Ritme malam -- ujarku sambil memilin-milin rambutku. Membayangkan permadani menghampar, bebungaan, dan langit yang perak. Cinta sedang menyentuh keningku, membasuh durinya di kepalaku. Aku antara kedinginan dan euforia.
Seorang anak perempuan kini sudah tumbuh. Rambutnya tertutup kain, tapi matanya teduh menatap langit perak. Melalui jembatan pelangi pelan-pelan. Takut jatuh dan terlalu senang.
Hujan turun. Anak perempuan yang kini tumbuh itu tertawa. Bernyanyi dan menari di bawah hujan, lalu ternyata -- ya, seperti biasa, setiap hujan dia menangis. Dia diam-diam menangis. Tapi dia menari.
Manisnya malam -- aku tahu malam manis. Atmosfer yang menyenangkan.
Terasa seperti menikmati hidangan tanpa tuan. Ah, Cinta, mengapa durimu lezat sekali dan mawarmu terasa membusuk di hati? Mawar yang diam-diam membusuk jauh lebih berbahaya ketimbang duri.
Cukup seperti tarian ketika hujan. Antara euforia dan ketakutan. Ekstasi yang lezat. Teramat lezat sampai rasanya waktuku habis -- lelahku tiada.
Dan aku tidak mampu bertanya kenapa.
Bandung, 22:21
04/05/2015

YOU ARE READING
Aksara Takdir
PoetryMenerjemahkan patah hati, kegelisahan, dan ketidakpastian ke dalam puisi.