2.1

231 51 0
                                        

"Apa kau tidak bosan membaca buku ilmiah setebal itu tiap hari, Joon?"

Jisoo menumpu dagu dengan satu tangan yang ia letakkan di atas meja kecil perpustakaan. Sesekali bercengkrama dengan Namjoon yang terlihat masih asik mencumbu lembar-lembar buku. Ia mulai jenuh mengamati bagaimana cara Namjoon membalik halaman buku tersebut, ya, meskipun dalam satu waktu yang sama terkadang ia terpesona.

Namjoon sekilas melirik Jisoo di depannya, kemudian kembali larut membaca deretan huruf yang ternyata mulai kalah menarik dengan ekspresi wajah Jisoo.

Kendati telah lama menggantung pertanyaan Jisoo selama kurang lebih lima menit, dia tetap menjawab santai, "Bosan, tapi aku suka."

Jisoo mencebik, lantas merebut buku tebal yang sejak tadi berhasil menyita perhatian si hantu menawan. Ia tak menggubris protes Namjoon. Membaca deret-deret huruf yang telah dirangkai sedemikian rupa agar membentuk alinea berundak-undak. Ia membaca satu kalimat. Mencerna tiap-tiap kata yang tersaji di sana. Namun, sudah menghabiskan waktu sampai merasakan lelah pada otot-otot matanya pun ia masih tak dapat mengerti apa maksud dari kalimat tersebut. Dengan perasaan kesal, ia menyodorkan buku itu kembali ke hadapan Namjoon hingga berhasil membuat pria itu terkekeh.

"Apa?" tanyanya dengan vokal naik satu oktaf. "Aku merasa bodoh kalau seperti ini, Joon. Kenapa kau suka sekali membaca buku yang sukar dimengerti? Kasihan otakmu."

Namjoon tak menyentuh buku tebal itu lagi. Dia turut meniru cara Jisoo menopang dagu, tetapi yang membedakan adalah, dia menopang dagu menggunakan dua tangan sekaligus. Mengedip untuk beberapa kali sebelum menyahut, "Entah. Aku hanya suka. Menyukai kerumitan tiap kata yang dirangkai. Aku menyukai bagaimana cara deretan kata-kata asing itu mengisi kekosongan tiap utas neuronku yang kemudian menyandang sebagai jembatan di antara lubang-lubang kecil di dalam sini." Dia mengetuk pelipis sebanyak dua kali ketika mengucapkan kata terakhir dalam ucapannya tadi.

Jisoo dibuat kagum untuk yang kesekian kali, mungkin tak terhitung lagi. Ia berbinar takjub. "Kau terlihat seperti orang berpendidikan. Sebelum mati karena racun di dalam teh, apalagi hal menarik yang pernah kaulakukan?"

Namjoon tertawa dengan satu jari yang hinggap di hidungnya, menggaruk salah satu dari anggota tubuhnya itu beberapa kali di tempat yang sama. "Kau mengatakan seakan-akan aku sudah merencanakan kematianku, tahu. Omong-omong tentang hal menarik." Dia menggantung ucapan di udara. Sejenak meninjau ulang memori-memori masa lalu yang terkubur dan tergeletak manis di kubangan ingatannya. "Kurasa tidak ada yang menarik. Hidupku ini monoton. Di pagi hari aku akan membaca buku di perpustakaan sebelum memanggang dua roti dengan selai kacang, lalu berangkat ke kantor. Mengerjakan beberapa hal di gedung yang sekarang telah rata dan digantikan dengan bangunan lain, mungkin."

Manik mata Jisoo berpendar penuh antusias. Ia mendesak agar Namjoon mau melanjutkan cerita mengenai kesehariannya sebelum menjadi hantu menawan.

Namjoon menurut saja ketika Jisoo dengan senang hati mau mendedikasikan rungu untuk mendengar celoteh monoton keluar dari labiumnya.

"Aku akan pulang ke rumah ketika jam dinding di ruanganku bekerja telah menyentuh angka lima. Sore hari adalah waktu yang sangat aku tunggu-tunggu."

"Kenapa?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja ketika menangkap raut sendu dari wajah Namjoon.

Namjoon membuang hasil respirasi ke udara dengan kasar. Dia memijat pangkal hidung untuk beberapa saat.

Jisoo yang melihat gerakan Namjoon pun inisiatif lemparkan tanya, "Namjoon? Kau tidak perlu memaksakan diri untuk bercerita. Aku tidak memaksa."

Seakan tak mau membuat Jisoo kecewa, Namjoon menggeleng kontra. Tak lupa semat kurva penuh pesona sebelum berkata, "Aku selalu menanti ibu berkunjung ke rumah. Dan kau pasti bisa menebak, ibu tak pernah mau menginjakkan kakinya kemari. Harusnya aku sudah menaruh curiga saat ibu tiba-tiba datang dan menawariku untuk bercengkerama di halaman belakang serta tak membiarkanku untuk menyeduhkan teh untuknya. Dia mengambil alih itu semua. Aku bodoh. Sangat bodoh, Sooya."

Jisoo susah payah menghalau likuid yang hendak turun dari sudut palungnya. Ia menyentuh permukaan tangan Namjoon, meminta pria yang memiliki lesung pipi itu menyambut genggaman tangan tersebut. Ia tersenyum manis, menatap Namjoon penuh afeksi. "Hey, siapa bilang seorang Kim Namjoon bodoh, huh? Kau terlampau cerdas, jenius, pintar. Kau seakan-akan menjelma menjadi definisi dari kesempurnaan absolut, Joon. Jangan merasa seperti ini lagi, ya? Kau terlihat menyedihkan, dan aku benci ketika mengatakan fakta yang satu itu. Tidak keren, tahu!"

Namjoon terbahak di semenjana perasaannya yang abstrak. Dia mengusap permukaan tangan Jisoo. Meski tahu wanita itu tak akan pernah merasakan belaian lembut yang dia ciptakan.

"Lalu, apa yang kaulakukan ketika malam hari?"

Dia tak mengalihkan pandangan dari jari-jemari Jisoo yang lentik. Kulit Jisoo yang seputih salju, bibir tipis serona ceri alami, perlukah dia sebutkan bagaimana sosok bidadari di hadapannya saat ini?

"Istirahat. Aku bukan robot. Aku pun manusia yang bisa lelah. Namun, aku lebih sering menanti jarum jam menyentuh angka sepuluh. Mengisi waktu luang dengan membaca buku atau menyeduh kopi dan meminumnya sambil menonton televisi," ungkap Namjoon yang sesekali disisip senyum kecil. Dia beralih mengunci pergerakan manik mata Jisoo. Menyelami palung teduh itu dengan perasaan membuncah, aneh, penuh debar abnormal. Kini dia yang bertanya, "Kalau kau? Apa yang biasanya Nona Seo ini lakukan?"

Jisoo tertawa kecil ketika mendengar namanya disebut dengan sedemikian rupa oleh Namjoon. Ia tak protes. "Akhir pekan, tentu saja aku akan tidur sepanjang hari. Hibernasi. Di hari-hari produktif seperti hari ini contohnya, aku akan pergi ke studio siaran radio pukul delapan pagi nanti, atau jika Sunny sedang malas mengambil acara siaran sore, kami akan bertukar waktu kerja. Sisa waktuku selalu aku habiskan di rumah. Oh, terkadang jika sudah bosan di rumah atau sedang tidak dalam kondisi yang baik untuk berinteraksi dengan Nyonya Rubhy, aku akan pergi ke pusat perbelanjaan, kedai es krim atau tempat semacamnya. Kecuali klub, tentu saja."

Namjoon mengerutkan kening. Menatap Jisoo kian lekat tiap sekonnya. Meneliti wajah wanita indigo itu secara cermat. Mencari-cari letak kebohongan dari setiap kalimat yang baru saja terlontar dari bibir indah wanita di depannya.

"Sooya."

Jisoo menyahut dengan gumam lirih.

Namjoon semakin mengikis jarak. Mempersempit jengkal di antara dia dan Jisoo. "Apakah Seo Jisoo di hadapanku ini adalah seorang wanita polos yang tak pernah menyentuh segelas martini atau soju?" Belum sempat Jisoo menjawab, dia kembali bersua, "Oh, atau sebenarnya Seo Jisoo adalah seorang gadis polos? Gadis, atau wanita?"

Jisoo mendengkus. Namun ia tak merasa tersinggung dengan pertanyaan yang baru saja Namjoon lontarkan kendati pertanyaan itu sedikit menyeret teritorial privasinya. Ia pun membalas dengan seringan kapas, "Kau boleh tertawa setelah ini. Fakta yang perlu kautahu dari seorang penyiar radio terkenal bernama Seo Jisoo di hadapanmu ini adalah; aku memang tidak pernah menyentuh martini, soju, anggur, atau apa pun itu mereka menyebutnya. Dan satu lagi, aku adalah gadis lugu yang menolak dengan keras adanya toleransi seks bebas di negeri ini."

Setelah menunggu beberapa saat untuk mendengar suara tawa terbahak keluar dari bibir Namjoon, ia harus menelan prasangka itu bulat-bulat. Hingga bibirnya mengatup rapat pun, Namjoon masih tak memproduksi suara tawa dari pita suaranya.

Namjoon semakin memperdalam tatapan matanya. Menurunkan dua tangan yang sejak tadi menumpu dagu serta sedikit mencondongkan tubuh semakin dekat ke arah Jisoo.

"Sepertinya kita berada dalam satu pihak yang sama, Sooya."

***
Tbc.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang