3.0

205 49 0
                                        

Cinta itu sebenarnya mudah. Cukup merasa saling membutuhkan, mengerti, dan menyayangi, maka sebuah debar abnormal tiba-tiba akan terdengar. Definisi cinta memang begitu. Namun, ketika perkara perasaan mulai ikut campur, maka cinta tidak akan semudah itu lagi. Cinta akan menjadi sebuah problematika yang paling rumit untuk dipecahkan oleh akal pikiran. Logika saja tidak cukup untuk menguraikan definisi cinta yang telah tercampur oleh rasa. Semua akan menjauh dari porosnya, berputar tak terkendali hingga membuat emosi terus meluap-luap. Lebih-lebih lagi jika cinta dan rasa itu tidak bisa dimiliki. Bisa jadi gila, barangkali.

Seperti Jisoo saat ini. Untung saja ia masih berada dalam tahap menyukai, tidak lebih dari itu. Apalagi ia telah salah menjatuhkan afeksi. Ia dan Namjoon disekat dimensi. Tentu hal itu semakin rumit, perkara besar yang akan semakin menjadi-jadi. Kalaupun nanti ia dan Namjoon saling mencintai, tetapi tetap saja omong kosong, mereka tidak bisa saling memiliki. Katakanlah ia mudah jatuh hati, tapi apa mau dikata? Ia telah jatuh sedalam-dalamnya pada Namjoon yang memiliki sejuta pesona. Untuk sekali seumur hidup, ia tidak akan menyesal karena telah mengizinkan Namjoon mendiami kasta tertinggi di dalam hatinya.

Ia mengayunkan kaki untuk kesekian kali guna membabat rasa jenuh yang mulai gencar menggerogoti. Saat ini ia sedang berada di pelataran studio, menanti Sunny datang dan segera menggantikan posisinya. Sudah lebih dari tiga puluh menit, tetapi tanda-tanda kemunculan wanita itu tidak juga tertangkap netra.

Ia membuang napas kasar dengan pandangan mata kosong ke arah depan. Sudah lewat empat hari semenjak permintaan Namjoon saat itu. Ia juga telah menyanggupi. Alih-alih mendapat perhatian lebih dari si hantu Kim, tetapi malah ia yang harus mencurahkan perhatian lebih. Sial, tapi sungguh, ini sebuah kesialan yang akan sangat ia syukuri karena berhubungan dengan Kim Namjoon.

"Hey, maafkan aku. Aku terjebak macet. Kau boleh pulang sekarang, Sooya."

Kalimat pembuka dari Sunny yang baru saja tiba. Cukup membawa angin segar untuknya. Ia pun tak perlu berlama-lama lagi untuk segera mengangguk dan melesat pergi menjauhi studio radio tempatnya dan Sunny bekerja. Ia memutuskan untuk pulang dengan menaiki taksi, seperti biasa.

Tidak perlu lagi bertele-tele untuk mendeskripsikan ramainya jalanan kota di sore hari. Yang bisa ia jabarkan saat ini hanya terdiri dari tiga kata; sesak, bising, dan berdebu. Untuk ukuran seorang manusia biasa barangkali cukup seperti itu. Namun, jika seorang manusia yang terbilang istimewa sepertinya, mungkin suasana kota saat ini merupakan kondisi menjelang ramai bagi para teman-teman beda dimensi. Beberapa hantu tanpa kepala atau hantu kecil yang bergelantungan di kaki para pejalan tidak lagi bisa menjadi pemandangan luas biasa mengejutkan, malah terlampau biasa. Tak perlu terkejut jika tak sengaja melirik ke arah kanan dan mendapati seorang hantu tengah mencium bibir seorang manusia yang tengah berbincang. Sedikit menjijikkan, tapi itu sudah biasa di matanya.

Ia pun tiba dengan selamat di tempat tujuan; rumah dan Namjoon. Ia segera turun dari taksi setelah mengeluarkan beberapa lembar uang dan menyodorkannya kepada sang pengemudi. Sedikit berlari ketika menemukan Namjoon telah menyungging senyum sejuta afeksi di depan pintu. Ia tak mau kalah, turut melukis senyum lebar sebagai tanggapan bisu dari senyum Namjoon.

Ia segera buka suara ketika berhasil menggiring Namjoon masuk ke dalam rumah dan tak lupa menutup akses masuk. "Aku harus mandi, lalu makan sambil menemanimu di perpustakaan. Kautunggu saja di dalam sana, aku akan mengusahakan durasi berendamku tidak seperti kemarin, atau beberapa hari yang lalu," ucapnya disambut kekehan kecil dari Namjoon.

Meninggalkan Namjoon serta suara tawa dari bibir pria itu menuju kamar. Tak henti-henti ia mewanti pada hati agar sedikit kuat saja saat Namjoon tiba-tiba tertawa dan memberi sedikit tatapan memuja, jangan sampai ia terlalu terpesona dan berujung pada penyesalan semata. Ia harus paham pada satu fakta bahwa sesungguhnya, ia dan Namjoon dipertemukan pada waktu yang salah, mereka berbeda.

Merendam dirinya secara brutal pada kubangan air beraroma yang telah dicampur busa sabun agar sedikit menimbulkan warna. Ia memejamkan mata, sedikit berkhayal akan kisah cinta yang begitu diwarnai romansa dengan Namjoon si hantu menawan penuh pesona. Ya, ia tahu bahwa menyukai Namjoon merupakan cara yang salah dalam mendeskripsikan rasa. Namun, ia juga tidak bisa begitu saja berpaling dari sebuah fakta; ia sungguh telah jatuh sepenuhnya pada Namjoon, menyerahkan seluruh jiwa raga hanya untuk kesenangan Namjoon. Hanya Namjoon. Dan pada saat itu juga, ia, Seo Jisoo, telah mengakui secara mutlak tentang kenyataan baru mengenai rasa yang perlahan melambai di depan netra; ia akan mencintai Namjoon dengan cara yang gila.

Setelah cukup lama berendam hingga terlihat jelas dari ujung-ujung jemari yang mulai mengerut kebosanan, ia akhirnya selesai. Mengenakan pakaian hasil asal pilih lalu dengan segera mengambil langkah menuju dapur untuk mencuri beberapa lembar roti dengan selimut selai kacang dan cokelat, kemudian menyusul Namjoon yang telah khidmat mencumbu lembar-lembar buku di perpustakaan.

Ia menggigit roti dengan gerakan teramat pelan. Begitu pula ketika hendak mengunyahnya. Ia hanya berusaha menjaga konsentrasi Namjoon agar tidak pecah. Itu saja. Lalu, kenapa terdengar berlebihan, ya?

Namjoon tertawa dalam diam. Sejak kedatangan Jisoo, dia memang sengaja tidak menggubris keberadaan gadis itu, tetapi tetap memfokuskan tatapannya pada deretan huruf meski tidak membaca. Sekadar melihat saja.

"Mau sampai kapan kau mengunyah roti dengan cara seperti itu, Sooya?"

Jisoo tersentak, tetapi tak sampai membuatnya tersedak roti. Ia hanya menanggapi Namjoon dengan memamerkan deretan kalsiumnya yang rapi.

Namjoon menutup buku. Melesat pelan lalu duduk di sebelah Jisoo sambil menopang dagu dengan sebelah tangan. Dia mengamati lamat-lamat lekuk wajah Jisoo. Mengamati lebih lekat terutama pada bagian mata dan bibir. Dia memiliki satu kesimpulan yang pasti; Jisoo itu cantik. Namun kendati demikian, dia tak mungkin pula mengatakan pada gadis itu secara terang-terangan.

Jisoo melirik Namjoon melalui ekor mata. "Kau mau apa, sih? Aku takut kalau kau dekat-dekat begini," ungkapnya. Bukan takut apa-apa. Ia hanya takut kalau Namjoon akan mendengar detak jantungnya yang frontal memuji kesempurnaan pria itu. Tidak, jangan sampai.

"Aku 'kan hanya ingin melihatmu dalam jarak dekat. Lalu, apa yang salah?"

"Tidak ada yang salah," balas Jisoo sembari memalingkan wajah.

Namjoon mengulum bibir, berusaha agar tidak tertawa saat sedang menggoda Jisoo seperti saat ini. "Jangan membuang muka begitu, Sooya. Aku masih ingin melihat wajahmu."

Jisoo buru-buru menatap Namjoon. Ia menyentuh wajah, meraba-raba permukaannya untuk beberapa saat. "Ada apa di wajahku? Ada jerawat, ya?" Ia tidak bisa begini. Malu. Besok ia harus mengajak Sunny untuk pergi ke dokter dan memeriksakan kondisi wajahnya. Ia tidak mau Namjoon memergoki sebuah jerawat muncul di permukaan kulitnya, lagi. Tidak mau.

Namjoon menikmati raut panik yang ditampilkan Jisoo. Lucu, gadis itu masih menyentuh wajahnya dengan gerakan lucu. Dia pun menyentuh dagu Jisoo hingga membuat pergerakan jemarinya terhenti. Sejenak saling berpandangan, merajut tatap dalam senyap hingga Jisoo lebih dulu memutus kontak mata dengan cara berkedip lucu.

Dia semakin mendekatkan wajah, tetapi Jisoo melakukan hal yang berkebalikan; menjauhkan wajah. Dia menahan Jisoo agar tidak lebih jauh lagi ke belakang. Sekali lempar senyum sebelum berkata dengan vokal rendah, atau lebih dibenarkan lagi kalau dia tengah berbisik, "Tidak ada apa-apa di wajahmu. Kau masih seperti sebelumnya. Cantik."

***
Tbc.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang