Sisi Gelap -8

201 34 14
                                    

Makan malam di rumah selalu terasa dingin bagi Yunho. Ralat, bukan rumah yang membuatnya dingin, tetapi teman makannya. Makan di mana pun, selama itu dengan ayahnya, semua terasa hambar dan dingin.

Yunho tidak suka suasana ini. Yunho lebih baik makan sendirian, hanya dengan mie instan atau telur dadar. Ia tak apa, daripada harus dihadapkan dengan situasi semacam ini. Makan makanan mewah tetapi harus memasang telinga mendengar omelan ayahnya. Sekali saja, Yunho ingin makan dengan ayahnya dalam situasi tenang, dalam situasi hangat, dan tanpa ketegangan. Seperti keluarga normal lainnya.

"Sepertinya Ayah harus mempertimbangkan untuk mengirim kamu ke Perth."

Yunho menjatuhkan sendok dan garpu di piringnya, menciptakan suara nyaring yang membuat ayahnya menatap tajam.

"Perth?" Yunho tertawa sinis. "Maksud Ayah, dikirim paksa kayak Kak Jaehyun?"

"Ya. Ayah rasa itu adalah yang terbaik daripada kamu terus-menerus bikin masalah di sini!"

"Lalu?" Yunho memicing. Ia tahu cepat atau lambat hal seperti ini akan terjadi.

"Kamu sekolah di sana, sekalian dididik Bibi Eve biar nurut."

"Ck. Egois. Oke, kalau Ayah mau aku ke Perth. Tapi bukan buat sekolah, cuma buat senang-senang, keluar-masuk kelab, hang out, pacaran, gimana?"

"YUNHO!"

Yunho berdiri. "Aku selesai. Malam ini aku tidur di rumah Mingi."

*

Suara pantulan bola terdengar nyaring. Terdengar hingga ke beberapa ruangan di sekitar lapangan. Yunho mendribble, shot, dribble, shot, terus seperti itu dengan tempo cepat. Kemudian menghela napas keras dan berteriak. Semua terasa menyesakkan.

"Brengsek! Kenapa dia? Kenapa dia yang harus jadi ayah gue?" teriaknya serak. Tenggorokannya sakit, sesuatu yang besar seolah tinggal di sana, membuatnya sulit untuk bernapas.

Yunho terduduk meringkuk, menekuk lutut seraya menjambak rambutnya frustrasi.

"Gue pengen nyerah..." lirihnya seraya menelentangkan tubuh kemudian, memejamkan mata merasakan semilir angin yang menerpa wajahnya.

Suara langkah kaki datang mendekat. Yunho masa bodoh. Mungkin dia penjaga sekolah. Baginya terserah jika saat ini ia akan diseret pergi. Toh, sudah menjadi hal biasa ia dimarahi. Penjaga sekolah dan semua guru bahkan mungkin hafal wajahnya. Jeong Yunho, anggota tim basket yang terkenal sering bolos, sering telat, jarang mengerjakan tugas rumah, tetapi tidak pernah dikeluarkan karena pengaruh ayahnya. Sekolah bagi Yunho hanya berpusat pada basket dan bermain-main.

"Dengan menyerah hidup lo nggak akan berubah lebih baik."

Yunho membuka mata. Itu bukan suara penjaga sekolah. Melainkan... Minji?

Yunho tersenyum singkat. Ia penasaran mengapa Minji ada di sekolah di jam seperti ini. Tetapi alih-alih bertanya hal itu, Yunho memilih untuk menanggapi ucapan Minji.

"Lalu apa gue harus terus jalan, melewati terowongan gelap yang gue sendiri gak tahu ujungnya di mana?"

Yunho duduk, bersebelahan dengan Minji yang berjongkok sambil mendekap buku-buku tebal. Buku-buku yang menurut Yunho adalah sahabat terdekat Minji ketimbang Aera atau San. Ke mana-mana ia selalu menemukan buku tersebut bersama Minji.

"Kalau lo berpikir jalan terlalu gelap, kenapa lo gak bawa penerangan? Atau seseorang yang bisa nemenin lo melalui jalan gelap itu, biar lo gak takut, biar lo punya alasan untuk tetap bertahan?"

Hening selama beberapa detik. Minji menanti jawab Yunho, sedang pikiran Yunho berkecamuk, dan...

"Gimana kalau orang itu lo?"

Minji tertegun. "Ngaco!" tukasnya beberapa saat kemudian, mendaratkan buku tebal di kepala Yunho keras. Saat jantungnya berdetak semakin abnormal, Minji menjauh. Meninggalkan Yunho.

"Gue serius. Jadi pacar gue, Choi Minji!"

Yunho mengambil tas Minji yang lupa cewek itu bawa. Berdiri dan lekas menyusul langkahnya.

"Jadi pacar gue," ucap Yunho, berusaha mensejajarkan langkah di samping Minji.

"Lo gila?" pekik Minji tertahan.

"Gara-gara lo." Yunho nyengir. Entah mengapa wajah memerah Minji begitu menghiburnya. Membuat beban-beban berat di pundak Yunho sedikit terangkat. Padahal sebelumnya, Yunho adalah tipikal orang yang sulit nyaman berada di dekat seseorang. Sikap cerianya selama ini hanya tameng, agar ia bisa berbaur, dan melupakan betapa pahitnya hidup saat ia harus pulang ke rumah.

Minji mendesis. "Kerdus. Pergi sana!"

"Gue anter pulang. Takut ada yang nyulik."

"Gak ada! Gue udah gede."

"Maka dari itu. Lo udah gede. Penculik sekarang kan tahu yang bening-bening." Yunho terkekeh begitu Minji menatap tajam padanya.

"Ck. Sumpah ya, makin hari lo makin ngeselin."

"Tapi ngangenin?"

"Astaga, bacot amat sih, temen San yang ini!"

"Yunho. Gue Jeong Yunho." Yunho menarik lengan Minji, memaksa cewek itu menghentikan langkah. "Buka tangan lo!" Yunho meraih telapak tangan Minji, menulis sesuatu di atasnya dengan telunjuk. "Jeong Yunho. Gue udah nulis nama gue di tangan lo. Lo gak boleh lupa lagi nama gue."

"Lain kali, gue bakal nulis nama gue di hati lo. Gue janji."

Minji diam. Yunho tersenyum. Yunho yakin, hati Minji berdebar. Lihat saja bola mata perempuan itu yang bergerak tak fokus beserta lengannya yang tiba-tiba mendingin.

"Ihs. Gue mual. Balik sana!"

*

Memang menyenangkan mengganggu jam-jamnya Mingi rebahan. Apalagi mengganggu Mingi dengan aktivitas malamnya bersama buku-buku berisi foto wanita seksi.

"Cabul amat buset. Makin hari koleksi lo makin nambah." Yunho tertawa keras. Tak peduli dengan muka merah padam Mingi yang menahan kesal.

"Nginep lagi lo? Berantem sama Bokap?" celetuk Mingi, menendang bokong semok Yunho.

"Perasaan ampir tiap hari juga gue tidur di sini." Yunho mengedipkan sebelah mata, menggoda.

"Memang. Tapi kelakuan gaje lo ini yang bikin gue paham kalau lo lagi ada masalah!"

Yunho tersenyum kecil. Baiklah, Mingi memang terlalu mengenalnya. Mungkin lebih kenal dari Yunho sendiri. Setiap kali merasa lelah, selain basket, rumah Mingi adalah pelarian. Rumah yang sunyi, tetapi tidak sedingin rumahnya. Rumah yang sama-sama tenang, tetapi tidak ada yang akan mengusik ketenangannya.

Mingi adalah sahabat terdekat Yunho. Sebuah kecelakaan lima tahun lalu merenggut orang-orang yang mereka sayang. Pada saat itu, Yunho yakin Mingi adalah takdir. Mereka adalah takdir yang menyakitkan.

"Entahlah. Dosa gak, sih, kalau gue males ketemu bokap? Males tinggal di rumah, kadang mikir males hidup juga?" Yunho berguling di sisi Mingi, memeluk lengan cowok itu.

Mingi kembali menendang Yunho. Memaksa cowok itu mundur dari hadapannya. Dikira dia maho?

"Kalau males hidup lo mau ngapain, bego?" Mingi menumpuk buku-buku dewasa yang berantakan di kasurnya. Meletakannya ke dalam sebuah laci.

"Mati." Mendengar ucapan Yunho, Mingi seketika menghentikan aktivitasnya. "Tapi karena gak bisa mati, ya gue rebahan sepanjang hari," lanjut Yunho, membuat Mingi menghela napas lega.

"Seenak jidat, mati. Udah punya apaan lo, mati? Mau nyerahin apa ke malaikat entar? List mantan gebetan?" Mingi duduk kembali di sisi Yunho. Menatap lekat sahabatnya. "Jangan dulu mati. Sayang masih banyak cewek cantik."

"Goblok." Yunho menempeleng keras kepala Mingi.

Dan Mingi ngakak hingga subuh.

***

Thantophobia▪️ATEEZ YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang