Vino masih membaringkan tubuhnya, sesaat setelah Gavin keluar. Pakaiannya sudah lebih baik, tak lagi menusuk kulitnya dengan dingin yang membuat perih.
Tapi perasaannya belum tenang. Bahkan setelah Gavin meninggalkannya, Ken belum juga datang. Padahal tadi mereka sempat bertatap sebentar. Hanya saja kondisinya tadi, membuat Vino tak punya banyak waktu untuk sekedar menyuruh Ken datang.
Pikir Vino, Ken mungkin masih marah. Sungguh, kakaknya hanya salah paham. Tapi Vino juga akan berpikir untuk mengatakan semua pada Ken. Itu tidak akan penting, walau cukup mengganggu pikiran Vino hingga saat ini.
Ucapan Raffa tentang.. mereka bukan saudara kandung, masih menggema di telinganya. Bagaimana pemikiran anak itu kini bisa mempengaruhinya? Bila saja benar...
"Vin, jangan ngelamun." Suara Ken membuyarkan lamunan Vino. Membuatnya seketika menoleh, mendapati Ken sudah berjalan mendekat dengan nampan yang berisi makanan dan obat.
Ken memang sengaja mengambil alih nampan yang akan bunda bawa untuk Vino. Mungkin memang dia yang salah. Mungkin memang Ken yang harus mampu menahan amarahnya dan mengalah. Harusnya memang begitu. Karena Ken tahu, Vino tak akan pernah baik-baik saja bila seorang diri. Maka Ken putuskan untuk menemui Vino, dan meminta maaf.
"Sorry. Besok gue lapor Raffa ke guru piket karena udah nyiram lo pakai air es?"
Vino mengernyitkan alisnya. "Lo tau dari mana?"
"Arlan. Harusnya gue tahu sendiri, bukan dari orang lain." Ken menghela nafasnya, kembali meletakkan nampan diatas nakas. "Kenapa nunggu gue sampai sesore ini?"
"Gue mau ngomong masalah tadi biar lo gak salah paham. Tapi sekarang percuma, gue udah males bahas itu lagi." Ucap Vino, masih menatap Ken di hadapannya. "Masalah Raffa jangan di besar-besarin lagi. Gue males."
"Lo marah sama gue?"
"Bukannya lo yang marah sama gue? Lo yang ninggalin gue di sekolah, kalau lo lupa!" Vino membuang mukanya malas. Membuat Ken kembali tersenyum. Menarik piring makananya yang sudah bunda siapkan tadi.
"Cie ngambek. Adek gue kalau ngambek sama marah sebelas dua belas. Gemesin tau!"
Vino kembali mengarahkan pandangan pada Ken. Menatap tajam kearah kakaknya. "Apaan sih lo!"
Hening beberapa saat setelah Vino kembali mempalingkan wajahnya. Menyisakan Ken yang masih menyusun rencana untuk mencairkan suasana.
Vino benar marah, pikir Ken. Ya siapa yang tidak marah bila ditinggal tanpa kabar di sekolah? Bahkan bila sudah begini, marah Ken tidak akan ada artinya.
"Maaf, Vin. Gue seriusan ketiduran tadi. Gue emang marah karena lo berantem, tapi serius gue gak bermaksud buat gak angkat telpon lo. Udah dong, masa marah terus. Seriusan minta maaf ni gue."
Vini menoleh, senyum kecilnya terbentuk. Mereka sama-sama salah paham? Menganggap satu sama lain marah, padahal tidak. "Siapa yang marah sih? Kan gue bilang lo yang marah. Gue mah gak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Berbeda ✔️ [TERBIT]
Teen FictionPART TIDAK LENGKAP! • Terbit di Orinami Publisher • Full part di Karya Karsa Note: REVISI PENULISAN DAN TANDA BACA DI VERSI CETAK. • • Jangan pernah dengar apapun kata orang. Karena saat semesta membuatmu menjadi salah satu bagian dari hidupku, tak...