"Kita langsung pulang atau gimana?" tanya Hisyam ketika mereka makan bertiga di restoran.
"Kita ke Banjarmasin dulu," jawab Aina pasti.
Hani dan Hisyam tidak punya pilihan lain selain menuruti apa keinginan Aina. Bahkan mereka akan berangkat sorenya. Aina sudah memesan hotel di kota tujuan. Sama seperti ketika di Gorontalo, dua kamar.
Selama perjalanan, Hisyam dan Hani masih tetap kaku di dalam pesawat, fokus merawat Hafi. Sementara Aina tetap elegan dengan duduk membaca majalah atau melihat ke luar jendela. Hani sering mengamatinya, terkagum-kagum dengan gaya dan penampilannya. Berharap bisa seperti madunya.
Tiba di kota tujuan, mereka menuju hotel dan Aina tetap sibuk mencari tahu di mana Nathan bekerja. Dia menghubungi temannya di Jakarta yang selama ini konon masih terhubung dengan Nathan. Sambil menunggu makanana yang dipesan tiba, dia sibuk menghubungi orang yang bernama Chika. Hani dan Hisyam tetap berada di kelilingnya seperti biasa.
"Hallo, Chika," ujar Aina ketika telepon tersambung. "Aku tahu kamu masih terhubung dengan Nathan, sekarang aku di Banjarmasin, ingin menemui dia. Tolong, beri tahu aku di mana dia tinggal."
"Aina, kamu kan sudah nikah, ngapain sih masih kejar-kejar Nathan?"
"Ada yang harus aku bicarakan dengannya. Ini penting."
"Nathan tahu kamu sudah menikah."
"Aku tahu. Cepat atau lambat dia akan tahu, tapi ada yang harus kami bicarakan dan selesaikan. Please, Chika ...."
"Sorry, Aina. Dia bilang ingin hidup tenang. Dia lelah ada dalam bayang-bayang kamu. Dia ingin karirnya cemerlang sebagai dokter. Dia lelah pindah-pindah tempat praktek karena ayahmu."
"Ayah?"
"Iya, dia itu dipindahkan terus dinasnya karena ayahmu. Dia bilang kalau sudah menikah ya sudah, kita jalani hidup masing-masing."
Aina menatap kosong, merasa semua usahanya sia-sia. Karena ternyata ayahnya masih turut campur, tanpa pernah ia ketahui.
"Aina, biarkan Nathan bahagia. Jika kamu mencintainya, cintai saja dalam diam. Karena memang tidak mungkin kalian bersama. Itu jelas dan pasti, apalagi kamu sudah menikah."
Aina menatap kosong, membuat Hisyam dan Hani saling berpandangan.
"Setidaknya izinkan aku bertemu dengannya sekali saja," pintanya lirih.
"Tidak bisa, Aina. Nathan berpesan padaku untuk tidak memberi alamat dan nomor teleponnya. Dia bilang tidak ingin bertemu denganmu lagi. Semua sudah berakhir."
Seketika Aina menangis dan menutup wajahnya dengan ke lima jarinya. Mematikan telepon dan terisak di meja. Hani dan Hisyam bingung harus bagaimana.
"Aku akan ke kamar, kalian makan saja," katanya ketika mencoba menutupi tangisnya. Namun, saat berjalan dia seperti akan jatuh. Spontan Hisyam berdiri dan mendekat lalu menahan tubuh Aina yang berpegangan ke kursi.
"Aku antar ke kamar?" tanya Hisyam pelan. Dia menoleh pada Hani yang mengangguk, memberi izin suaminya mengantar Aina.
Aina tak menjawab, tapi dia tak menolak Hisyam menemaninya berjalan menuju kamar. Bahkan mengaduh pusing saat akan memasuki lift. Spontan Hisyam menyentuh kedua lengan Aina, menahan tubuhnya supaya tak jatuh.
Begitu lift terbuka, Aina menyandar dengan memejamkan mata. Napasnya terlihat cepat, hingga lift terbuka dia keluar dan malah terjatuh.
"Aina!" pekik Hisyam langsung berjongkok dan memegangi lengan Aina yang duduk dan menangis. Mencoba membangungkannya, memapahnya. Namun, Aina tak sanggup melangkah, ia rapuh dan menangis memeluk Hisyam.
KAMU SEDANG MEMBACA
DUA HATI (Selesai)
RomanceJuara Umum Parade Nulis Penerbit LovRinz batch 1 th 2020 🍁🍁🍁 Hani bosan dengan kehidupan rumah tangga kekurangan harta bersama Hisyam. Dia selalu meminta suaminya untuk melakukan apa saja asal mendapatkan uang. Hingga, dia merelakan sang suami me...