7. Necklace of Memories

42 15 21
                                    

Kedua tangannya lebam bekas pukulan, terlihat pula luka sobek di bibir bekas tamparan. Ia masih kecil dan sudah menanggung beban yang orang dewasa pun bisa saja tak mampu menahan.

Waktu menunjukan pukul sembilan malam, taman benar-benar kosong dari pengunjung. Anak laki-laki itu duduk di ayunan, mengabaikan rasa sakit yang terasa menusuk hingga ke tulang. Tak ada air mata saat ia menyadari hidupnya telah berubah, menangis bukanlah hal yang tepat untuknya. Jadi ia hanya diam, membiarkan sosok anak perempuan yang duduk di sampingnya menangis tersedu-sedu. Manusia mempunyai cara tersendiri meluapkan kesedihan, entah itu menangis atau hanya terdiam.

Ya, begitulah kehidupan. Ia memang diam, tetapi hatinyalah yang tengah menangis. Menangisi mengapa ia bisa terlahir dengan segala cobaan hidup seperti ini. Ia masih kecil saat itu, jadi ia tidak terlalu mengerti.

Setiap kali ia berteriak atau pun mencoba menghindari, sebuah pukulan dan tamparan dilayangkan ketubuhnya. Apa itu manusiawi?
Orang-orang hanya diam menyaksikan, alih-alih menolongnya terbebas. Masih pantaskah mereka di sebut sebagai manusia?

Dinginnya malam tak mampu mengalahkan dinginnya tatapan orang-orang kepadanya. Tatapan penuh penghinaan dan tidak ada rasa iba sama sekali.

"Anak Sialan!"

"Anak Haram!"

Pantaskah perlakuan itu ditimpakan kepada keduanya?
Bisakah mereka menerima keramahan, walau selayaknya orang asing di tengah-tengah orang yang mereka sebut keluarga?

Tanpa sepatah kata, langkah gontai terpincang-pincang. Mereka terpisah di dua jalur yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang sama. Mencari sisa sumber kebahagiaan yang entah ada di mana dan siapa. Sebuah kalung berinisial ia genggam erat, netranya menatap punggung anak laki-laki itu di persimpangan jalan. Berharap suatu saat nanti mereka akan bertatap muka dan saling berbagi kisah menyayat hati.

Tak ada kata maaf saat ia membuat kesalahan dan tak sedikit pun rasa bersalah membayangi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak ada kata maaf saat ia membuat kesalahan dan tak sedikit pun rasa bersalah membayangi. Rasa sakit hati merubah dirinya seketika. Tatapan kebencian orang-orang terhadapnya tergantikan oleh rasa ketakutan.

Ia adalah ancaman. Seringai tipis dan tawa meremehkan menghiasi ruangan bernuansa klasik. "Setelah sekian lama...."

Tak sedikit pun ia merasa segan, kepalanya selalu tegak dan sifat angkuhnya mendominasi obrolan.
Ini adalah momen di mana ia datang atas kehendak dirinya sendiri, bukan paksaan atau diculik seperti beberapa tahun silam.

"Kita akan mulai dari awal," ucap pria itu.

Seorang lelaki kembali tertawa. "Hanya saya seorang yang akan memulainya dari awal."

Bendera peperangan baru saja di kibarkan, waktu terasa berdetak lebih lambat. Pria itu merasa terancam, ketakutan akan kehilangan segalanya memenuhi lubuk hati.
Egois, begitulah dirinya.

"Rumah sialan ini dan keluarga laknat ini ... suatu saat hancur tanpa tersisa. Kalian semua akan merasakanya, betapa sakitnya penghinaan. Terasa menusuk hingga ke tulang."

ILY SERUN! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang