Park Seonghwa -7

208 33 8
                                    

"Gak balik bareng?"

Minji mengambil beberapa lembar kertas soal di meja, mengangkatnya di depan wajah. "Jadwalnya gue latihan," ucap Minji, tersenyum.

"Jadi gue pulang sendiri?" keluh Aera manja, mendusel-dusel kepala di tangan Minji.

"Wooyoung? Gak masih marahan, kan?" Minji menunduk, bertanya.

Helaan napas panjang Aera menjawab pertanyaan Minji. Baiklah, kemarahan Aera memang tidak akan reda begitu saja. Minji mengerti. Aera bergadang semalaman menunggu kabar Wooyoung setelah mereka bertengkar via telepon. Aera tidak suka saja Wooyoung membuat masalah, apalagi sampai membolos dan pergi ke sebuah hiburan malam. Dan Wooyoung sama sekali tak menggubris.

Bagaimana pun, Aera itu bucin garis keras. Terkadang dia posesif, tidak memperbolehkan Wooyoung melakukan beberapa hal. Banyak ketakutan yang hinggap di hati Aera ketika memiliki Wooyoung. Dia sadar bahwa dirinya tidak sebaik Minji dalam pelajaran, tidak secantik Nanhee mantan pacar Wooyoung, dan tidak sekaya Mina yang tahun lalu dikabarkan dekat dengan Wooyoung. Karena ketakutan-ketakutan itulah Aera terkadang bersikap berlebihan.

Minji paham meski ia tidak pernah ada di posisi Aera. Memang sulit memiliki pacar seperti Wooyoung. Yah, bisa dikatakan dia memang terkenal. Bukan hanya Wooyoung, tapi empat kawan lainnya juga, yang namanya tidak bisa Aera sebut satu-satu, terkecuali Choi San.

Wooyoung pemain basket andalan sekolah. Tidak begitu baik dalam hal belajar. Dibanding San, Wooyoung berada di bawahnya tiga angka. Tapi Wooyoung dari keluarga berada. Ayahnya atasan Papa Minji di kantor. Soal paras, tidak usah ditanya. Makanya Aera sangat ketakutan Wooyoung berpaling. Gadis-gadis di luar sana mengantri untuk memperebutkan posisi Aera jika dia lengah sedikit saja.

Lihat saja sekarang. Bahkan saat sedang tidur saja Wooyoung nampak tampan dan lugu. Bagaimana bisa Aera tidak ketakutan?

"Ya udah, gue pulang sendiri." Aera merapikan buku-buku miliknya setelah menatap sekilas pada Wooyoung yang tenang dalam lelapnya. Sama sekali tidak terganggu dengan kelas yang gaduh.

"Gue denger-denger dari San, bulan depan ada pertandingan antar sekolah?" tanya Minji.

"Basket?" Aera balik bertanya memastikan. "Mungkin? Dia sama sekali gak cerita." Aera tersenyum sendu.

Yah, Minji salah bertanya perihal itu di saat seperti ini. Baiklah, daripada suasana terasa canggung, Minji mengakhiri pembicaraan mereka dengan alasan harus ke tempat pertemuan. Kebetulan bel pulang juga sudah berbunyi.

Minji keluar dari kelas. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat siswa tinggi menghadang langkahnya di depan. Senyuman manis siswa itu membuat Minji muak. Sungguh.

"Bisa minggir dari hadapan gue?" tanya Minji datar.

"Ngomong sama gue?" Dia menunjuk dirinya sendiri.

Minji menghela napas kasar. "Ya, lo pikir gue ngomong sama tembok?" desisnya.

Tak disangka, cowok itu membungkukkan punggung, mensejajarkan wajahnya dengan wajah Minji dan tersenyum. Tatapan lurusnya menembus netra Minji. Membuat Minji menahan napas selama beberapa detik sambil berusaha memundurkan kepalanya. Gila saja, apa tidak kurang dekat?

"Gak kedengeran," ucapnya. "Pasti gara-gara lo yang gagal tinggi." Dia tersenyum lebar, mengejek.

Minji hampir saja mengucapkan sumpah serapah ketika kalimat terakhir membuat otak Minji yang sempat beku akhirnya sadar.

"Sinting!" Minji memukul mundur dada bidang siswa itu.

Sialan. Dada atau beton? Keras banget!

"Gak boleh marah-marah, nanti cepet tua, Neng Minji!"

Bodo amat. Minji pura-pura budeg.

*

Ruang pertemuan begitu sunyi, sehingga suara sekecil apa pun mampu Minji dengar. Bahkan suara derit jendela yang tertiup angin pun bisa terdengar sekentara itu.

Minji meletakkan buku-bukunya di atas meja, tak lupa memakai kacamata baca yang selalu ia gunakan ketika belajar, kemudian mulai memeriksa kembali soal-soal yang sudah ia kerjakan sebelumnya. Namun sudah lima menit berlalu, orang yang ditunggu belum menampakkan diri.

Ah, Minji memang menyukai sepi. Tapi keheningan yang terlalu mencekam juga terasa menakutkan. Minji membuka ponsel dan memasang earphone. Kemudian, lagu Personal milik Hrvy mengalun dengan volume sedang.

Entah sudah berapa lama Minji mengerjakan soal-soal lain di meja. Yang pasti, dihadapkan dengan begitu banyak rumus yang sulit selalu membuat Minji lebih baik. Bukan karena ia suka kesulitan, tetapi dengan itu, ia bisa fokus sehingga terkadang lupa terhadap banyak hal. Sesuatu yang menguntungkan baginya ketika hatinya tidak baik-baik saja.

"Minji?"

Minji berjengit begitu seseorang melepaskan earphone-nya. Seorang laki-laki. Dia...

"Kak..." Oke, Minji kebingungan. Ia membuka buku latihan paling belakang, membaca sebuah nama yang sempat ia tulis di sana dengan catatan di bawahnya pembimbing OSN Fisika. "...Seonghwa?" lanjut Minji, membaca nama yang tertera.

Tapi tunggu. Bukankah dia Ketua OSIS? Ataukah dia hanya asal masuk kelas?

"Ya, maaf saya telat. Ada beberapa kepentingan mendadak tadi." Pemuda itu tersenyum. Entah mengapa dia memiliki dua kesan bagi Minji. Ketika diam, terlihat begitu mengintimidasi. Tapi begitu senyuman terbit, meski sekecil apa pun, kesan tersebut seketika lenyap, digantikan oleh kesan hangat. Binar matanya, senyumnya, dan cara dia bicara, benar-benar hangat.

"Kakak... benar Kak Seonghwa?" Minji memastikan. Sebab rasanya, terlalu sempurna jika orang di hadapannya benar-benar Seonghwa. Ketua OSIS, baik hati, tampan, dan... jenius? Apa tidak terlalu serakah?

"Tentu, saya Seonghwa." Dia tersenyum kecil. Menarik sebuah kursi dan duduk di hadapan Minji.

"Ah, ya." Minji tidak tahu lagi harus berkata apa. Benar-benar tak terduga.

Seonghwa. Park Seonghwa. Minji tahu beberapa saat kemudian ia akan kembali lupa dengan nama itu. Tapi setidaknya, Minji tahu bahwa sosok di hadapannya adalah seseorang yang luar biasa. Mungkin Minji akan mempertimbangkan untuk berusaha mengingat namanya seperti ia berusaha mengingat Oh Sehun dulu, biasnya.

"Ada soal yang sulit?" tanya Seonghwa, memecah keheningan.

Seperti dugaannya, Seonghwa memang hebat. Dia memiliki rumus sendiri dalam memecahkan soal. Bukan hanya itu, cara dia menjelaskan pun begitu sempurna. Minji dengan cepat bisa memahami apa yang Seonghwa ajarkan. Sehingga Minji yakin jika suatu saat Seonghwa menjadi seorang guru, dia akan menjadi guru yang banyak disukai murid. Cara dia menjelaskan tidak begitu cepat, tetapi tidak bertele-tele. Suaranya lembut, tetapi juga tegas di saat yang sama. Kekurangannya hanya satu, senyum dia begitu mengganggu.

Mengganggu kinerja jantung Minji.

***

Aku mabokㅠㅠ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku mabokㅠㅠ

Thantophobia▪️ATEEZ YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang