Jisoo menarik selimut tebalnya kian ke atas ketika dirasa belaian angin semakin menghunus epidermis tanpa perhitungkan rasa. Ia mendengus sengit. Mengelus lembut permukaan lengan yang saat ini telah tertutup kain tebal secara berangsur karena masih merasa kurang puas dengan pelukan selimut. Demi Tuhan, ia sudah menaikkan suhu ruangan dan menutup rapat akses angin dari jendela besar kamarnya sejak berjam-jam yang lalu. Kendati telah payah mencoba, tetap saja ia tak merasa mendapatkan hasil yang diminta.
Ia menggeram. Menggeliat kasar yang berujung dengan memaksa kedua kelopak mata agar segera terjaga dari tidur nyenyaknya.
"Apa penyebab kekosongan rumah ini karena suhu udara di malam hari yang sangat tidak bersahabat, ya?" ucap Jisoo seraya mengusap kasar pelupuk matanya.
Ia bangkit dari ranjang. Tidak lagi menghiraukan pakaian tidurnya yang berantakan seusai beranjak. Ia terus melangkah hingga kini berdiri di depan lemari besar yang sudah ia beri label sebagai miliknya. Ia membuka lemari tersebut dan segera melongokkan kepala ke dalam guna mencari selimut yang memiliki bahan lebih tebal dari yang sebelumnya ia gunakan tadi.
Lama mencari tak membuat Jisoo menyerah. Ia semakin gencar menyelipkan tangan guna meraba-raba permukaan kain.
"Sial." Lagi-lagi gagal mendapatkan selimut yang ia cari, ia pun menyerah. Ia berbalik badan, menghentakkan kaki hingga timbulkan suara pengusik pendengaran. Merebahkan tubuh ke atas ranjang dan memutuskan untuk pasrah dengan rayuan angin yang semakin gencar memeluknya dengan mesra.
Menekuk dua lutut hingga membuat posisi tidurnya nyaris menyerupai seperti seekor kucing yang terlelap di pinggir jalan. Meringkuk, memeluk tubuh sendiri dengan selimut tipis menemani. Jika boleh sedikit hiperbolis, maka ia akan mengatakan bahwa kamar yang saat ini ditempatinya nyaris membuat ia mati karena hipotermia. Terlalu dingin.
"Aku bisa mati kedinginan jika setiap hari harus tidur dengan keadaan seperti ini," gerutunya dengan gigi bergemelatuk.
Tak lama dari itu, ia mulai merasakan suhu ruangan semakin menghangat seiring berjalannya waktu. Entah karena angin yang berembus tak sekencang tadi, atau karena faktor lain. Yang jelas, ia tak peduli. Ia pun semakin meringkuk, merasakan kehangatan yang perlahan-lahan membuatnya terbuai sampai secara tak sadar ia terlelap begitu saja dengan segela gerutuan yang hanya tersampaikan melalui dengkuran halus.
•••
Jisoo menggerakkan otot-otot tubuh yang terasa kaku. Ia menguap, menggeliat kasar sebagai penutup acara bermalas-malasan di hari yang cerah ini. Tidak ada waktu untuk bergumul lagi di bawah selimut dan menikmati hangatnya cahaya mentari, ia harus segera bersiap untuk memulai hari. Lebih-lebih lagi, ia tak ingin mencoreng reputasi yang telah ia jaga hingga kini.
Setelah menghabiskan waktu yang terbilang cukup singkat untuk membersihkan diri, ia pun segera menata penampilan. Tak perlu memoleskan riasan yang tebal dan berlebihan karena ia kurang suka menjadi pusat perhatian.
Keningnya lantas berkerut kontras ketika tak sengaja mengamati selimut yang masih teronggok di atas ranjang. Ia berjalan mendekat, mengulurkan tangan lalu meraih selimut itu hingga sejajar dengan pandangan.
Ia bermonolog, "Aku sangat yakin jika selimut yang kugunakan semalam bukan berwarna cokelat." Ia menghidu kuat aroma yang ditimbulkan oleh serat-serat halus di tangannya. Sekali lagi ia bermonolog, "Tapi, ini selimutku. Ini selimut yang semalam aku cari. Kenapa tiba-tiba sudah ada di sini?"
Suara dering ponsel yang tak terlalu nyaring, tetapi masih bisa didengar rungu itu mengalun tak asing. Jisoo menghempaskan selimut yang bertengger di tangan dan segera melangkahkan kaki menuju meja rias untuk menjangkau ponselnya yang tergeletak di sana. Ia membaca deretan huruf yang membentuk sebuah nama pada layar ponsel yang menyala.
"Selamat pagi, Sunny!" sapanya dengan riang.
Perlu kalian ketahui, Sunny merupakan salah satu rekan kerja Jisoo. Mereka telah lama saling mengenal. Bila dikalkulasikan serta diingat ulang, keduanya akrab sejak tiga tahun belakangan. Singkat atau tidak jalinan pertemanan mereka tergantung siapa yang menjadi pendengar, relatif.
"Selamat pagi juga, Sooya!" Dijeda suara tawa kecil di seberang. Bersamaan pula dengan kepergian Jisoo dari kamarnya, suara Sunny kembali mengalun, "Hari ini aku izin untuk rehat dulu. Kautahu? Aku nyaris mati kelelahan sebab ibu terus-menerus tanpa jemu menyuruhku ini dan itu. Huh, ingin sekali aku berteriak dan berkata kalau anak perempuan satu-satunya yang dia miliki ini sangat lelah, tapi apalah daya, aku tidak mau dicap sebagai anak durhaka."
Jisoo menyimak setiap untaian kalimat penuh kekesalan dari Sunny dengan sukarela. Ia selalu merasa senang ketika seseorang mau memberinya kepercayaan dengan manifestasi bercerita panjang lebar tanpa jeda spasi. Ia merasa dibutuhkan. Sekali lagi ia memastikan isi tas yang dibawa, dirasa telah lengkap nihil dengan barang tertinggal, ia pun segera mengunci pintu rumah dan melangkah menuju jalanan utama untuk mendapatkan sebuah taksi atau tumpangan umum lain.
"Kalau begitu, istirahatlah yang cukup, Sunny. Jangan khawatir dengan siaran radio hari ini, aku yang akan mengatakannya pada bos."
Jisoo mengayunkan satu tangan ke depan, pertanda bahwa netranya berhasil mengunci pergerakan salah satu taksi yang hendak melaju. Setelah roda taksi dipastikan stagnan, ia pun langsung menuju ke kursi penumpang dan duduk di sana sembari melanjutkan sesi menyimak keluhan Sunny.
Terdengar suara helaan napas di seberang. "Padahal ini terhitung baru dua puluh jam kita tak bertemu, tapi kenapa aku sudah sangat rindu, ya?"
Jisoo terkikik. Ia pun membalas jahil, "Aku masih normal, jika kau ingin tahu saja."
"Aku juga!" Sunny berseru hingga membuat Jisoo harus menjauhkan ponselnya dari jangkau telinga. Nyaris. Nyaris saja gendang telinganya pecah. Tak lama dari itu, suara Sunny terdengar lagi, "Bagaimana dengan rumah barumu, huh? Kau bahkan tak memberiku alamat untuk ke sana. Tega sekali dirimu, Nona Seo."
Jisoo tertawa untuk yang kesekian kali karena ulah Sunny. "Akan kukirim alamatnya setelah aku sampai di stasiun radio."
"Aku tunggu. Mungkin juga akhir pekan ini aku akan berkunjung ke sana. Sepulang dari stasiun radio, tentu saja."
"Terserah saja. Pintu rumahku selalu terbuka untukmu, Sunny. Oh, ya, kukabari lagi nanti. Sampai jumpa di akhir pekan!"
Sunny terkekeh disusul dengan suara sambungan telepon yang terputus. Kebiasaan dari mereka berdua; siapa pun yang memulai obrolan lewat telepon, Jisoo tak akan pernah mau memutus sambungannya. Ketika ditanyai mengapa tak ingin menutup sambungan telepon seseorang lebih dulu, Jisoo selalu saja menjawab dengan alasan yang sama, "Aku tidak ingin membuat hati lawan bicaraku merasa tersakiti dengan memutus sambungan telepon begitu saja. Meminimalisir spekulasi negatif yang barangkali akan timbul setelah percakapan melalu telepon."
Sungguh, tidak ada wanita naif serta berhati lembut seperti Jisoo. Bahkan Sunny yang sejatinya merupakan wanita normal saja masih sering dibuat berdecak kagum dengan kelembutan dan kesempurnaan Jisoo.
***
Tbc.

KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Am Teoranta
Hayran KurguSeo Jisoo dan Kim Namjoon punya sebuah hubungan yang mustahil untuk diakui oleh semesta dan seluruh isinya. Ketika cinta yang tulus saja tak cukup untuk menjalani sebuah ikatan romansa, Jisoo tetap kukuh mempertahankan Namjoon kendati tak bisa salin...