“Aku akan menginap lagi malam ini, boleh’kan?”
“Hah?”
“Hah?” Si Jeon meniru reaksi gadis didepannya, ia melanjutkan jenaka, “Apa artinya reaksi ‘hah’ itu?”
“Ah, itu...” Lala mengalihkan pandangan sambil masih mengunyah sandwich dengan setengah hati. Seharusnya Ia mungkin menjitak kepala Jungkook dengan sendok untuk menyadarkan lelaki itu akan sederet kalimat godaan tadi yang Ia sembunyikan dengan sangat rapi dalam balutan kalimat tanya. Tetapi, pikirannya sedang berdebat dengan hal lain didalam sana.
“Kau melamun,” Jungkook memecah keheningan yang sempat menguar. “Apa ada masalah yang—”
“Kurasa aku akan sangat sibuk hari ini, Jeon. Mungkin aku akan pulang sangat larut. Jadi kau—”
“Sibuk?” ucap lelaki itu memastikan.
Lala mengangguk sekilas sebagai jawaban. Ia menyesap jus jeruk sebagai penutup sarapan pagi ini yang terasa begitu tak nyaman.Tentu, panggilan telepon beberapa menit yang lalu cukup memicu kegelisahan. Ia seharusnya sudah berhenti. Ia seharusnya sudah tak berhubungan dengan hal-hal seperti itu.
“Melamun lagi,” Si Jeon menarik dagunya dan mempertemukan netra mereka. “Kau tahu’kan aku disini bukan untuk menonton kau melamun dan menyembunyikan masalah. Tetapi, aku disini untuk mendengar dan meringankan beban jika itu ada, itu adalah salah satu poin penting dari sebuah hubungan.”
Sang gadis terdiam, beberapa saat tenggelam dalam sorot mata hangat dengan segaris kekhawatiran yang terpancar dari kedua netra Jungkook. Sungguh, Ia begitu ingin menjelaskan segalanya secara rinci kepada lelaki itu. Menjelaskan dunia macam apa yang pernah Ia jalani sebelumnya. Larangan yang harus dipatuhi sekaligus telah Ia langgar dan membawanya pada sebuah kerumitan saat ini. Jungkook adalah salah satu alasannya. Tetapi, terlalu berbahaya mengatakannya saat ini. Lagipula, lembaran kehidupan lamanya telah berada pada halaman terakhir, setidaknya Ia harap begitu. Mungkin ini akan menjadi kebohongan terakhir yang ia katakan.
“Tak ada masalah apapun, Jeon.”
Jungkook menghela napas, sedikit menunduk kecewa sebelum tangannya terjulur, membelai pipi gadisnya. “Aku akan pura-pura percaya, jika kau menginginkannya.”
Lelaki itu kini perlahan mengikis jarak dan mendaratkan ciuman. Lala memejam, menyambut sapaan manis dari bibir pemuda itu. Sentuhan pelan kian berubah menjadi lumatan menuntut, tergesa mendudukkan sang gadis diatas meja untuk memudahkan aksesnya bertindak lebih jauh dan intens. Hingga beberapa saat kemudian kedua insan itu harus meraup oksigen dengan serakah kala pagutan itu telah terlepas.
Jungkook melebarkan jarak mereka lebih lebar, kembali mengusap bibir gadisnya sebelum mengambil langkah menjauh dan berujar tipis sarat kekecewaan. “Aku masih berharap kau bisa berbagi masalahmu denganku. Aku selalu siap mendengar apapun yang kau rahasiakan selama ini, jika kau sudah siap mengatakannya. Aku akan menunggu.”
♧♧♧
“Sudah cukup lama,” ujar lelaki itu membuka percakapan.Pada akhirnya Lala menemukan dirinya terduduk disebuah restoran mewah dengan seorang lelaki berkulit pucat disebrangnya.
“Seharusnya bahkan akan sangat-sangat lama. Kita seharusnya tak bertemu lagi, Min Yoongi.”“Aku tak menyangka kau berubah secepat ini,” Yoongi menarik senyum tipis. “Si Jeon itu hebat juga ya,”
“Kau—”
“Jangan terlalu terkejut. Ternyata kau benar-benar melanggar aturan itu,”
Netra Lala menyorot tajam mata kelabu Yoongi. “Aku sudah terlepas dari aturan-aturan itu. Jangan mengorek kehidupan pribadiku.”
“Kau tahu itu tak sepenuhnya benar, masa lalu tak bisa menghilang begitu saja ketika kau memutuskan untuk melupakannya. Kau...masih terikat,” Pemuda bermarga Min itu sekilas menyesap wine, sebelum melanjutkan. “Dan jangan salah paham, aku tak tertarik sedikitpun dengan kehidupan pribadimu, ini semua adalah...perintah dari Namjoon.”
Mata sang gadis sempat melebar, meski kemudian Ia dapat kembali mengendalikan ekspresi. “A-apa yang Ia inginkan?”
Yoongi bersidekap, “Sebuah misi. Dan kau harus menjalankannya.” [♧]
KAMU SEDANG MEMBACA
Fugacious || ✔
Fanfiction[Special Short Story Project] Sosok itu menjilat bibirnya sambil mendesah panjang. "Ah, untuk apa juga aku menjelaskan begitu panjang kepadamu," Ia sejenak menengadah. Netranya berkabut tipis, kala jemarinya menggenggam pistol erat dan siap membidi...