Hawa dingin menyapa untuk mengikis permukaan kulit. Memberikan efek mengigil untuk seorang wanita yang terus berjalan tanpa arah dengan kaki polos tak beralas. Wanita itu tidak mengetahui dimana ia sekarang. Tepat ini terlalu gelap dan asing untuknya. Ia telah berputar sebanyak dua kali dan kembali ke tempat pertama kali ia menapak. Sebuah cahaya mencuri fokusnya seakan menuntun agar wanita itu menghampiri dan mencaritahu apa yang ada disana.
Cahaya itu terlihat semakin besar saat wanita itu sedikit demi sedikit mengikis jarak. Sebuah siluet yang mengambang tersorot tepat di bawahnya. Wanita itu berhenti sejenak hanya untuk menyempitkan matanya. Rasa penasarannya mengalahkan rasa takutnya sekarang. Kakinya seakan terhipnotis untuk terus melangkah hanya agar dapat melihat wujud siluet itu.
"Siapa disana?"
Wanita itu segera bersembunyi di balik bebatuan saat sosok itu menoleh ke arahnya. Ia sudah melihat wujudnya. Seorang pria dengan sepasang sayap berwarna hitam pekat. Wanita itu mendadak panik apalagi saat dirasa sebuah kibasan agin menerpa bebatuan tempatnya bersembunyi. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah batu besar sekarang. Wanita itu terlalu takut untuk menoleh. Kepalanya sudah dipenuhi dengan kemungkinan terburuk yang dapat diterima saat ia berbalik.
Ekor matanya menangkap sepasang kaki tepat di sebelahnya. Wanita itu masih menunduk dan menutup matanya. Ia menyentuh kedua tangannya yang sudah bergetar hebat.
Sosok itu kini menyentuh rahangnya dan membuatnya mendongak.
Matanya membulat sempurna saat sosok itu tiba-tiba saja merapatkan tubuhnya, memeluk. "Aku sudah menunggumu." Suara bass yang terdengar begitu parau. "Kenapa lama sekali? Apakah aku harus menunggu hingga seratus tahun agar aku bisa melihatmu? Aku merindukanmu Hyeyong, sangat merindukanmu." Pelukannya kian mengerat. Seperti tidak ingin melepaskan sebuah berlian yang baru ditemukan.
Entah wanita itu harus bersyukur karena sosok itu tidak membunuhnya ataukah ini hanya sebuah penundaan atas kematiannya. Situasi ini menjadi agak membingungkan untuknya. Untuk beberapa saat ia membiarkan sosok itu memeluknya sebelum akhirnya berucap. "A-aku bukan orang yang kau rindukan. Namaku Yoon Yejin. Kau salah orang." Dengan mengaku sebagai dirinya sendiri, wanita itu mungkin akan terlihat seperti tidak menyayangi nyawanya. Namun akan lebih baik daripada harus berbohong. Yejin tidak ingin berpura-pura menjadi orang lain hanya untuk menyelamatkan dirinya. Lagipula sosok yang tidak diketahui namanya ini terlihat begitu putus asa. Ia tidak tega memberi harap untuknya.
"Bohong!" vokalnya meninggi. Ia melepaskan pelukannya dan menatap Yejin." Apa kau suka melihatku seputus asa ini? Bagaimana bisa kau masih bisa mempermainkanku dengan candaanmu."
Yejin melihat wajahnya untuk pertama kali. Wajah dengan pahatan yang hampir sempurna itu sedang menatapnya dengan mata sayu. Mata penuh binar yang terus memberikan atensi padanya dengan sangat dalam. Bayangan tentang sosok ini seakan berubah di pikiran Yejin.
"Aku tidak mungkin melontarkan lelucon disaat tahu jika kau bisa membunuhku jika aku melakukannya." Yejin menjawab setelah menatap sosok itu untuk beberapa saat.
"Kau sungguh bukan Hyeyong?"
Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan.
Sosok itu tampak tidak ingin percaya. Ia berusaha mencari sebuah kebohongan dari mata Yejin. Tapi nihil.
Dia meleset pergi begitu saja dengan perasaan berkecamuk.
Yejin menyentuh pipinya saat menyadari sesuatu yang berair telah membasahi pipi tepat saat bayangan sosok itu telah menghilang. Ia bertanya-tanya dalam batin perihal dirinya yang tiba-tiba menangis. Hatinya sakit. Kepedihan yang dirasakan sosok itu seakan ikut menumpang dalam hatinya. Yejin tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Ia bukan tipe orang yang gampang menangis apalagi dengan hal tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya.
Yejin dapat melihat raut yang begitu cerah meski sesaat, hanya karena sosok itu salah mengira dirinya sebagai orang yang sangat ditunggu. Sepintas ia mengingat ucapan sosok itu tentang menunggu seratus tahun. Membuktikan jika seorang bernama Hyeyong merupakan sosok yang begitu dicintai. Orang yang begitu spesial untuk diberikan waktu hidup yang lama.
Setelah sibuk memikirkan kisah percintaan orang lain, Yejin baru tersadar akan dirinya yang masih tidak tahu menahu tentang tempat ini. Lantas, apa yang bisa Yejin lakukan sekarang? Satu-satunya orang yang bisa ditanyai telah pergi dan tempat ini kembali sunyi. Suasananya telah berubah seram terlebih saat sayup-sayup Yejin mendengar suara di balik semak-semak tidak jauh dari tempatnya berdiri. Terdengar seperti sesuatu yang digesekkan dengan permukaan batu dan tanah yang tidak rata.
Suara itu semakin bergerak ke arahnya sementara Yejin masih memperhatikan sebuah lorong yang gelap. Yejin merasa sesuatu akan muncul di balik kegelapan itu. Dugaannya ternyata benar. Sebuah makhluk dengan tubuh yang yang kelewat pucat dan kulit yang menonjol di beberapa tempat sedang menyeret sesuatu. Matanya berwarna hitam pekat seperti sebuah darah dan terdapat darah yang mengalir dari dua bola matanya.
Yejin tidak dapat menopang tubuhnya saat ini. Kedua kakinya langsung lemas tepat melihat sesuatu yang diseret itu. Bukan benda ataupun hewan. Bukan juga sosok pria bersayap yang sempat di temuinya. Yejin menutup mulutnya dengan mata yang membulat. Itu dirinya.
Makhluk itu sedang menyeretnya.
---
TBC
Welcome to Epithymia.
Aku berharap cerita ini dapat disukai dan dicintai oleh kalian yang sedang membacanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Epithymia ✓
Fanfiction[SEDANG DIREVISI] Seumur hidup Yejin tidak pernah percaya adanya makhluk lain yang hidup di dunia selain manusia dan hewan yang menjadi penghuni. Menurutnya, sosok mitologi seperti sphnix, harpies, lilith dan lainnya hanya ada di dalam buku yang per...