“Jeon?”
“Ck, diam dulu. Aku tahu, kau merindukan pacar tampanmu ini, tapi aku sedang mengobati lukamu,”
“Cih, astaga.” Lala hampir tersedak tawa meski kemudian Ia menepis lembut tangan Si Jeon yang sedang menekan pelan lukanya dengan kapas berisi obat merah. “Aku ingin bicara, Jeon.”
Tangan Jungkook sempat benar-benar berhenti bergerak sebagai respon akan sederet kata yang baru saja didengarnya. Beberapa detik hening, lelaki itu berdeham ringan dan menurunkan tangannya, “Kau tak perlu seperti ini, jika belum benar-benar siap. Perkataanku tadi—lupakan saja, aku hanya sangat panik sampai memaksamu,”
“Tapi aku—”
“Hei,” Jungkook kini menyelipkan anak rambut sang gadis, “Istirahat saja ya?” Pemuda itu mengelus puncak kepala Lala, “Memang, aku akui bahwa sesungguhnya aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi...tapi, itu hanya akan menjadi sekadar keegoisan jika dilihat keadaan saat ini dan jika aku masih begitu memaksa penjelasan darimu.”
“Kau tahu, itu bukanlah keegoisan,”
Pemuda didepannya tersenyum tipis, “Bahkan kurasa, kini aku tak perlu tahu apapun atau mendapat penjelasan detail yang tidak perlu. Setiap orang memiliki rahasia, dan tidak semua rahasia dapat dibagi’kan? Akan ada selalu sesuatu yang kau simpan hanya untuk diri sendiri.”
“Jeon,” Sang gadis kini menyelipkan tangannya pada sela-sela jemari Jungkook.
“Hm?”
“Terimakasih,”
Pemuda didepannya sejenak tertegun meski kemudian memamerkan kedua gigi kelincinya dengan ekspresi jahil. “Kurasa...ucapan terimakasih saja tak cukup,”
“Dasar,” Lala menghentak tangan Jungkook, tak habis pikir dengan kejenakaan lelaki itu, “Ya sudah, lalu apa yang kau inginkan?”
“I wanna play some games with you,”
Kening Lala mengernyit tipis, “W-what kind of game?”
“It is funny, romantic....” Suara si Jeon kini menipis, “Sexy and wet bed game,”
“Yak!” Sang gadis segera menghadiahi kepala Jungkook dengan jitakan cepat, menyembunyikan semu merah pada pipinya yang terasa memanas.
“Aw! Aw! Stop it! I’m just kidding baby.”
Lala tak peduli akan teriakan mengaduh Si Jeon, malah kini Ia beralih menarik kuat pipi pemuda itu “Such a pervert bunny!”
♧♧♧
Pemuda bersurai hitam itu menyandarkan punggungnya pada sofa beludru, sejenak memejam dan menjilat bibirnya yang mengering sebelum pintu ruangan perlahan terbuka. “Menemukan sesuatu?” Ia berujar tipis.“Sedikit informasi tambahan.” Sang lawan bicara berdiri tegak dibelakang punggungnya, “Mereka tidak hanya bekerja berdua.”
Jemari pemuda bermarga Lee itu kini mengetuk-ngetuk meja kaca didepannya, menciptakan melodi suara yang kian memenuhi ruangan temaram tersebut. Menyebarkan atmosfir menyesakan dan kian mencekik. “Hanya itu?”
Sang lawan bicara susah payah meneguk ludah, “Itu...dua orang itu sekarang berada dirumah sakit.”
Gikwang kini membuka kelopak matanya, “Wah, benarkah?” Lelaki itu kini beranjak dari sofa beludru tersebut, memasukkan kedua tangannya pada saku celana sebelum meloloskan tawa singkat, “Menarik sekali,” Ia kini berbalik menghadap sang lawan bicara, “Kau tahu? Bagaimana memalukannya apa yang kau ucapkan barusan?”
Sang lawan bicara terbujur kaku. Mendengar suara menipis yang kian mengiris telinga akan kengerian.
“Dua orang pengganggu menerobos masuk, dengan bangganya menunjukkan wujud dan perbuatan mereka, dan sekarang kau bilang mereka masih bisa bernapas?”
“Tuan Lee—”
“Hanya berada dirumah sakit?” Gikwang menarik senyum miring sambil memutar cincin dengan detail rantai berhias safir biru pada jarinya, “Paling tidak seharusnya aku mendengar tentang pemakaman mereka. Bukan’kah begitu?” [♧]
KAMU SEDANG MEMBACA
Fugacious || ✔
Fanfiction[Special Short Story Project] Sosok itu menjilat bibirnya sambil mendesah panjang. "Ah, untuk apa juga aku menjelaskan begitu panjang kepadamu," Ia sejenak menengadah. Netranya berkabut tipis, kala jemarinya menggenggam pistol erat dan siap membidi...