit terdiam, isakan tangis terdengar. Shawn menggigit bawah bibirnya, apa Seruni sedih karena teringat masa lalu?

"Hidup memang kejam, tetapi kalau kita hanya menangis meratapi, apa semua akan berubah?" ucap Shawn.

"Apa kamu mengenal, Dwinata?" tanya Seruni sambil mengusap air matanya. "Dia mengusir Ibuku," sambungnya.

Shawn menggaruk tengkuknya. "Aku punya satu, dia layaknya guru bela diri bagiku. Namanya Maria Dwinata, si wanita aneh dari dunia halusinasi."

"Jika suatu hari kita bertemu kembali, apa kamu ingin bergabung membentuk aliansi konspirasi sepertu di film-film aksi?" sambungnya, seulas senyuman miring terukir.

Seruni menatap lekaki itu. Waktu benar-benar mengubah segalanya. Anak berpipi chubby itu telah lenyap termakan waktu, secara fisik banyak yang berubah dan mungkin juga sifatnya. Ia mempunyai pesona tersendiri, terlihat urakan, tetapi juga mempunyai sisi lembut yang terkadang tak ia sadari.

"Jangan menatapku seperti itu ... aku merasa terintimidasi." Shawn mengusap-usap tengkuknya, pura-pura merasa merinding.

Seruni melipat kedua tangan di depan dada. "Secara fisik kamu berubah, namun sifat kekanakanmu masih melekat. Aneh!"

Shawn menyeringai. "Lalu bagaimana denganmu, masih menangis?"

"Menangis itu manusiawi!" ketus Seruni.

Shawn memicingkan mata. "Ngomong-ngomong, kita impas."

"What do you mean?"

"Never mind."

Seruni bangkit, ia melemparkan sebelah sepatu pantofelnya pada Shawn. Namun, meleset dan masuk ke dalam semak-semak.

Shawn menggeleng. "Ternyata Seruni mempunyai sisi penasaran yang tinggi. Aneh!"

Seruni memijit pelipisnya pelan. "Shut up!"

Keduanya benar-benar lupa dan larut ke dalam memori lama. Mereka layaknya sepasang anak di sepuluh tahun silam, masih buta akan cinta.
Berlari-larian saling mengejar, taman itu layaknya milik pribadi.

Tidak selama Seruni anti bersosialisasi, itu semua tentang rasa nyaman dan kepercayaan. Yang mana dua hal itu ia temukan dalam diri Shawn. Dan lelaki itu tak selama memikirkan rencana untuk membalaskan dendam.

"Ngomong-ngomong, bagaimana rasanya jatuh cinta?"

"Cinta itu tidak sesederhana yang kita pikirkan, sangat sulit untuk dijelaskan lewat ucapan," jawab Seruni.

ILY SERUN! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang