4.2

147 44 2
                                    

"Aku tidak bisa, Sooya Sayang."

Kalimat penolakan kesekian pada pagi hari yang cerah ini. Mungkin jika dia bisa mengabulkan permintaan Jisoo yang terakhir, dia tak perlu repot untuk menolak permohonan sang kekasih. Namun, sial, dia tidak bisa. Mau berusaha sekeras apa pun, hal yang Jisoo minta tak akan pernah terjadi. Kecuali, Tuhan bersedia memberinya kesempatan untuk hidup sekali lagi. Tentu, mustahil.

Jisoo mencebik dengan tubuh yang sepenuhnya telah meluruh. Ia menengadah, menatap Namjoon dengan bola mata melebar penuh harap. Ia menangkupkan kedua tangan di depan dada, memohon sekali lagi, barangkali hantu menawan itu berubah pikiran. Siapa yang tahu, 'kan?

"Hanya itu saja, Joonie. Tidak akan ada kejadian yang lebih gila dari itu, kumohon."

Nampaknya Namjoon masih teguh pendirian. Hal itu dibuktikan dengan geming yang Namjoon pertahankan. Enggan membalas Jisoo dengan sebuah penolakan.

Jisoo menyerah. Ia pun melakukan penawaran, "Kalau kau tidak mau mengabulkan keinginanku untuk mandi bersama, aku ingin ganti rugi yang setimpal!"

Sebelah alis Namjoon menukik karismatik. Dia bertanya, "Kauingin apa?" Melipat tangan di depan dada sambil menatap Jisoo di bawah sana. "Asal jangan permintaan gila, kali ini aku yang memohon," peringatan Namjoon yang tendensi ke arah permohonan.

Jisoo mengangguk setuju. "Tentu. Aku ingin permintaan yang kautolak tadi diganti dengan tiga permintaan baru!" pintanya tak mau dibantah, apalagi diprotes tanpa dicerna.

Namjoon tak perlu berpikir lama-lama untuk segera menyetujui permintaan Jisoo. Dia segera mengulurkan tangan untuk berjabat sebagai bukti bahwa mereka telah sepakat.

"Setuju," ucap Namjoon disusul dengan suara Jisoo, mengatakan sebuah kata yang sama persis.

Jisoo memekik girang. Mengalungkan kedua lengan dengan gerakan ringan hingga melingkari leher Namjoon tanpa beban. Kecup bibir pria paling dicinta sepanjang masa dalam beberapa waktu lamanya. Ia melepas tautan bibir, mengusap abstrak rahang tegas Namjoon untuk beberapa kali. Ia berkata, "Aku ingin menghabiskan waktu untuk tiga hari ke depan bersamamu. Hanya dirimu. Aku akan meminta Sunny menggantikanku untuk sementara waktu."

Namjoon mengernyit sembari meletakkan kedua tangan pada sepasang sisi pinggang ramping Jisoo. "Kenapa begitu?"

"Aku tidak ingin menyesal untuk seumur hidupku karena melewatkan peringatan hari kematianmu yang keseribu. Aku mencintaimu, maka aku tak akan pernah lewatkan waktu yang Tuhan berikan untuk kita bersatu," ungkapnya diakhiri kecup ringan di sekitar rahang Namjoon.

"Lalu, apa permintaan pertamamu?"

Jisoo nampak berpikir. Menimang mana yang sekiranya akan pantas ia kenang ketika Namjoon tak lagi hadir sebagai penenang. Memikirkan sesuatu yang akan terjadi pada tiga hari ke depan saja membuat paru-parunya berfungsi abnormal, menyesakkan, begitu pilu ketika membayangkan segala hal yang berotasi pada Namjoon sebagai sentral kehidupan.  Namun saat sebuah ide secara tidak sengaja mampir mengunjungi otaknya, ia tak perlu lagi bertele-tele untuk berkata, "Aku ingin menonton sebuah film bersamamu, Joonie."

Namjoon menyahuti, "Film apa, Sayang?"

Jisoo tak menjawab. Ia malah menyuruh Namjoon untuk masuk ke kamar, sedangkan ia bergegas menuju dapur untuk menyiapkan makanan ringan.

***

"Ini film apa?"

Jisoo membenarkan letak selimut yang membungkus tubuhnya dan tubuh Namjoon. Mereka tengah menonton film melalui laptop milik Jisoo dengan posisi tengkurap. Jisoo tak perlu menggubris pertanyaan Namjoon, biarkan saja kuriositas pria itu membeludak sampai ubun-ubun. Memang sengaja.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang