Senja rasa-rasanya sangat penuh pengertian. Angin pun memberi afeksi yang sama, sedemikian rupa. Pendar-pendar cahaya yang menelan gulita dengan lamat tanpa perlu gerakan mengunyah itu nampak mencumbui malam dengan begitu intim dan hangat. Vokal hewan mikro yang melengking karena saking sepi keadaan kelip yang setubuhi gelap terdengar memenuhi udara. Belum terlalu petang sebenarnya, tetapi semesta mendukung kepergian seseorang yang dipegang erat-erat sampai nyaris tulang-belulangnya patah, sampai suhu di sekitar berubah. Memenjarakan yang tak akan pernah bisa dipenjarakan. Menahan yang tak akan pernah bisa dipertahankan.
Dipeluk dengan sangat erat oleh keheningan hingga bila hendak mempertajam kemampuan rungu di kala petang yang hanya bisa ditangkap adalah degup jantung satu insan yang tak beraturan. Napas putus-putus diiringi dentum jam yang bergerak lambat, didampingi dinding yang terkesan mengejek kesenyapan dengan posisi stagnan. Terkesan monoton karena instrumen yang mengisi penuh ruang pendengaran adalah lagu yang sama; suara tarikan napas yang begitu rakus, suara embusan napas yang membuang karbondiokasida hasil respirasi dengan begitu tak sabar, serta suara jarum jam yang mempunyai ritme dan volume yang serupa.
Ia tidak ingin membunuh senyap dengan menghunus ruang-ruang kosong itu menggunakan vokal atau yang paling kecil adalah cicit seperti tikus. Bukan mencintai sunyi, ia hanya ingin menghargai ketenangan yang begitu damai dan menghanyutkan berkuasa di sekelilingnya. Sunyi tidak memerintah dengan otoriter, pula tidak memperbudak denting-denting jam serta napas tak tersistem agar tunduk pada kuasanya dan memberikan sepi sebagai pengganti. Ia menyukai cara sunyi mengeksplorasi, menggusur puing-puing gulita yang menyesakkan, serta membangun suasana yang murni; asli, tidak terekayasa sama sekali.
Di meja makan yang memanjang, duduk di kepala kursi dengan bahasa tubuh yang tenang, ia memberi Namjoon sedikit ruang. Membiarkan pria itu terus-menerus menelanjanginya dengan tatapan. Tidak ingin menginterupsi, tidak pula ingin Namjoon berhenti. Menyulam konversasi dengan suara hati, tidak perlu terdengar, yang penting Namjoon mengerti. Kalau boleh ia sedikit saja egois untuk saat ini, yang paling ia ingini adalah waktu berbesar hati untuk menghentikan diri, agar ia dan Namjoon berpuas-puas hati saling memandangi tanpa henti, sampai mentari terbit lagi, sampai esok yang tak dapat diprediksi. Ia ingin terus seperti ini; duduk bertiga, ditemani Namjoon dan keheningan.
Paru-parunya seolah telah diiris tipis-tipis sampai terasa perih sekali ketika ingin mengolah oksigen di tiap-tiap bulir alveolus yang ia miliki. Pleura yang diberi ekspektasi lebih untuk melindungi, ternyata tak berguna sama sekali. Sudah koyak, pula telah rombeng. Compang-camping seperti pakaian yang digunakan Nyonya Rubhy. Menghela napas saja sulit. Apakah ada baiknya kalau ia menyusul Namjoon ke dimensi lain?
Dalam beberapa detik yang laun sekali, Namjoon meraih satu tangannya untuk dibawa ke dalam genggaman. Epidermis dingin milik pria itu sungguh membuai tiap-tiap kulit jemarinya. Menyentuh dengan begitu berperasaan, memperlakukan daging bertelapak pucat serta punggung berpigmen serupa dengan sangat hati-hati. Kalau dilihat lebih teliti, terkadang Namjoon punya sifat yang suka melebih-lebihkan.
"Kalau aku sudah pulang ke rumah Tuhan, apa kau akan melupakanku?"
Pertanyaan yang terlontar dungu dari belah labium Namjoon. Bibir yang lebih tebal di bagian bawah itu rasanya ingin ia hajar sampai basah karena air liur. Bibir Namjoon perlu diajarkan bagaimana caranya membentuk aksara yang pas sebagai kalimat perpisahan, bukan malah melontarkan pertanyaan tolol yang sudah memiliki jawaban absolut sebelum terlontar. Ia meremas pelan urat-urat yang menjadi pola pada epidermis Namjoon, tak peduli hantu itu bisa merasakannya, atau pun tidak. Ia menelan saliva, mendorong cairan tersebut hingga masuk ke dalam kerongkongan yang mulai gersang disebab tak produksi frasa atau alinea barang sedikit. Ia menarik lurus garis tatap dari netra Namjoon, membuat netra jelaga itu sedikit berkilat pada orbitnya. "Tidak. Kalau aku boleh jadi orang gila dan sedikit dianugerahi keberanian untuk lompat dari lantai apartemen Sunny atau Jaehyun, mungkin sesaat setelah kaupulang, aku akan menyusulmu." Ia memandang Namjoon lamat-lamat. Namjoon harus tahu kalau yang ia katakan itu adalah kebenaran. Ia berani mati kalau seandainya kematian itu tidak sakit dan mengeluarkan darah, tidak pula menyiksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Am Teoranta
FanfictionSeo Jisoo dan Kim Namjoon punya sebuah hubungan yang mustahil untuk diakui oleh semesta dan seluruh isinya. Ketika cinta yang tulus saja tak cukup untuk menjalani sebuah ikatan romansa, Jisoo tetap kukuh mempertahankan Namjoon kendati tak bisa salin...