sebuah botol plastik yang kamu buang ke selokan itu menerima takdirnya sedari awal ia diciptakan, bahwa ia tidak bisa dihancurkan semudah kau menggigit hingga lembek rengginang favoritmu.
botol itu menjalani takdirnya, ia bersama teman sebangsanya mengikuti kemana arus air membawa mereka, sampai pada suatu lubang yang mereka tak muat dan mereka hanya diam teronggok di situ.
mereka bisa apa? botol plastik yang kau buang itu tidak bisa protes.
ia tidak membenci kamu meski kamu melemparkannya ke selokan yang sudah penuh dengan botol-botol plastik lainnya. ia tidak membencimu meski ia sering sekali berpapasan dengan binatang menjijikkan yang kau benci, tikuskah itu ataukah ular, atau sesekali bertemu kotoran dari makhluk bangsamu, bersentuhan dengan lendir-lendir, bangkai, dan entah beragam hal-hal yang kau benci itu (kau kan selalu berusaha agar rumahmu bebas tikus, apalagi ular -- dan kudengar kau juga giat membersihkan wc-mu agar bebas dari bau). perjalanan botolmu biasanya tak berakhir di sungai. kadang-kadang karena hujan, ia kembali lagi ke depan rumahmu. banjir membawanya pulang.
tapi kau malah bilang: "Dasar pemerintah sialan! Banjir lagi, banjir lagi. Pemerintah ngapain aja sih?". ahaha, betapa komedinya reaksimu, diam-diam kami Bangsa Botol Plastik menertawakanmu. selain takdir kami yang biasanya berakhir di penghujung aliran selokan atau kembali lagi ke pekarangan rumahmu, tampaknya menertawakanmu juga menjadi bagian dari takdir kami. tak hanya menertawakanmu tapi juga menertawakan anak-anakmu, cucu-cucumu, hingga cicitmu.
: jika kamu tak berhenti membuat kami memulai perjalanan panjang di selokan.Bandung, 3 September 2017
1:42
YOU ARE READING
Aksara Takdir
PoetryMenerjemahkan patah hati, kegelisahan, dan ketidakpastian ke dalam puisi.