Beda 11: Seandainya

8.1K 817 175
                                    

Vino diijinkan pulang setelah 3 hari di rawat. Namun harus beristirahat di rumah 2 hari untuk pemulihan. Sejujurnya Vino tidak suka bila mendekam di rumah seperti ini. Walau dia sering bolos, setidaknya dia tidak akan merasakan bosan karena berdiam diri di rumah. Rumah dan tempat bolos itu, beda.

Untunglah, hari ini sekolah memang di liburkan karena rapat guru. Jadi Ken ada di rumah, dan Vino tidak akan sendiri seperti kemarin. Sebenarnya tidak benar-benar sendiri, masih ada bunda. Tapi kan tidak seru bila mengajak bunda mengobrol masalah remaja. Yang ada, bunda mengajaknya mengobrol serius. Vino mana bisa.

"Kebiasaan ya, baru sembuh tapi nongkrong di luar." Ken datang dengan roti tawar keju dan segelas susu putih. Menghampiri Vino yang sedang bersandar di gazebo belakang.

"Nyari udara, Ken. Kan lumayan pagi-pagi, masih seger."

Ken hanya menggeleng, meletakkan nampan yang dibawanya di sebelah Vino. Dia sudah lebih dulu sarapan tadi, sebelum mandi dan bersih-bersih.

"Sarapan dulu. Setelah itu minum obat. Gue mau ngambil laptop, ada tugas yang belum kelar." Ucap Ken lalu kembali berjalan meninggalkan Vino.

Selama Vino sakit, Ken yang membuatkannya tugas seperti biasa. Kata Ken, agar tidak menumpuk. Apalagi banyak tugas yang harus segera di kumpulkan. Sebenarnya Vino sudah melarang, mengatakan dia akan membuatnya sedikit demi sedikit. Tapi Ken menolak. Dia masih sanggup, jadi Vino tidak usah terlalu memikirkan.

Jujur saja, walau Ken adalah saudara kembarnya, tetap ada rasa tidak enak. Apalagi sampai Ken mengabaikan tugasnya sendiri hingga menumpuk. Belum lagi tugas osisnya yang dikejar deadline.

Tidak lama, Ken kembali datang dengan laptop dan buku pelajarannya. Mengambil tempat duduk disebelah Vino yang sejak tadi tak bergeser sedikitpun.

"Mau gue bantu?"

Ken mengerjap mendengar pertanyaan Vino. Tidak biasanya Vino menawarkan bantuan seperti ini. Pikirnya, adiknya salah diberi obat selama di rumah sakit kemarin.

"Tumben.."

Vino memutar bola matanya malas. Meraih satu buku pelajaran Ken, lalu terdiam sejenak. Tapi, dia kan tidak paham pelajaran Ken. Akhirnya Vino kembalikan lagi buku itu kepada pemiliknya.

"Niat bantu, lo kan udah bantu gue kemarin. Tapi gue lupa, gue mana ngerti pelajaran anak IPA."

Ken tersenyum, sebelum kembali menyalakan laptopnya. "Memang gue pamrih? Suruh lo balas budi?" Ken mendapat gelengan pelan dari Vino yang kini sedang memakan rotinya. "Kalau enggak, berarti lo gak perlu bantu apa-apa. Kalau gue perlu bantuan pasti gue bilang."

Vino belum menjawab. Hanya memperhatikan Ken yang sudah mulai dengan tugasnya. Bila di pikir, benar juga, mengapa mereka seberbeda itu?

Bahkan Ken bisa paham apapun tugasnya. Ken bisa melakukan apapun untuk membantunya. Ken bisa melakukan apapun untuk melindunginya. Sesempurna itu. Tapi dirinya? Tidak bisa melakukan apapun untuk Ken. Jangankan untuk saudara kembarnya, untuk dirinya sendiri saja dia masih kepayahan.

Pertanyaannya, dia yang terlihat tak berguna? Atau semesta yang mentakdirkan tidak bisa apa-apa?

Vino sering berpikir, kelebihannya apa? Tapi semakin dia pikirkan, jawaban yang ditemukan hanya satu. Menyusahkan. Ya kelebihan Vino, kalau tidak membuat orang panik, ya membuat orang kesal.

"Gue cuma minta tolong satu, Vin..." Vino mendongak mendengar ucapan Ken. "Jangan aneh-aneh, nurut. Biar lo gak sakit. Udah itu aja. Gak lebih susah dari pelajaran gue."

"Iya." Pandangan Vino masih pada Ken yang sudah mulai mengerjakan tugasnya. "Ken, gue mau ngobrol, tapi lo tetep fokus sama tugas lo, ya!"

Ken mengangguk, melirik sekilas adiknya yang masih tak bergeser sedikitpun dari tempatnya.

Berbeda ✔️ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang