Nine: Feeling

38 14 17
                                    

Terduduk ia dengan tatapan malas, semua yang ada di ruangan itu sibuk mengatur strategi layaknya akan menghadapi peperangan besar.
Tidak sadarkah mereka bahwa situasi mulai berubah?

Usianya telah memasuki kepala lima, cepat atau lambat ia akan mati. Rasa takut terus membayanginya, apa ia akan berakhir di sini?
Ia menyesal, tetapi tak dapat melarikan diri. Lebih tepatnya tidak tahu caranya keluar dari jalur kesengsaraan ini. Teringat peristiwa sepuluh tahun silam, saat ia menguras habis hak seseorang dan menelantarkannya bagaikan hewan peliharaan. Disayang saat dirasa masih berguna, dibuang setelah di kuras habis kekayaan serta kebahagiannya. Ia tatap wajah tanpa rasa bersalah itu, apa mereka tidak menyadari seberapa banyak dosa yang telah mereka perbuat?

Harta dan kekuasaan ini terasa hampa, tak seindah dulu. Uang menambah beban di pundaknya, tetapi bagaimana caranya agar bisa keluar dari jalur iblis ini?

"Ada banyak orang asing di negri ini, bagaimana bisa kita menemukannya?" ucap Adi, adik iparnya.

"Gunakan kekuasaan yang kita punya, anak itu hanya seorang diri di luar sana," jawab sang istri, Maria.

Sesak, siapapun tolong orang itu?
Ia kembali teringat akan sosok wanita berdarah Yunani di masa lalunya. Terkenang pada dirinya yang berpura-pura selalu ada di sisinya dan mencintainya, tetapi berbalut dusta. Menyebarkan fitnah dan menghancurkan rumah tangga wanita itu seketika. Masih pantaskah ia hidup?

"Kalian semua akan merasakan rasa sakit yang menusuk hingga ketulang!"

Ya, ia telah merasakannya. Sakit yang tak dapat diobati, rasa sakit yang membuatnya gelisah tidak terkira. Takut bercampur duka, ingatan itu sungguh membuatnya gila. Memikirkan untuk apa semua kekayaan ini, jika tak sedikit pun ia merasa bahagia.

"Bunuh saja, apa sulitnya?"

Hatinya terasa dipukul martil. Tangannya mengepal kuat, wajahnya memerah menahan amarah.
Keluarga busuk ini, harta dan kekuasaan penuh kepalsuan akan hancur tak lama lagi.

Tawa mereka menggema, hanya ia satu-satunya berdiam diri sedari tadi. Sadarkah mereka tengah tertawa di atas penderitaan orang lain?
Bisakah mereka menyadari bahwa ia lelah hidup seperti ini?
Mereka akan kalah dan jatuh ke tanah penuh penghinaan, terbelunggu di lautan dosa keangkuhan.

Tentang anak itu, salah satu alasannya untuk berhenti dan mencoba lari dari jalur memuakkan ini. Di depan matanya, ia menyaksikan siksaan yang ditimpakan pada anak tersebut. Tanpa rasa bersalah, apalagi berniat untuk melindungi. Kemanakah rasa manusiawinya saat itu?

Anak itu bukan darah dagingnya, tetapi mengapa mampu mengusiknya setiap malam?

Kembali teringat, di akhir bulan Juli. Anak itu tak menjerit atau memperlihatkan raut menahan kesakitan. Kedua lengannya berdarah bekas sayatan silet, tatapan lurus penuh misteri menatapnya di heningnya malam. Sewadah air garam disiram ke atas lukanya, ia masih berdiri di sana tanpa bergeming sedikitpun. Darah bercampur air garam itu dibiarkan mengalir begitu saja, seperti rasa sakit di dadanya.

Dingin. Tatapannya begitu dingin, mengintimidasi hingga menusuk relung hati. "Rasa sakit ini tidak mampu menandingi sakitnya melihat air mata Ibuku yang terjatuh menangisi seorang pendusta."

Pukulan mendarat di punggung kecilnya, setiap ia terjatuh dengan cepat ia bangkit kembali. Sanggupkah jika suatu hari ia merasakan hal yang sama dengan anak itu?

Setiap anak itu membantah, berteriak dan menolak. Siksaan dilayangkan ke tubuhnya yang penuh lebam. Tak sedikit pun memberi jeda kesembuhan, anak itu terjebak tetapi sama sekali tidak merasa terdesak. Ia masih bisa tersenyum licik dan mengangkat kepala dengan angkuhnya.

Tersadar waktu berjalan begitu cepat, rasa yang ia rasakan saat ini tidak sebanding dengan apa yang telah orang-orang itu derita.

Langit malam ini tak menunjukan sinar bintang, gemuruh hujan mengusik indera pendengaran. Akankah ia menemukan jalan mencari sinar untuk menerangi kekelaman di rumah ini?

Kedua tangannya berbalut perban, ada jejak pudaran lebam di ujung bibir sebelah kirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kedua tangannya berbalut perban, ada jejak pudaran lebam di ujung bibir sebelah kirinya. Shawn diam, mengabaikan Seruni yang terus mengikuti langkahnya.

Ia tak ingin larut ke dalam rasa yang pasti akan dirasakan manusia itu, ia takut. Ia masih takut akan cinta. Rasa penasarannya atas Seruni membawanya kedalam perasaan nan rumit ini.Ia menghentikan langkahnya, tatapanya jatuh pada sebuah mobil sedan mewah yang terparkir tak jauh dari motornya. Mobil yang hampir menabraknya hari itu.

Seorang wanita empatpuluh tahunan keluar dari pintu belakang. Parfum mahal menusuk penciuman, Shawn tersenyum miring. Wanita itu tersenyum tipis ke arahnya, lalu berlalu pergi.

"Dia tak mengenaliku, bukan?" tanya Shawn, entah dengan siapa.

"Apa itu penting?" ketus Seruni.

Shawn beralih menatap wanita muda itu. "Ah, sekarang Seruni menjadi seorang penguntit."

Ia tertawa pelan, terdengar begitu mengesalkan di telinga wanita muda itu. Seruni merebut kunci motor dari genggaman Shawn, tetapi gagal. Bukannya, ia meraih kunci, keadaan justru berbalik. Lelaki berambut pirang itu menarik tangannya pelan hingga membuat wajahnya membentur dada bidang Shawn.

Kedua tangan itu memeluknya erat, seketika membuat jantungnya meronta. Hangat. Ia suka kehangatan yang berasal dari Shawn.

"Aku merasa menyesal ... membuatmu merasakanya. Aku belum bisa menerimanya." Suaranya terdengar lirih, tak setegas biasanya. Pelukannya semakin erat. Shawn tidak tahu mengapa ia melakukan ini, tubuhnya bergerak tanpa diminta. Apa ini yang dinamakan rasa peduli?

Mengapa begitu sulit melepaskannya?
Rasa nyaman itu benar-benar memabukkan. Ia menatap wanita muda beriris cokelat itu, sebuah ciuman mendarat di pipi.

Seruni tersenyum miris. "Apa maksud semua ini? Apa kamu akan meninggalkanku lagi? Mengapa kamu datang dan melahirkan rasa ini?"
Ia menangis, menumpahkan kekesalan dan kesedihan yang ia tahan sejak kemarin. Shawn membuatnya frustasi. Tentang cinta dan rasa suka yang tak seharusnya datang mengisi hatinya nan sepi.

Apakah Shawn, di masa lalu mereka mengikat janji?
Apa hanya Seruni yang mengingat memori itu dengan baik saat ini?

Seruni telah mencoba untuk tidak peduli dan menarik diri dari Shawn, tetapi semakin ia menjauh, rasa tersebut semakin tumbuh membesar.

Apa ia jatuh cinta dipandangan pertama? Entahlah, rasa cintanya kepada Shawn tak dapat terdeskripsi. Cinta itu datang mengisi hati tanpa permisi.

Rasa yang ia rasakan tak semanis cerita romantic, tidak pula sesakit tertusuk duri. Ini cinta yang memang lahir dari hati, tanpa alasan datang menghampiri. Apa Shawn turut merasakannya?


Bersambung

01-02-20

ILY SERUN! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang