3.1

188 47 0
                                        

Apa ada yang lebih membosankan dari menunggu? Atau mungkin, adakah yang lebih menyesakkan dari mencintai tapi tak bisa memiliki? Jawabannya masih abu-abu kepalang gelap. Masih tidak jelas. Kendati telah mengetahui dan menyimpan jawaban itu dengan rapat dan baik, hati tetap tidak bisa dibohongi. Tanpa henti memuja tiap gerak, tiap embusan napas yang dikeluarkan, tiap kedip yang dia lakukan. Ia telah menjatuhkan hati pada tempat yang salah. Namun, sungguh, ini merupakan kesalahan yang akan paling ia benarkan. Karena menurutnya, mencintai Namjoon merupakan kebenaran absolut.

Ini adalah malam yang kesekian kali ia lalui bersama Namjoon di sisi. Jangan berpikir macam-macam, apalagi sampai menuduhnya merendah diri meminta pada Namjoon untuk sekadar menjadi teman tidur ketika malam. Itu tebakan yang salah merangkap tuduhan, begitu merendahkan. Tidak, bukan begitu. Pada hari-hari yang telah ia lupa kapan lebih tepatnya, Namjoon datang, menembus pintu kayu dengan menyemat senyuman. Di malam hari yang sunyi, dia menyerahkan diri, meminta izin untuk turut bergabung di bawah selimut yang pernah menjadi saksi. Ia tentu tak kuasa untuk menolak, tak sampai hati. Lagipula, apa yang bisa dilakukan oleh hantu? Mencium bibir manusia yang sedang tidur di malam hari? Meskipun Namjoon bisa melakukan itu, ia yakin seribu persen bahwa hantu menawan yang tengah memejamkan mata di sampingnya saat ini tak akan pernah sudi melakukan itu.

Ia menghela napas berat. Entah apa yang menjadi beban pikiran hingga membuat kedua matanya tak mampu menjangkau damai. Ia meraba-raba kantuk, tetapi tak kunjung menemukan sebiji benih pun. Ia terlampau lelah, tapi tubuhnya seakan menolak untuk beristirahat.

Namjoon menangkap gusar. Meneliti secara cermat air muka berbeda yang dipertontonkan secara tidak sengaja oleh Jisoo. Gadis itu nampak gelisah, tapi sepertinya ia tak mengerti apa penyebab dari kegelisahan itu bermuara. "Kenapa belum tidur? Apa kau sedang memiliki masalah?"

Jisoo membalik tubuh, menciptakan kontak mata intim dengan Namjoon yang juga menghadap ke arah yang sama. Ia menahan napas. Berdekatan dengan Namjoon memiliki banyak risiko, terutama yang berhubungan dengan jantung. Dan itu bahaya. Ia mengalihkan dengan menjawab, "Tidak, aku tidak memiliki masalah. Hanya sedang tidak bisa tidur, tapi aku telah sepenuhnya lelah. Tubuhku saja yang keras kepala tidak mau beristirahat."

Namjoon menyungging senyum.

Selalu begitu. Namjoon itu tenang. Menghadapi segala masalah dengan satu langkah pertama; senyum. Kemudian dengan cerdas dia akan membenahi segala yang salah dengan bijak, pelan, tapi pasti. Dia membawa angin baru, nuansa yang berbeda, tak sama dengan yang sudah pernah hadir berniat menetap tapi ternyata hanya singgah. Dan untuk yang kesekian kali, ia merasa beruntung telah dipertemukan dengan Namjoon. Namun di sisi yang berbeda, ia merasa sial karena bertemu Namjoon di waktu yang salah. Andai saja ia lebih dulu bertemu Namjoon di kala jingga menelan cakrawala, di saat Namjoon setia menunggu ibunya, mungkin sekarang ia dan Namjoon akan hidup bahagia. Bisa saling merasa, meraba, dan berbicara dengan nyata. Bukan seperti ini. Ia memang bersama Namjoon, tetapi terkadang juga tidak dalam definisi yang tepat.

"Lebih baik kaucepat tidur, Sooya," saran Namjoon yang lebih mendekati perintah. Dia menyentuh pipi Jisoo, seperti biasa. "Tidur yang nyenyak. Jika tidak bisa, paksakan saja. Hitung seberapa banyak hal yang telah kaulewati dengan cara yang paling membuatmu bahagia. Bayangkan apa saja yang bisa membuatmu lega. Itu akan menjadi godaan pengantar tidur yang menyenangkan, kurasa."

Sudah ia bilang, Namjoon selalu punya penyelesaian atas segala keluhannya. Ia tak banyak mendebat, alih-alih sekadar memungkas sebagai sahutan, ia malah memejamkan mata dengan erat seakan sepasang kelopaknya telah dilapisi lem perekat. Namun, rungu masih kentara menikmati vokal yang keluar dari bibir Namjoon ketika pria itu dengan intonasi rendah dan cenderung parau berbisik lirih mengucapkan selamat malam. Kira-kira seperti ini kalimatnya, "Selamat malam, Sooya."

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang