Part 13. [Shadow]

191 19 14
                                    

Ia meremas ponsel sekali pakai itu sebelum memasukkannya asal kedalam saku bajunya. Lala merapatkan jaket, mencoba berekspresi datar meski dalam dirinya serasa ingin meloncat puas. Entah taktik macam apa yang tengah dimainkan, setidaknya itu bukanlah tindakan menyerah pengecut seperti bayangannya.

Namun, hanya beberapa detik selang sepasang kakinya menginjak trotoar, suara ledakan besar terdengar menggelegar. Waktu terasa bergerak lambat, saat Ia hendak menoleh kearah sumber kegaduhaan besar itu, Lala seakan terhempas, tubuhnya terguling pada aspal. Netranya menangkap beberapa orang juga tergeletak ditempat yang sama. Kerumunan massa pecah dalam kepanikan dan teriakan yang diterimanya bagai sayup-sayup samar, telinganya berdengung hebat.

Apa yang terjadi?

Netranya kecoklatannya masih sempat bergerak, kepalanya memutar lambat kearah samping dan seketika Ia menemukan asap hitam membumbung tinggi ke langit, kobaran api melahap sisa puing bangunan, bangunan yang...baru saja Ia datangi—bangunan tempat Namjoon dan Yoongi berada. Lala terbatuk-batuk, berguling singkat dengan dada yang dirayapi sesak.

Asap keabuan yang menguar mengaburkan pandangan dan seakan membalutnya dalam kerapuhan. Dia tidak kehilangan siapa pun lagi’kan?


♧♧♧


“Ledakan itu dapat dipastikan membunuh semua orang dalam bangunan itu. Termasuk dua dari sasaran kita.”

Sang lawan bicara tak bergeming, Ia tetap menyandarkan punggungnya pada sofa beludru. Membiarkan hanya asap rokok yang membungbung rendah dalam ruangan, pertanda Ia mendengarkan dalam diam juga kedua tangannya yang entah mengapa terkepal kuat pada masing-masing sisi sofa. Ia sedang berada dalam fase siap menembus kepala seseorang dengan bidikan peluru tajam tak suara.

“Dan...Tuan,”

“Apalagi yang ingin kau sampaikan?” Gikwang mengetuk puntung rokoknya hingga sisa hasil ujung terbakar benda tersebut terlepas dengan mudah. Sebelum kembali menghisap benda silinder itu dari dua belah bibir, diikuti kepalan tangannya yang melemah.

“Kau pasti sudah tahu kebenarannya, mungkin orang itu kini akan menunjukkan diri lagi.”

Kedua sudut bibir Gikwang tertarik tipis, memandang redup sekitar, Ia menekan kuat ujung rokok yang bahkan belum setengah terbakar kearah asbak, mematikan api merambatnya juga bentuk ramping panjangnya kini hanya menjadi sampah kecil dengan jutaan orang pembuangnya setiap hari. Sedetik kemudian Ia bangkit dan berbalik bengis, “Kurasa aku tahu dimana dia akan menunjukkan diri.”


♧♧♧


Lala terduduk lemas. Ubin putih yang Ia pijak seakan bergelombang didalam netra memerah yang diselimuti cairan bening. Telinganya masih berdengung dan otaknya berusaha keras mencerna segalanya dengan lebih waras—mempertahankan diri dalam tenang dan tak mengambil tindakan gegabah.

Namun, sekali lagi telinganya berdengung. Tetapi kali ini sayup-sayup yang memenuhi kepalanya itu menyuarakan kenyataan yang memaksa melesak masuk dan mengoyak segala pertahanannya.

Telah terjadi peristiwa pengeboman pada siang hari ini.

Pusat ledakan terdapat pada suatu bangunan kafe yang dipenuhi pengunjung.

Dipastikan tak ada korban yang selamat didalam bangunan tersebut.

Sial.

Persetan dengan itu semua.

Lala mengacak rambutnya, menyandarkan punggung kearah tembok dengan banjir emosi yang meledak-ledak.

Orang-orang yang berlalu-lalang dengan tangis dan ketakutan diujung tenggorokan mereka seakan memenuhi lorong rumah sakit tempatnya berada tanpa menyisakan secuilpun tempat kosong untuknya bertahan tegar dalam kendali. Ia kini telah lepas kendali. Seseorang tentu harus membayar ini.


♧♧♧


Rencana. Apa Ia memiliki rencana sekarang?

Jawabannya, tidak sama sekali. Kenekatan mungkin tengah mengoyak habis segala yang dapat dipikirkannya dengan matang, bertahap, tersusun rapi dan penuh perhitungan akan resiko.

Wah, semua itu benar-benar memuakkan.

Ia hampir kehilangan sisa miliknya selama ini, apakah Ia perlu memperhitungkan resiko lagi? Hell, never again.

Yang Ia butuhkan sekarang adalah senjata. Senjata yang sudah cukup lama tak disentuhnya lagi, yang  terkurung bersamaan dengan kepengecutannya dulu—didalam flat—tempatnya bersembunyi dan memenuhi imajinasi kehidupan normal. Jadi, dengan langkah tanpa keraguan sedikitpun Lala telah memasuki flatnya tanpa merepotkan diri untuk menghidupkan pencahayaan.

Namun, apa yang Ia dapatkan setelahnya bukanlah beberapa buah pistol sembunyiannya yang siap membidik, melainkan cekalan kuat pada pergelangan tangan dan punggungnya yang didorong kuat kearah tembok.

Lala tertawa getir, “Caramu menjijikan sekali. Apa kau begitu kerepotan bahkan untuk membereskan tiga orang? Apa seharusnya aku mati didalam ledakan itu, pengecut?” [♧]

Fugacious || ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang