Kolom komentar disediakan untuk lapak kritik, saran, dan hujatan💞
- pacar yunho -Happy reading!
***
"Kalian gelut apa gimana, sih? Sampe babak belur begini. Parah."
"Gelut ndasmu, San!"
"Mata lo udah kayak bajak laut, Ho. Keren."
Yunho sudah tahan-tahan dari tadi untuk tidak menempeleng makhluk bernama Song Mingi yang asyik ngakak menertawakan kenahasan yang menimpanya.
Untung Yunho sudah menyetok stok sabar yang dibeli dari si oren.
"Kenapa nggak tanya adek lo yang punya kekuatan super itu, San?" keluh Yunho memicing pada Minji yang juga tengah diobati Aera.
"Heh, sutet! Mau nyalahin gue? Orang lo yang mesum!" desis Minji marah. Tapi sebisa mungkin dia menahan diri untuk tidak menghampiri sosok Yunho dan menempelengnya.
"Hah? Mesum?!" San membulatkan mata, tangannya yang sedang mengompres mata kanan Yunho dengan es batu otomatis menekan keras wajah Yunho hingga pemuda itu hampir ngejengkang.
"Anjeeeeng, San! Kira-kira aja, dong! Ini muka gua bukannya membaik malah makin bonyok!" Yunho menepis tangan San dan melindungi wajahnya yang berdenyut sakit terutama di bagian mata kanan.
"Ya, elu ngapain Minji, ha? Mesum apaan?"
Semua mata sudah memicing-micing ke oknum bernama Jeong Yunho dan Choi Minji. Dua orang yang dimaksud malah menghela napas berat.
"Ji, Minji... kenapa lo menimbulkan fitnah berkepanjangan, sih, allahu akbar. Mau lo kita dikawinin muda?" Yunho mengeluh dengan suara semelas mungkin. Kaki-kaki panjangnya ditekuk, bersila di atas sofa.
Minji yang subhanallah amat ngenes dengan kicauan Yunho, meraih bantal sofa di sisinya dan melempar benda itu ke arah Yunho yang kebetulan berada di seberang.
"Kawin mata lo katarak!" desisnya.
"Nggak apa-apa katarak. Masih ganteng."
"Gangguan telinga."
"Aduh, nggak jadi kesel gua sama lu, Neng. Gemesin soalnya kalo marah. Nggak kuat."
"Astaghfirullah, halalkan hamba untuk membunuh salah satu manusia abstrak ciptaan-Mu, Tuhan. Hamba tidak kuat. Hasrat hamba untuk membunuh sudah di penghujung ubun-ubun." Minji sudah ancang-ancang mengambil pisau pemotong kue, tapi keburu dicegat San yang muak dengan tingkah mereka.
"KENAPA MALAH BERANTEM, SIH, KALIAN NAK DAKJAL!" San emosi. Melempar kompresannya asal ke lantai. Kemeja putihnya sudah digulung ke sikut memperlihatkan tangan-tangan penuh urat seorang atlet, wajah garangnya keluar. Yang lain auto mundur. Takut terjadi baku hantam.
"Santai-santai, Bro!" Wooyoung berusaha menenangkan, meskipun kentara banget wajahnya panik.
"Ebuset, gue disuruh santai di saat ini anak gadis sama manusia setengah bujang barusan bicara soal kata 'mesum'? Ini anak kalo bunting yang kena damprat bukan dia doang!"
Minji benar-benar tercengang mendengar ocehan San yang terlalu jauh. Segera dia berdiri meski badannya masih sakit semua.
"Bodoh banget lo, San! Ngapa juga gue harus bunting sama temen lo yang tingginya mirip sutet itu?" Minji sama saja tidak bisa nyantai. Malah bisa-bisanya dia menimpuk punggung San, padahal tangannya kan lagi sakit?
"Abisnya lo ngomong ambigu banget, nggak dijelasin pula. Ya wajar, dong, gue nethink mikir sampe sana?" San mencebik kesal.
"Iya juga, sih. Kalian berdua yang ambigu dari tadi," gumam Mingi manut.
Untungnya pesta sudah bubar ketika keributan itu terjadi. Dari tadi, sih, bubarnya. Untungnya juga orangtua Aera sedang berada di ruangan lain. Jadi pertengkaran dengan bahan pembicaraan absurd ini tidak terdengar.
Minji menghela napas pasrah, kemudian menjelaskan kronologis kejadian sebenarnya. Barulah orang-orang itu ngeuh.
"Salah lo, sih, Ho. Ngerdus nggak lihat sikon." Mingi paling demen memojokkan Yunho.
"Tapi Minji salah juga, sih, main kekerasan. Jadinya kan kecelakaan, tuh." Wooyoung tim minta dibantai Minji.
"Ya udah, ribut terus. Kepala Yeosang pusing ini."
Akhirnya satu manusia yang dari tadi menyimak sambil menguap--untung nggak sambil nyamil kacang--bersuara.
"Hooh. Kapan balik, dah? Udah hampir jam sebelas."
"Ya udah, hayu balik. Lo bisa kan bawa motor?" Mingi nanya ke Yunho.
Meskipun dia yang ngakak paling kencang tadi, tetap saja sebenarnya dia peduli pada secarik Yunho yang merupakan teman sepermainannya sedari bocah.
"Iya, bisa," Yunho membalas singkat kemudian beralih ke Minji. "Ayok, Neng!"
"Nggak, ya. Gue mending nungguin ojol sampai lumutan! Balik sana lo!"
Galak. Yunho sampai kicep.
***
Esoknya, benar saja Minji dan Yunho datang ke sekolah dengan mengenaskan. Yunho paling parah, sih. Jelas banget soalnya mata dia bengkak sebelah. Kalau Minji mentok-mentok jalan pincang sambil terus megang lengan atasnya.
"Choi San! Jangan cepet-cepet, elah. Ini gue kesakitan. Bantuin!"
San yang sejak tadi berjalan di depan tanpa menghiraukan Minji akhirnya berbalik, lantas menghela napas menatap keadaan saudaranya tersebut.
"Sini pegangan." San menyodorkan lengan kokohnya, yang lalu disambar Minji.
"Gini, kek, dari tadi. Nggak peka banget," gerutu Minji menyengir lebar.
Keduanya berjalan berdampingan menuju kelas. Sudah bukan rahasia lagi untuk masyarakat kelas dan sekitar jika San dan Minji adalah saudara. Mungkin hanya sebagian warga sekolah yang tak kenal mereka yang menyangka mereka memiliki hubungan khusus.
"Ji, lo sama Yunho beneran nggak ada apa-apa?" tanya San tiba-tiba, membuat Minji memicingkan mata padanya.
"Lo beneran nanyain itu ke gue?"
"Iya. Gue harus tahu."
"Menurut lo, emang kita kelihatan punya hubungan kayak gitu?" Minji balik bertanya sarkas.
Terdengar helaan napas San yang diiringi senyuman tipisnya. "Ya, gue nggak tahu. Tapi gue harap lo jaga diri, lo harus bisa milih orang yang pantes, yang bener-bener sayang sama lo kayak gue. Jangan sampai lo terluka, Nji."
"San..."
"Hm?" San menoleh sedikit ke samping kanan.
"...gue merinding." Minji bergidik.
"Kenapa? Lo lihat hantu?" tanya San bingung.
"Iya. Hantunya lo." Minji berdecak. Sedangkan San mengkerutkan alis bingung. "Lo kesurupan apa, deh, San? Tumbenan bijak gitu? Biasanya gue yang selalu nasehatin lo, seolah-olah lo yang jadi adeknya di antara kita."
San tergelak mendengar ucapan Minji.
"Heh, ya emang gue blangsak kadang-kadang. Tapi kalo lo lupa, gue orang terdepan yang selalu pasang badan tiap ada orang yang nyakitin lo. Nggak nyadar emang?"
Minji berpikir sejenak. "Nyadar, sih," katanya.
Memang benar. Selama ini San selalu menjaga dan melindunginya. Meski fisik Minji kuat, tetapi hatinya tidak. Sejak kecil, Minji susah bergaul. Teman satu-satunya adalah San. Dia yang selalu menjadi apa pun untuk Minji. Jadi abang, jadi adik, dan jadi sahabat di saat yang sama.
Saat anak-anak nakal mengganggu Minji sewaktu sekolah dasar, San yang rela dihukum setelah membuat memar di wajah anak-anak tersebut. San selalu maju paling depan untuk pasang badan, melindungi Minji dari apa pun. Ketika Minji terjatuh dari sepeda saat kecil di taman, San yang rela menggendong Minji padahal jarak dari taman ke rumah sangat jauh. San sesayang itu pada Minji. Minji pun demikian.
Meski tidak ada yang tahu, apa arti dari sikap keduanya. Arti dari sayang mereka yang sesungguhnya.
***