‘Mundur. Kali ini kita mundur dulu. Yoongi... dia—‘
“Sial,” Lala mengumpat tipis, setengah menunduk, mengamati sepasang sepatu sedikit kebesaran yang tengah membalut kakinya.
‘Ini, pakailah. Setidaknya lebih nyaman daripada telanjang kaki. Dan...pulanglah, sembunyi dengan baik.’
Ia menghela napas, tak terasa langkahnya telah berhenti pada satu titik. Kali ini Ia berharap orang yang memberinya sepatu bukanlah Namjoon. Orang yang menyuruhnya bersembunyi bukanlah pria bermarga Kim itu. Kali ini Ia ingin menemui lagi sosok Namjoon yang menodongkan pistol kearahnya dengan angkuh tanpa keraguan. Ia merasa begitu kehilangan arah akan emosi—harus bersembunyi disaat musuh mendekat tanpa merasa terintimidasi? Itu terasa sama seperti menyerahkan diri begitu saja.
Lala mengepalkan kedua tangannya erat. Ingin sekali Ia menembak kepala pria bermarga Lee itu. Tetapi, pikirannya seakan kembali berkubang dalam pusaran ingatan tentang Kris lalu sekarang Yoongi—
Sial, tak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Dan satu tindakan gegabah bisa saja memperburuk keadaan.
Lala sejenak menghela napas, berusaha menenangkan pikiran sebelum kembali beranjak berjalan. Tetapi, kakinya serasa membeku bahkan sebelum Ia sempat mengambil langkah, kala sepasang kaki berbalut sepatu lainya mendadak tepat berhadapan dengan kakinya diikuti siluet bayangan seseorang yang seketika menyembunyikannya dari cahaya matahari yang baru melejit dari celah-celah dedaunan pohon jalanan yang lengang itu.
Sedetik kemudian Ia mendongak dengan mata melebar.“Kali ini jangan mencoba berlari dariku lagi,”
♧♧♧
Masalah sedang merajut benang yang lebih rumit kali ini. Lala dapat merasakannya meski pemuda disebrangnya tak berkata sepatah katapun sejak pertemuan tak terduganya dijalanan tadi.“Kau...kau sudah makan?” Lala berujar tenang.
Bukan pertanyaan yang bagus. Tapi, dari sekian pertanyaan pemecah tembok es yang disodorkan pikiran, itulah yang terlontar begitu saja.
Lelaki bermata bulat tersebut hanya mengedip singkat dan masih mempertahankan pandangannya kearah lain, seakan tak ada seorang pun yang mengajaknya berbicara dari sebrang sofa.
Ah, Ia marah besar.
“Jeon,”
Masih tak ada jawaban.
Ya sudah, apa boleh buat?
“Kurasa...” Sang gadis menatap lurus sosok lelaki didepannya. “Kurasa kau perlu waktu untuk sendiri, aku akan—”
“Aku sedang memberimu waktu.” Pada akhirnya Jungkook meloloskan sederet kata bernada datar, memecah tembok es transparan diantara keduanya. Meski kemudian digantikan oleh serat benang keragu-raguan yang seakan ikut mewarnai rajutan rumit masalah.
“Waktu untukmu berpikir.” Jungkook melanjutkan tipis, “Waktu untukmu membuka diri padaku. Waktu—” Pemuda itu menghembuskan napas, “Waktu untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak bisa—”
“Kukira kau akan menunggu,”
“Apa?”
Lala meremas jalinan jemarinya diikuti senyum kecut yang kini Ia pamerkaan begitu saja. “Kukira, kau berkata kau akan menunggu saat aku siap menjelaskan segalanya.”
“Ayolah,” Pemuda itu mengacak rambutnya, seakan begitu putus asa untuk menyambung percakapan. “Itu—bagaimana caraku menunggu jika aku melihat keadaanmu yang seperti ini? Kenapa kau tak bisa menjelaskannya padaku?”
Sang gadis memilih tak menjawab.
Aku tak bisa menjelaskannya sekarang, Jeon Jungkook.
“Lihat dirimu. Kau tertuntuk lesu dijalanan, dress mini diudara sedingin ini, luka lebam—irisan di sekujur tubuh. Kau...kau membuatku khawatir setengah mati!”
Kedua netra Lala tanpa sadar melebar.
“Jeon—”Lala tak dapat berujar lebih, kala Jungkook dengan cepat menghapus jarak dan menariknya dalam rengkuhan pemuda itu. Pemuda itu kini berujar sesal, “Aku...aku sangat ketakutan. Maaf, aku memaksamu menjelaskan,”
Netra sang gadis meredup haru, “Hei, hei,” Lala membelai punggung atletis Jungkook. “I’m sorry too,”
Si Jeon tersenyum tipis, Ia memejam dan menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Lala, “Jangan membuatku khawatir lagi, gadis nakal.”
Lala sekilas tersenyum tipis meski dalam dalam sela keraguan dan kekhawatiran yang masih tersemat. “As your wish, Mr. Bunny.” [♧]
KAMU SEDANG MEMBACA
Fugacious || ✔
Fanfiction[Special Short Story Project] Sosok itu menjilat bibirnya sambil mendesah panjang. "Ah, untuk apa juga aku menjelaskan begitu panjang kepadamu," Ia sejenak menengadah. Netranya berkabut tipis, kala jemarinya menggenggam pistol erat dan siap membidi...