4.0

160 46 3
                                    

"Kau ini kenapa, sih?" Jisoo menggeram tak habis pikir dengan kelakuan Namjoon dua hari belakangan ini. Hantu itu masih keras kepala, mendiaminya seperti anak kecil saja.

Namjoon melirik presensi gadis di sampingnya melalui ekor mata. Tuhan, apa sepolos itu Jisoo sampai tidak tahu kalau dia hanya ingin sebuah kata maaf? Dia hanya ingin Jisoo meminta maaf, hanya itu saja, tidak lebih.

Jisoo mencengkeram gelas berisi cokelat panas. Menyalurkan emosi ke sana, siapa tahu bisa bersatu dengan cokelat, barangkali tangan bisa juga sebagai konduktor paling baik. Ia ingin sekali segera mengakhiri semua ini. Muak, tapi juga rindu.

Di mana lagi kalian akan menemukan seseorang yang saling mendiami seperti ini, tapi diam-diam juga saling merindui?

Jisoo merasa tak perlu mengatakan apa-apa karena jelas, ia benar. Namun sikap Namjoon yang tak kunjung menampakkan aura positif membuat sisi lain dari dirinya memberontak. Menginginkan hantu itu kembali seperti beberapa hari yang lalu; hangat, penuh pikat, begitu cerdas dengan buku tebal di tangan. Bolehkah ia merindu seseorang yang entah tengah merindu siapa di lubuk hatinya yang terdalam? Bolehkah ia sedikit saja bersembunyi untuk mencuri-curi tatap dari bola mata Namjoon? Bolehkah ia?

"Sooya."

Astaga, bahkan ketika Namjoon mulai melesat, mendesak mendekat hingga nyaris membuat paru-parunya mengembang dan mengempis tak tersistem, ia masih memandangi bola mata itu dengan lekat. Mendengar secara cermat bagaimana labium merona di wajah hantu menawan di depannya memproduksi sebuah panggilan manis. Ia begitu merindukan Namjoon, tapi sungguh, ia gengsi untuk mengucapkan itu. Lagipula, ia masih ingin menyimpan semua untuk seorang diri, hanya ia, tidak untuk Namjoon maupun semesta.

Meski ragu, ia tetap membalas, "Apa?" Terdengar ketus, barangkali. Itu impulsif. Baru sadar ketika otaknya merekam kembali intonasi yang melayang sebagai tanggapan untuk panggilan Namjoon. Bodoh, kenapa di saat-saat seperti ini ia malah hilang kendali?

"Kenapa kau tidak merasa bersalah karena telah melupakanku, Sooya? Kenapa?" Namjoon kelewat frustrasi memendam semua lebih lama lagi. Jangan mimpi, dia bukan hantu yang memiliki tingkat kesabaran tinggi.

Jisoo geming. Hening karena kepala tiba-tiba ditumbuk pening. Semua berputar tak tentu arah, berkeliling. Lama memberi jeda, ia lantas membalas takut-takut, "Aku memang tidak bersalah. Aku hanya lupa karena saat itu aku sedang terburu-buru."

Namjoon mengusak wajah dengan kasar. "Astaga, kenapa kau semakin membuatku hilang kendali, Sooya? Kau ini terlalu polos atau bagaimana?"

Jisoo lagaknya tak ingin mendebat. Ia mengangkat gelas berisi cokelat panas, menyentuh hangat gelas dengan permukaan bibir. Menyesap dengan khidmat, mengabaikan kepulan yang ditimbulkan cokelat karena itu kelewat nikmat. Sejenak memang lupa kalau Namjoon masih menatap lekat, tapi setelah meletakkan gelas tersebut kembali ke tempat, ia lagi-lagi ditimpa beban besar sebagai pemberat. Boleh ia mengumpat? Oke, untuk kali ini saja izinkan ia mengumpat.

Namjoon keparat.

Tidakkah kalian tahu bagaimana Namjoon sekarang? Hey, tolong, jangan dibayangkan. Jisoo sedikit tak rela sebab mendeskripsikan keseksian Namjoon yang ditimpa sinar lampu dengan begitu cerah, dengan begitu berlebihan. Diperparah dengan bibir pria itu yang dikulum, digigit kecil karena menantinya berbicara. Ada yang lebih menyebalkan dari ini? Ia bisa melihat Namjoon yang begitu panas, tapi tidak bisa menyentuh bahkan mencicipi meski sedikit. Sial, ini siapa? Sejak kapan Seo Jisoo jadi kotor? Coba katakan, sejak kapan?

Ia mengerjap ketika Namjoon tiba-tiba mengikis jarak. Pria itu tak memberinya sedikit ruang untuk bernapas normal. Ini gila. Namjoon yang gila.

Namjoon berbisik tepat di atas bibirnya dengan suara rendah, "Apa aku harus memperjelas semua? Kau membuatku gemas, Nona Seo. Aku cemburu melihatmu tersenyum pada pria bernama Jae Jae itu. Aku tidak suka kau mengandalkan pria lain, selain aku. Aku juga tidak suka saat tidak bisa menjadi berguna. Aku benci diriku yang mati saat mengetahui kenyataan bahwa hatiku lebih hidup saat aku mati. Aku benci dengan takdir yang mempertemukan kita, tapi membiarkan aku terus mencinta tanpa bisa merasa."

Jisoo nyaris tersedak saliva saat Namjoon kembali mendekat. Ia belum siap dengan serangan Namjoon yang tidak terencana seperti ini. Apalagi ketika pria itu menempelkan benda merona yang selalu menjadi titik fokusnya, sudah, ia hilang akal seketika. Kendati tak dapat merasa, ia masih bisa menikmati semua meski hanya angan-angan saja. Ia bisa merasakan dingin di permukaan bibir, tanda paling absolut mengenai kenyataan bahwa Namjoon benar-benar gila karena menciumnya setelah mengatakan cinta. Ia berciuman dengan hantu. Catat baik-baik.

Ia berciuman dengan hantu.

Berciuman dengan hantu.

Dengan hantu.

Tapi apa mau dikata, ia tetap menikmati saja meski hanya sebuah drama. Ia tak bisa menolak, apalagi memberontak. Tidak. Ia tidak mau menjadi antagonis hanya karena tidak ingin Namjoon kuasai begitu cepat. Karena jujur, ini merupakan kesalahan yang terlalu nikmat. Iya, Namjoon dan bibirnya yang keparat; kesatuan yang apik dan intim untuk membunuh akal sehat. Ia harus pasok oksigen banyak-banyak ketika pria itu semakin rakus. Entah naluri atau bagaimana, ia memberi akses dengan cara membuka bibir hingga membentuk celah. Ia dengan jelas bisa merasakan dingin di rongga mulut. Namjoon membelit, menggelitik lidahnya dengan cara paling sederhana tapi begitu mematikan. Astaga, ini terlampau nikmat sampai-sampai ia mendesahkan nama Namjoon dengan khidmat.

"Kau sangat cantik, Sooya." Begitulah kalimat penutup Namjoon setelah menjajah rongga mulutnya.

Ia susah payah mengontrol napas. Baru berciuman dengan Namjoon yang berwujud hantu saja sudah begini kewalahan, lalu seperti apa nasibnya ketika berciuman dengan Namjoon yang berwujud manusia? Barangkali Tuhan mau membangkitkan Namjoon kendati itu hanya sebuah impian dan andai-andai saja.

Namjoon meraih jemarinya. Mengisi celah-celah dari setiap jari menggunakan jemari pria itu sebagai penghapus spasi. Untuk kali ini, ia merasa terisi meski masih dalam artian tak terdefinisi. Tahu? Digenggam, tapi tak terasa digenggam. Ia hanya memainkan imajinasi untuk merasa, tapi tak apa, itu sudah cukup baginya.

"Sooya," panggil Namjoon selembut sutra.

Jisoo tak kuasa, ia segera menyahut lebih lembut dari cara Namjoon memanggilnya, "Ya? Ada apa?"

"Waktuku tidak banyak lagi di bumi ini. Hanya tinggal menghitung hari, lalu kita akan menjadi kenangan di tumpukan memori. Urusanku di dunia ini telah selesai, aku sudah berhasil melupakannya, dan aku menemukanmu. Jika aku boleh meminta kepada Tuhan, dan Tuhan hanya memberiku satu permintaan yang akan Dia kabulkan, kautahu apa yang akan kuminta?"

Ia menyahut lirih, "Memangnya apa?"

Namjoon ciptakan palung di sekitar pipi sebelum membalas, "Hidup lagi. Aku ingin memulai semuanya kembali. Bersamamu di sini. Hanya aku dan kau, tidak ada lagi. Aku mencintaimu lebih dari sekadar cinta, konteksnya seakan melebihi batas. Aku tidak bisa menjabarkan bagaiman rasa ketertarikan ini berubah menjadi cinta. Idiot kedengarannya, tapi sungguh, aku akan menukar apa pun asal Tuhan mau membuatku hidup kembali. Aku ingin mencintaimu dengan cara yang benar, bukan seperti ini."

Jisoo mau angkat tangan saja rasanya saat Namjoon berkata demikian. Apa ia perlu mengulangi perkataan hantu menawan itu sekali lagi? Namjoon bilang, dia mencintainya lebih dari sekadar cinta. Sial, kenapa begitu manis? Padahal kerap kali ia bergidik jijik saat Sunny berkata demikian kepada sang kekasih saat mereka bermesraan di studio. Tidak, ini berbeda karena Namjoon begitu istimewa.

Ia tak ingin banyak berbicara, cukup menatap Namjoon penuh puja sembari berkata, "Aku mencintaimu juga, pun dengan cara yang sangat gila. Aku tak peduli dengan dunia kita yang berbeda, terserah saja. Aku hanya ingin kita bahagia, berdua. Jika nanti Tuhan menarikmu dari dunia, maka akan aku pastikan kalau sebelum itu kita telah saling merasa."

***
Tbc.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang