2.2

230 48 1
                                    

Suara percik air hujan semakin nyaring terdengar. Tertangkap apik melewati gendang telinga serta saraf-saraf lain di dalam sana. Menenangkan, begitu menghanyutkan. Mengalun merdu, nyaris serupa dengan musik pengantar tidur yang dapat membuat para pendengarnya terbius, lalu tertidur pulas. Jangan lupakan pula aroma tanah, petrikor yang tak pernah lekang eksistensinya dari gemerlap dunia. Candu kesekian yang mampu membuat manusia rela menunggu hari demi hari hanya untuk menghidu tamak dalam waktu lama. Ramai, tapi tak memuakkan. Basah, tapi menyenangkan. Tangisan awan tentu akan selalu dinantikan oleh seluruh insan.

Masih dengan Jisoo dan Namjoon. Duduk berdua menghadap pintu yang terbuat dari kaca berukuran besar, mengamati dalam bisu proses rintik-rintik menghantam bumi tanpa letih. Mencium permukaan tanah berkali-kali tanpa merasa jemu, terkadang hujan memang terkesan seintim itu.

"Joon, apa yang kaulakukan ketika aku sedang tak ada di rumah?"

Namjoon telah sepenuhnya beradaptasi dengan tingkat kuriositas tinggi yang diam-diam dimiliki oleh Jisoo. Dia menduga jika Jisoo ternyata tak sebodoh dan sepolos yang dia kira. Perkataan Jisoo ada benarnya; dia terlalu sering mengira. Dia melirik Jisoo melalui ekor mata. Menaikkan selimut yang menutupi tubuh wanita itu sedikit ke atas, takut-takut kalau Jisoo akan merasa kedinginan. Dia tersenyum tipis, menundukkan pandangan untuk beberapa saat.

Dia menjawab rendah, "Seperti biasa; membaca buku, mengitari halaman sampai merasa jenuh, membaca buku lagi, menonton televisi, membaca buku lagi dan lagi, mencoba memejamkan mata meski kutahu jika itu percuma, lalu membaca buku lagi, lagi, dan lagi."

Jisoo menenggelamkan setengah bagian wajahnya pada lipatan selimut yang baru saja Namjoon benarkan letak posisinya. Ia tertawa kecil ketika berhasil menangkap jawaban Namjoon. "Aku akan mati kebosanan jika mengikuti caramu mengisi waktu luang," kelakarnya.

Namjoon terbahak, tak lupa menyugar rambut yang jatuh mengenai wajah menggunakan jemari. Dia membalas tak kalah jenaka, "Aku sudah mati, jadi aku tidak akan mati kebosanan jika melakukan semua itu setiap hari."

Merotasikan dua bola mata karena terlampau lelah menanggapi ucapan Namjoon. Ia semakin merapatkan selimut ketika merasa udara kian menusuk daksa. Malang sekali nasib epidermisnya, pasti kedinginan karena penganiayaan keji dari suhu udara. Kendati sedikit tak menyukai kedatangan hujan, ia masih loyal menikmati. Tentu, presensi Namjoon sebagai salah satu alasan mengapa ia tak begitu menghiraukan pekikan hujan.

"Sooya." Tak ada secercah niatan yang terbesit dalam otaknya untuk menatap Jisoo ketika memanggil lirih nama si wanita. Dia malah terpaku mengamati cumbuan tetes air dengan tanah berpakaian rumput yang berada tak jauh di hadapannya, hanya tersekat pintu kaca saja. "Apa kau pernah ditusuk berulang kali?" Dia semakin tak berkedip, kemudian mengimbuhi, "tapi bukan ditusuk pisau atau belati."

Jisoo angkat satu alis sebagai manifestasi dari rasa bingung yang bercokol dalam diri. "Lalu? Ditusuk dengan apa?"

Awalnya Namjoon hanya mengangkat baru, tetapi sepersekian sekon dia nampak menunduk lesu. Memutus kontak pandang dengan aktivitas intim rintik hujan bersama tanah becek. "Pengkhianatan, perselingkuhan, diduakan, dicampakkan, dan dicuaikan, atau apa pun itu yang menyakitkan. Apa kau pernah mengalami salah satu atau semua?"

Tanpa pikir panjang, Jisoo lantunkan jawaban, "Tidak. Aku ini gadis baik-baik. Naif, lebih tepatnya. Aku juga skeptis dengan keberadaan sebuah ikatan. Aku mencintai aku. Aku menyayangi aku. Aku sangat mengagumi aku. Aku, diriku."

"Terdengar egois, ya," respons Namjoon, "tidak mengherankan juga, sih. Kau memang gadis naif. Namun, apa kehidupanmu tidak terlalu sempurna dan sedikit... aneh?"

Jisoo terkekeh bersamaan dengan gelengan kepala. "Kurasa, tidak. Tak ada yang menarik di dunia ini selain ambisiku untuk hidup mandiri. Kau memerlukan cermin jika sampai berkomentar kalau hidupku monoton dan membosankan, karena kautahu, hidupmu juga begitu." Ia akhiri percakapan tersebut dengan melirik Namjoon kemudian semat kurva cantik di bibir.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang