1.2

294 60 1
                                    

Jisoo menyeret langkah memasuki rumah. Menenteng tas yang cukup berat di tangan serta membawa sebuah bungkusan yang berisi paket makan malam ke meja makan. Ia tak perlu repot-repot untuk mandi atau bahkan mengganti pakaiannya lebih dulu. Ia teramat sangat lapar saat ini. Sunny benar-benar membuatnya kelelahan karena dengan seenak hati dia memonopoli waktu istirahat yang tersedia setelah pulang dari stasiun radio tempat mereka bekerja. Sunny mengajaknya memutari pusat perbelanjaan hanya untuk mencari sebuah sepatu.

Ia membuka bungkusan tersebut kemudian duduk di salah satu kursi. Satu tangan ia gunakan untuk meraih sepasang alat makan yang terletak di atas meja; sendok dan garpu.

Sembari menghabiskan makan malamnya, untuk mengusir rasa sepi yang kian kentara dengan sengaja ia memutar salah satu film di ponsel. Mengeraskan volume suara ponsel lalu kembali larut ke dalam adegan-adegan di dalamnya. Film yang kali ini ia tonton tak jauh-jauh dari film berbumbu romansa.

Jisoo merampas suap terakhir dalam waktu kurang lebih satu jam. Penyebab mengapa ia sangat lambat ketika makan tak lain tak bukan adalah fokus menonton film yang semakin seru. Ia terbelalak ketika adegan di hadapannya terlalu intim. Sial, ia bahkan tak memperhitungkan ini akan terjadi. Ia tersedak, ingin meraih air, tapi melihat jarak antara posisinya dengan air sudah tidak memungkinkan. Dengan bodoh, ia pun memukul pelan bagian dada, berharap semoga rasa perih di kerongkongan mau berkurang meski tak cukup signifikan.

Kerongkongan kian tercekik. Sepasang sudut pelupuk telah banjir oleh cairan bening. Ia menangis ketika merasa bodoh seperti saat ini. Ia bahkan bingung harus melakukan apa. Dengan sekuat tenaga yang ia miliki, ia mencoba mencegah batuk kecil yang hendak menguar dari dalam kerongkongan agar tidak tersuarakan. Sungguh, ia sudah memprediksi kalau batuk itu akan semakin membakar kerongkongannya tanpa ampun.

"Minum."

Di tengah keramaian konversasi puing-puing ikatan neuron dalam kepala, Jisoo mencoba menarik satu benang atensi dari sana. Ia menoleh ke arah sumber vokal yang sempat membelai koklea, menatapnya dengan menjarah satu garis lurus dalam pandangan netra. Ia tak mau skeptis, tak mau menolak secara mentah presensi yang baru saja hadir di sisi dengan rentetan kalimat penyayat batin. Dengan sigap, ia pun mengambil alih gelas berisi air dari uluran tersebut. Meneguknya hingga tandas dan membiarkan tiap-tiap mineral membasahi kerongkongan yang nyaris terbakar.

Ia tak perlu repot-repot untuk bangkit sebagai tanda hormat. Sebagai gantinya, ia semat kurva lengkung sabit di bibir hingga nyaris membuat sepasang pipi menyentuh pelupuk. Ia rajut konversasi dengan segala atensi yang dimiliki. "Terima kasih, Tuan."

Lawan bicara Jisoo geming. Entah karena tak bisa menanggapi, atau dia tak ingin menanggapi.

Jisoo berdeham kilat. Membenarkan letak beberapa anak rambut nakal yang jatuh di wajahnya. Ia pun bersua, "Kenapa baru menampakkan diri sekarang? Ini sudah hari keempat sejak kepindahanku kemari."

"Kupikir kau akan berteriak dan memutuskan untuk menjual rumah ini setelah melihatku," balas si lawan bicara.

Jisoo terkekeh kecil. Ia menunjuk sebuah kursi di seberang posisi, memberi isyarat agar si lawan bicara mau menempati. Setelah memastikan lawan bicaranya duduk nyaman ketika hendak memulai konversasi, ia pun bersua lagi, "Oh, tentu saja, tidak. Sejak lahir ke dunia, aku sudah berteman baik dengan makhluk dari dimensi lain, sepertimu. Namun, tidak ingin menutupi fakta yang ada, aku memutuskan pindah kemari karena merasa sedikit terganggu dengan makhluk yang menempati rumah lamaku."

Lawan bicara Jisoo menyahuti, "Semoga kau mau berlama-lama tinggal di sini. Lagi pula, hanya tinggal beberapa minggu saja aku berada di sini."

Jisoo kontan mengernyit. Ia menopang dagu dengan satu tangan, mengarahkan pusat pandangan pada satu makhluk yang duduk tepat di hadapan. "Kenapa begitu? Apa hantu memiliki batas waktu untuk tinggal di dunia?"

Lawan bicara Jisoo yang belum menyebutkan namanya itu lantas mengikuti bagaimana cara Jisoo menopang dagu. Dia tersenyum tipis sebelum membalas, "Tentu. Waktu kami sekitar seribu hari di dunia. Walaupun terkadang, ada sebagian dari kami yang sudah harus rela meninggalkan dunia di hari ketujuh setelah kematian. Jika kami memiliki sebuah janji, maka kami harus berhasil menepati janji itu."

"Kami yang kaumaksud itu siapa?"

"Kami, golonganku."

Jisoo membulatkan bibirnya tanda mengerti. "Oh. Apa rumah ini sebelumnya memang hanya kau yang menempati?"

Lawan bicara Jisoo menggeleng. "Tidak. Sebelumnya ada aku dan adikku. Tapi, ya, kautahu, adikku sudah lebih dulu menyelesaikan janjinya. Sedangkan aku yang tidak memiliki janji dengan siapa pun, harus rela menunggu batas waktu menjemputku dengan sendirinya."

Hening untuk beberapa saat. Angin dengan usil menerbangkan beberapa helai rambut lawan bicara Jisoo dengan ringan. Sinar dari lampu ruangan yang menerpa wajah lawan bicaranya membuat Jisoo nyaris tak berkedip di tempat. Demi Tuhan, ia baru bertemu sesosok hantu yang sempurna. Jika boleh, ia tak akan pernah menganggap makhluk yang duduk di hadapannya saat ini adalah hantu. Dengan sepasang cekung di pipi, sorot netra tajam, dan jangan lupakan bagaimana cara hantu di depannya menarik otot-otot di sekitar bibir hingga membentuk segaris senyuman. Benar-benar menawan.

"Siapa namamu?"

Jisoo nyaris terhuyung ke belakang jika saja kendali tubuhnya benar-benar hilang. Ia mengerjap unuk beberapa saat, sedikit memastikan bahwa makhluk di depannya memang sedang bertanya dan itu bukan termasuk ke dalam fantasi saja. Ketika telah merasa bila raga kembali menapaki bumi, ia segera saja menjawab, "Seo Jisoo. Kau boleh memanggilku Sooya." Inisiatif ia melanjutkan dengan bertanya, "Lalu, siapa namamu?"

"Namjoon."

"Hanya Namjoon?" Jisoo lemparkan tanya penuh kebingungan. "Ke mana perginya marga dari namamu?"

Hantu yang berjenis kelamin pria itu lantas tertawa menanggapi pertanyaan Jisoo. Dia mengakhiri tawa dengan satu gerakan penguras atensi Jisoo; menyugar rambut ke belakang menggunakan jari-jari panjangnya.

Dia menjawab, "Kukira kau tidak akan bertanya lebih lanjut."

Jisoo mengerjap dari keadaannya yang tengah terbius oleh pesona Namjoon. Ia berdeham singkat, lalu membalas pelan, "Kau terlalu banyak mengira."

"Kim Namjoon. Namaku Kim Namjoon."

Terbesit ingatan beberapa hari yang lalu. Tidak ada salahnya juga jika ia bertanya mengenai hal tersebut. "Namjoon," panggil Jisoo.

Yang dipanggil hanya bergumam singkat sebagai jawaban.

"Apa kau juga yang mengganti selimutku beberapa waktu yang lalu?" Ia bertanya hati-hati, bahkan dengan sengaja ia memelankan sedikit volume suaranya ketika bertanya demikian.

Namjoon tersenyum. "Maaf sebelumnya. Namun, iya, aku yang menggantinya. Aku tak tega melihatmu meringkuk kedinginan."

Jisoo menggerakkan kepalanya ke atas kemudian ke bawah secara berulang kali hingga berhasil ciptakan gelak tawa memecah nyenyat di malam hari. Ia menatap Namjoon dengan lekat. Mengamati dengan cermat bagaimana cara pria itu menarik dua sudut bibir hingga menimbulkan sepasang palung penuh pikat di masing-masing pipinya. Dan jangan lupakan gerakan tangan Namjoon yang ringan ketika menyingkirkan anak rambut dari hadap pandang.

Ia tak akan pernah malu mengakui sebuah fakta bahwa ia, Seo Jisoo, menyukai cara Namjoon, si hantu tampan, ciptakan dua cekungan di masing-masing pipinya.

***
Tbc.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang