Ingat -10

171 33 4
                                    

Minji melempar asal ponsel yang ia kira milik San. Kemudian dengan segera memakai baju, sambil merutuki kebodohannya barusan. Sungguh, memalukan jika ada orang lain yang melihatnya dalam kondisi seperti itu. Untungnya, tidak ada yang menyaksikan, pikirnya.

Selesai berpakaian dan menyisir rambut, Minji merebahkan tubuh. Ada beberapa mata pelajaran yang harus ia pelajari untuk besok, tetapi perut lapar tidak membuat otak cerdas Minji fokus. Belum lagi kejadian memalukan barusan begitu mengganggu. Yah, meski Minji tidak yakin ada yang melihatnya barusan.

Baru saja Minji memejamkan matanya selama lima detik, suara gonggongan anjing membuat Minji berjengit kaget. Ayolah, Minji sangat takut hewan berbulu satu itu! Waktu kelulusan Sekolah Dasar, ia pernah digigit anjing milik temannya. Beruntung ada San hari itu. Minji dilarikan ke rumah sakit dan bekas luka gigitan anjing di kakinya dijahit.

Kembali pada sekarang. Minji celingukan. Ia pikir, tidak ada anjing di rumah ini. Suara Byul? Mana mungkin! Sejak kapan kucing menggonggong? Lagi pula seingatnya, jam seperti ini jadwalnya Byul makan malam.

Ck. Minji berdecak saat menyadari bahwa suara itu bukan nyata, melainkan dering ponsel.

Ponsel San? Tidak mungkin. Sejak kapan San memakai nada dering suara anjing? San itu pecinta kucing!

Minji membaca nama yang tertera di layar ponsel tersebut. Inha? Nama yang tidak asing.

"Halo?" Minji mengangkatnya. Ia pikir mungkin, itu pacarnya San.

"Yunho? Ini siapa?"

Minji bergeming. Tiba-tiba nama itu mengingatkannya pada seseorang. Yunho. Jeong Yunho. Seseorang yang selalu membuatnya kesal. Seseorang yang katanya menuliskan namanya di telapak tangan Minji. Astaga, Minji mengingatnya! Minji tahu siapa Yunho, yang mana wajahnya, dan hafal nama lengkapnya. Apakah ini sebuah keajaiban ataukah tragedi?

Minji melirik ponsel di tangannya. Lantas baru sadar bahwa model hape San dan hape yang saat ini ia pegang adalah berbeda. Sebelum menimbulkan masalah lebih lanjut, Minji menutup sambungan begitu saja.

Minji diam. Bingung kenapa ponsel Yunho ada padanya. Dan, Minji tersadar...

"Yang tadi ngasih hape ini ke gue, dia? Yunho. Dia ada di rumah gue. Di deket gue ketika gue mandi, lalu gue gak sadar?" monolog Minji seperti orang bodoh.

Ia tersenyum miring, menatap lock screen yang menampilkan foto seorang gadis cantik dengan riasan tebal merangkul Yunho dan mencium pipinya. Minji taksir, gadis itu bukan pelajar. Usianya mungkin saja lebih tua. Terlihat dewasa, cantik, dan... seksi. Dia seperti model atau aktris. Mungkin kakaknya? Entahlah. Minji tidak ingin peduli. Yang ia pedulikan saat ini hanyalah, harga dirinya.

"Apa yang harus gue lakuin? Apaaaa?" Minji mengerang frustrasi.

Di tengah kekalutan yang melanda dirinya, pintu tiba-tiba saja diketuk. Kepala San menyembul di sana, tersenyum simpul sebelum bicara.

"Ayo turun, makan malam."

Hanya itu yang San katakan, kemudian kembali menutup pintu dan langkah kakinya yang semakin jauh terdengar.

Menelan saliva dengan gugup, Minji berdeham. Ia menyisir rambutnya dengan jari. Bukan karena ingin rapi di hadapan teman-teman San, Minji bukan tipe gadis seperti itu. Hanya saja saat ini, tiba-tiba saja Minji merasa sangat gugup.

***

Ruang makan sangat gaduh. Suara paling keras terdengar dari seorang cowok yang bersuara bass. Ah, dia teman San yang masuk tim renang di sekolah. Minji hafal betul dengannya. Dia selalu mencolok. Badan tinggi, wajah manis, suara rendah, dan... petakilan. Rasanya Minji bisa hafal keberadaan manusia itu bahkan dari jarak 50 meter.

Ketika Minji datang, suasana seketika hening selama beberapa saat. Ya, hanya beberapa saat, setelahnya mereka kembali berceloteh. Kali ini melibatkan Minji.

"Minji mau makan apa? Ayam bakar, pizza, soto, atau sate?" tanya cowok yang kata Minji berisik tadi. Lihat, Minji sudah bisa menebak dia paling riweh.

"Gak usah sok perhatian ya, bangsat." Yunho menyentil dahi cowok itu. Minji hanya menghela napas pelan menyaksikan mereka.

"Yeu, serah gue, dong. Gue kan pengen mepet Minji juga."

"Berisik. Minji-nya juga gak bakalan mau sama kalian!" San akhirnya angkat bicara. Mungkin tidak tahan dengan pertengkaran dua sahabat itu.

Sedangkan Minji makan dalam hening, sambil memikirkan cara bagaimana mengembalikan ponsel Yunho tanpa membuat keributan.

Satu per satu dari teman San selesai makan. Mulai dari yang berkulit pucat di ujung. Si kecil yang tidak banyak bicara tapi banyak makan. Kemudian Wooyoung yang kelihatan tidak mood. Disusul San yang sudah menghabiskan lebih dari lima belas tusuk sate. Mereka pergi kembali ke ruang keluarga. Sisanya tinggal Yunho dan si tinggi bersuara bariton.

Sebenarnya, si tinggi itu sudah selesai makan. Hanya saja yang dia lakukan sedari tadi hanyalah menatap Minji dengan cengirannya yang jadi menakutkan.

"Ada yang salah sama gue?" tanya Minji sedikit jutek.

Orang itu mengangguk. "Salah lo cantik banget meski pakai baju tidur begitu," katanya, membuat Minji merinding.

"Balik sono lo, Gi! Bukannya suka dia malah ketakutan sama lo!" Yunho meninju lengan cowok itu.

"Gak, ah. Kalau gue pergi entar kalian berduaan. Kalau ada setan gimana?" tanyanya, menggoda Yunho.

"Lo gak nyadar kalau lo setannya?" Yunho berdecih.

Minji berusaha mengulum tawanya. Ia tidak tahan dengan kelakuan dua sahabat yang saling menyerang itu. Bukan hanya sekali Minji menyaksikan mereka bertengkar, dan itu lucu. Hanya saja Minji selalu menahan diri untuk tertawa. Rasanya tidak sopan menertawakan orang lain yang bahkan tidak dekat dengannya. Jika itu San dan Wooyoung, sih, Minji tidak akan segan untuk terbahak keras.

"Dih, Yunho pasti mau mepet Minji sendirian?" Lagi, temannya itu mengganggu. Meski dari gerak-geriknya dia sudah ingin pergi. "Awas lho, San jago bela diri. Kalau Minji kenapa-kenapa, lo harus korbanin basket, korbanin juga kaki lo."

"Enyah kau, Song Mingi!" Yunho menendang pantat Mingi yang ngakak. Kali ini Mingi benar-benar pergi meski masih dengan sisa-sisa tawanya.

Kini tersisa Yunho dan Minji di ruang makan. Sisa makan malam mereka masih berserakan. Yang pastinya akan jadi pekerjaan Minji.

"Uhm, lo yang tadi ngasih gue penerangan?" tanya Minji tanpa basa-basi. Terdengar angkuh dan jutek. Padahal hanyalah tameng untuk menutupi rasa malunya.

"Ah, iya. Sori. Tadi gue---"

"Ini hape lo," sela Minji, meletakkan ponsel Yunho di meja sebelum Yunho menyelesaikan kalimatnya. "Makasih," lanjutnya. Kemudian berdiri, memunguti sisa-sisa makanan mereka ke dalam kantung kresek.

"Gue tadi lihat lo."

Pernyataan yang secara tiba-tiba terlontar dari mulut Yunho itu membuat Minji seketika menghentikan gerakannya. Dia menoleh lambat pada Yunho, tatapannya datar, dan bibirnya terkatup rapat. Bagai sebuah adegan di dalam film thriller di mana sang pembunuh mendekati mangsa, Minji mendekat ke arah Yunho. Berdiri di hadapannya dengan jarak yang lumayan dekat.

"Lihat apa lo?" desisnya.

"Lihat lo," balas Yunho tersenyum.

"Yang jelas kalau ngomong. Jangan ambigu atau gue colok mata lo!" Minji mengacungkan garpu di tangannya. Pada saat itu Yunho terkekeh, menyulut amarah Minji semakin menjadi.

"Gak, deh. Sana beresin lagi."

"Yunho." Minji memanggil tenang, tetapi penuh penegasan.

"Lo akhirnya inget nama gue?"

"HYA! JEONG YUNHO!"

Dan, ucapan Yunho barusan akhirnya membuat Minji tidak bisa menahan diri. Ia marah pada Yunho, tetapi lebih marah pada dirinya karena mengingat nama cowok itu di antara banyaknya cowok yang lebih berhak.

Yunho sendiri tertawa usai membuat Minji meledak. Berlari begitu saja meninggalkan Minji yang sungguh ingin memakannya hidup-hidup.

***

Thantophobia▪️ATEEZ YunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang