Hari Sial -6

196 35 7
                                    

Minji hanya pergi berdua dengan Aera hari ini. Kantin terlalu menyesakkan jika Minji harus duduk dengan San dan Wooyoung, yang notabene adalah alasan mengapa Minji merasa marah. Marah karena San memiliki teman brengsek seperti si cowok tiang pagi tadi.

"Lo masih belum jawab pertanyaan gue. Yunho. Lo beneran pacar dia?"

Dan, ini adalah alasan lain mengapa Minji enggan pergi dengan San atau Wooyoung. Mereka pasti mengoceh hal yang sama dengan Aera.

Menghela napas, Minji mensedekapkan tangan di meja, menatap Aera lamat-lamat. "Lo tahu, kan, kalau kita udah sahabatan selama tiga tahun? Dan lo juga tahu kalau temen gue cuma lo doang. Menurut lo kalau gue punya kabar apa-apa, yang bakal pertama gue kasih tahu siapa?"

"Bokap lo?"

Minji menggigit bibir bawahnya kesal. Oke, selain suka marah-marah dan bacot tidak jelas, kelebihan Aera yang lainnya adalah lemot. Iya, terkadang Aera lemot kebangetan, apalagi di jam-jam makan siang seperti ini.

"Makan, Ra. Makan." Minji hanya bisa bersabar akhirnya. "Jangan lupa minum yang banyak, biar otak lo jalan lagi."

Aera merengut. Merasa tidak ada yang salah dengan ucapannya. Minji memang anak Papa. Apa-apa Papa, apa-apa Papa. Kalau ada hal apa pun yang pertama kali dia datangi ya papanya.

"Hai, Minji?"

Minji mengerutkan kening begitu perempuan tinggi dengan rambut cokelat terang menghampiri. Di sisinya seorang siswi lain menemani, dengan riasan wajah yang sama-sama berlebih untuk ukuran anak sekolah. Wajah-wajah yang familiar. Mungkin dari kelas sebelah? Yang pasti bukan teman kelasnya. Karena Minji hafal semua wajah teman-teman sekelas, meski tidak tahu secara tepat nama mereka semua.

"Boleh gabung?"

Minji menatap Aera, bertanya lewat isyarat tentang siapa gerangan cewek itu. Melihat Aera yang bungkam, Minji hanya bisa menghela napas dalam. Oke, mungkin dia hanya orang yang biasa bersikap sok dekat ke siapa pun.

Kedua siswi itu duduk, menyimpan mangkuk bakso mereka. Namun bukannya segera makan, kedua orang itu malah menatap Minji secara terang-terangan, membuat Minji risi.

"Kenapa?" Minji bertanya, karena sudah tidak tahan dengan kecanggungan berlebih yang terjadi.

"Lo pacarnya Yunho?"

"Yunho?" Minji bertanya bingung. Ia sering mendengar nama itu. Tapi tidak yakin orangnya yang mana. Tapi begitu pertanyaan Aera tadi melintas di benaknya, Minji ngeuh. Yunho, cowok brengsek yang tadi pagi mencium pipinya.

"Ah, lo ke sini penasaran terhadap hal itu?" Minji tersenyum singkat. "Nggak. Gue bahkan gak kenal dia. Kejadian tadi pagi cuma salah paham."

Minji berusaha mengabaikan, dan kembali memakan makan siangnya. Rasanya tidak nyaman membicarakan orang yang membuatnya kesal di saat ia harus mengisi perutnya.

"Lo serius?" Pertanyaan itu membuat Minji menjatuhkan sendoknya dengan keras. Mengundang beberapa orang menatap ke arahnya. Termasuk rombongan siswa yang baru saja masuk.

"Memangnya wajah gue kelihatan becanda?" Minji menatap lurus. Ia benar-benar sangat marah sekarang. Setelah berusaha melupakan kejadian tadi pagi, orang-orang malah selalu mengingatkannya.

"Oh, oke. Bagus kalau gitu." Cewek itu mengangkat sebelah alis dan menyunggingkan senyum miring. "Abisin makan siangnya. Gue duluan."

Minji memejamkan mata, kembali menekan emosinya setelah kepergian dua manusia itu. Baiklah. Selama ini Minji selalu berhasil mengendalikan diri. Jangan sampai hanya karena masalah ini dia lepas kontrol dan kebarbarannya kumat.

"Ji, Inha ngelabrak lo?" San datang, duduk di sisi Minji.

"Lo gak digampar Inha, kan? Dia mantan pacar gue." Satu manusia lainnya duduk di hadapan Minji dengan tenang.

Dan, Minji benar-benar tidak tahan sekarang. Melihat wajah tanpa dosa yang berada tepat di hadapannya.

"Lo gak denger tadi pagi gue bilang apa?" desis Minji. Menatap cowok berbahu lebar di hadapannya.

"Lo suka gue?"

Minji terbelalak. Tak habis pikir dengan manusia tersebut.

"Lo pasien rumah sakit jiwa, hm?" Minji mengepalkan tangan di atas meja. Emosinya benar-benar membuat Minji ingin meledak.

"Gue juga suka lo."

Satu kalimat yang membuat kepala Minji semakin mendidih. Minji menggigit bibir bawahnya keras-keras, pun dengan kepalan tangan yang semakin kuat sampai kuku-kukunya menekan kulit sangat dalam.

Berdiri, Minji menghabiskan es teh miliknya dalam satu tegukan. Kemudian meninggalkan kantin sebelum ia benar-benar akan membunuh Jeong Yunho.

*

Yunho makan dengan lahap, tak peduli dengan ocehan San di sisinya. Atau pun celotehan Mingi yang malah mengompori Yunho untuk terus mepet Minji.

Wooyoung sama sekali tak peduli. Dia hanya asyik makan dengan Yeosang. Dua manusia yang kenal sejak zaman embrio itu memang selalu bungkam jika sudah dihadapkan dengan makanan.

"Pokoknya gue udah ngomong sama lo. Jangan sampai beneran mepet Minji!" peringat San untuk terakhir kali.

"Emangnya kenapa, sih? Yunho kan gak malu-maluin dijadiin adek ipar, San?" Mingi terkekeh menyebalkan. "Atau kalau Yunho ga boleh, gue aja. Gimana?" Mingi menaik-turunkan alisnya sok cakep.

"Langkahin dulu mayat gua, kampret!" San mengangkat dagu, kemudian menggerakkan tangannya di depan leher, memberi peringatan 'mampus'.

"Aw, San serem," ledek Mingi dengan suara yang sengaja dilengkingkan. "Tapi cocok tahu. Mingi, Minji. Nanti nama panggilan kita Gigi sama Jiji. Utututu, lutu tekali."

"Bangsat, Mingi!" Wooyoung yang sedang mengunyah auto menyemburkan makanannya mendengar celotehan sialan Mingi. Kemudian ngakak lama, receh sekali. Yang ditertawakan juga ikut tertawa heboh. Memukul-mukul meja. Berisik. Sampai orang-orang menatap aneh terhadap mereka. Untung ganteng-ganteng.

"Ketawa aja ketawa kalian!" keluh San sebal. "Jangan ada yang macem-macem sama Minji pokoknya. Apalagi lo, Song Mingi! Fakboi cap kadal buntung! Urus aja pacar lo yang ada di setiap penjuru sekolah!" San menendang kaki Mingi di bawah meja. Membuat Mingi meringis.

"Candaan doang, goblok." Mingi mengusap kakinya yang nyeri. Tapi masih ngakak. Ya kali, tendangan San emang mantep. "Gue juga punya otak kali. Masa mau mainin perasaan adek temen gue sendiri? Nunggu sukses aja gua mah, entar tahu-tahu dateng ke rumah lo ngajak Minji kawin."

"Emang bakal sukses?" timpal Yunho. Mingi jadi ingin misuh mendengarnya.

"OKE. Bukan temen gue lagi lu!"

"Emang kapan temenan?" Yunho sengaja menggoda.

"Yunho mah emang jingan." Mingi memutar bola mata malas. Yunho-nya ketawa ganteng.

"Tapi godain Minji asyik juga," celetuk Yunho, tersenyum lebar seperti idiot.

San hanya menghela napas panjang. Memang memiliki teman seperti mereka butuh kesabaran ekstra.

***

Thantophobia▪️ATEEZ YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang