Aku bukan Pencuri

14.3K 529 31
                                    

"Bakar! Bakar saja malingnya!" teriak warga sekitar.

"Allahu Akbar! Saya bukan pencuri! Bukan!"

Tak pernah terbayangkan oleh Hisyam jika dia akan diteriaki sebagai maling kotak amal di mesjid. Berawal dari keluhan demi keluhan istrinya karena bosan miskin, Hisyam berada di antara hidup dan mati. Hendak dibakar karena dituduh mencuri uang kotak amal mesjid.

***

"Segini lagi?" tanya sang istri dengan nada yang tinggi. Menatap uang lima belas ribu rupiah yang diserahkan suaminya.

"Alhamdulillah, Han, masih ada rezeki. Masih ada yang beli dagangan mas." Pria sedikit kurus dan berjanggut tipis itu tersenyum.

"Mas kira cukup untuk apa segini? Untuk makan sehari saja gak cukup, Mas. Apalagi untuk keperluan yang lain. Untung Hafi belum bisa jajan, coba kalau dia sudah besar. Gimana?" omel Hani, sang istri yang setiap hari harus mengelus dada karena penghasilan suami yang tak seberapa.

Hisyam, hanya seorang penjual tas dan ikat pinggang kulit yang dijajakan dengan cara berkeliling. Dari kampung ke kampung, dari jalan ke jalan. Penghasilannya tidak tetap, mengingat orang lebih senang belanja online dengan produk impor atau merek ternama. Hanya beberapa orang yang butuh dompet seharga lima ribu, ada juga lima belas ribu, dengan keuntungan untuknya hanya lima ribu per barang. Kemudian disetorkan untuk pemilik barang.

"Aku tuh nikahin kamu bukan buat susah, Mas. Dulu kamu tuh necis sebagai pegawai asuransi. Gegayaan pakek keluar segala, sok hijrah, akhirnya menyengsarakan keluarga." Hani terus saja berteriak, padahal suaminya baru pulang bekerja.

"Alhamdulillah, nanti ada jalan, Han. Mas 'kan gak diem aja, ini juga sambil cari lowongan. Usia mas sudah tiga puluh dua, sudah susah untuk dapat pekerjaan lagi."

"Ngeles aja! Makanya jangan pilih-pilih kerjaan!" teriak Hani sambil melemparkan tutup panci ke atas panci dengan air di dalamnya.

Hisyam hanya menarik napas panjang. Dia sadar, sudah dua tahun bekerja serabutan. Istrinya sudah sangat sabar. Kadang dia bekerja jadi kuli bangunan, tapi jika sepi jualan dompet dan ikat pinggang keliling.

Dulu, dia seorang pekerja di perusahaan asuransi. Gajinya lumayan besar, belum fee saat mencapai target. Hanya saja, haluannya berubah saat mempelajari riba. Dia memilih keluar dari pekerjaannya. Namun tidak mendapatkan pekerjaan lainnya dengan mudah. Hingga akhirnya berjualan seadanya.

Hani, awalnya menurut dengan keinginan suaminya. Namun, hidup susah membuatnya sangat tersiksa. Belum omongan tetangga, celotehan keluarga saat lebaran atau ada acara kumpul. Dia, jadi yang dikucilkan. Sering disuruh-suruh hanya karena paling miskin di mata banyak orang.

Wanita itu bukannya benci dengan kemiskinan, hanya dia ingin suaminya lebih giat lagi mencari rezeki yang dirasa begitu sulit dan berat saat ini. Dia juga sering menangis setiap kali memarahi Hisyam. Dia selalu meminta maaf saat suaminya terlelap. Namun, saat mata sang suami terbuka, dia ingin suaminya tidak menyia-nyiakan waktu dengan terus berusaha.

"Beras habis," ujar Hani ketika Hisyam selesai shalat shubuh dan bersiap untuk bekerja.

Pria itu tersenyum lembut. "Insyaallah siang mas bawakan, ya. Kebetulan dapat kerjaan betulin kamar mandi Pak Haji."

"Udah di depe-in?" tanya Hani melemah.

"Belum, mungkin sore langsung dibayar lunas. Sabar ya, Sayang." Hisyam mencoba untuk tetap lembut pada istrinya.

"Berapa totalnya?"

"Uang jasanya saja sih, seratus ribu sehari. Kemungkinan tiga haris selesai, jadi mas punya tiga ratus ribu. Terserah Hani mau beli apa. Gamis?" Hisyam berbinar, menatap wajah istrinya yang dulu sangat cantik, kini ia sadari terlihat kumal dan penuh guratan kesusahan.

DUA HATI (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang