Bunga palsu darimu teronggok di sebuah vas di sudut meja: pink, merah, dan merah tua; semua mendongak angkuh menatap plafon kamarku. "Jangan dibuang, Dinda," katamu suatu hari. Titahmu itu seperti kutukan.
Bunga palsu itu tetap di situ.
Aku masih bisa melihat dengan jelas di ingatanku: rambutmu yang mengembang ke atas, bergoyang-goyang, matamu yang berkilau, dan deretan gigimu yang terlihat ketika kau memanggil namaku. Matamu berkilau, haus akan petualangan, dan penuh rasa penasaran.
Setiap hari, kutulis surat untukmu -- di lembar-lembar buku harianku. Dan hampir setiap hari, aku bercerita padamu tentang hariku, bertanya tentang harimu. Hariku bergantian antara jatuh cinta dan cemburu. Hampir habis jalanan kita jelajahi. Hampir habis kertas-kertasku yang isinya hanya
Kamu.
Semu. Semu. Semu.
Kamu.
Semu. Semu. Semu.
Kuperhatikan, kisahku tak akan sampai.
Bunga palsu hanyalah bunga palsu. Kutukan bahwa ia tetap di sudut meja, tidak mampu mengubah apapun tentang kau dan aku.
Bandung, 1 September 12:14 AM
YOU ARE READING
Aksara Takdir
PoetryMenerjemahkan patah hati, kegelisahan, dan ketidakpastian ke dalam puisi.