Bertemu Aina

6K 514 44
                                    

Percikan demi percikan bensin membasahi baju Hisyam dan wajahnya yang penuh lebam. Dia menahan perih kulitnya yang tersiram bensin. Namun yang lebih menakutkan adalah menghadapi maut yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Mengerikan, andai benar ia tewas di tangan warga secara sadis.

Hisyam terus memohon dan mundur saat bensin terakhir disiramkan. Pekikan menyebut keagungan Allah yang mampu ia ucapkan untuk terakhir kalinya membuka mata.

"Allahu Akbar!" Dia pasrah jika ini adalah akhir dari hidupnya. Membayangkan Hani sang istri tercinta, dan Hafi batita yang masih butuh bimbingannya.

"Bakar!" pekik salah satu warga menyalakan korek gas di tangan. Tangan Hisyam tak lagi berguna untuk menahan serangan.

"Astaghfirullah!" teriak tiga orang yang datang dan langsung menampar pria yang hendak melemparkan korek ke arah Hisyam dan korek gas tersebut terlempar ke arah lain.

Mereka adalah marbot mesjid, Pak Haji pemilik ruko, dan seorang ustadz yang tadi menjadi imam. Awalnya mereka tak tahu ada keributan. Pasca salat dan berdoa Pak Haji dan Pak Ustadz pulang. Hingga dipanggil lagi oleh marbot yang kebingungan menolong Hisyam.

"Istighfar kalian!" herdik sang Ustadz berdiri di hadapan Hisyam yang pasrah menerima takdir kematian.

"Dia maling kotak amal, Pak Ustadz. Kebiasaan! Kalau dimaafkan, bakal banyak yang melakukannya."

"Benar! Kita potong aja tangannya seperti dalam islam!"

"Iya, Pak. Kebiasaan. Azab aja sekalian!"

Mereka saling bersahut-sahutan. Tak segan ada yang mau nekat menyerang, beruntung beberapa jamaah menahannya.

"Kalian ada bukti?" tanya Pak Ustadz.

"Ada. Tadi dia sedang mengambil uang dari kotak amal. Seratus ribu!"

"Coba cek, ada kerusakan tidak kotak amalnya?" Pak Ustadz meminta warga mengambil semua kotak amal.

Satu per satu diperiksa. Semua tampak utuh, tak ada hasil pengrusakan. Kunci pun masih bisa dibuka dengan baik, tidak dirusak dalamnya dengan zat kimia.

"Semua utuh." Pria bijaksana itu menatap warga yang mulai bingung.

"Kalian sadar tidak? Kalau kalian main hakim sendiri, membakarnya, dan ternyata dia tidak bersalah. Kalian tahu dosa membunuh saudara sesama muslim?" tanya Marbot yang sejak tadi diam.

"Dia ini Hisyam, tukang di ruko saya. Uang seratus ribu itu mungkin uang bayaran dari saya, mungkin jatuh ke bawah kotak amal." Pak Haju pemilik ruko buka suara juga. Setelah membersihkan wajah Hisyam dengan kain sorbannya, pun meminta tukang yang lain membawanya ke mobil.

"Lihat! Kalian hampir membunuh orang yang tidak bersalah." Pak Ustadz kembali menatap warga yang menunduk malu. "Kalian tahu ini di mana? Di depan masjid, rumah Allah. Lalu kalian membunuh makhluknya yang tak bersalah, seorang muslim yang taat. Siapkah kalian dengan azab-Nya?" Pak Ustadz mendekati Hisyam yang sedang dipapah ke dalam mobil milik Pak Haji.

"Sungguh kalian adalah orang-orang yang tidak dapat mengendalikan emosi, seharusnya selepas salat kalian lebih dapat mengendalikan nafsu. Jangan permalukan agama kalian dengan amarah yang tak pada tempatnya. Hukuman potong tangan dalam islam ada, tapi tak serta merta asal potong. Harus disidang, ada saksi dan syarat-syaratnya. Makanya jangan suka asal comot memahami syariat." Pak Haji menarik napas dalam. "Ayo, bantu saya ke rumah sakit."

Warga bubar setelah Hisyam dibawa ke dalam mobil Pak Haji Salam. Sementara Hisyam tak henti-hentinya bersyukur lepas dari mulut kematian yang mengerikan. Hanya tersisa sakit di seluruh tubuhnya.

DUA HATI (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang