"Ren, temenin gue ngukur layout, ya."
Rena mendongak dari buku cetaknya. Sesiangan ini anak-anak panitia De'Genks memang sudah ribut sana-sini karena acara De'Genks sudah masuk masa-masa sibuk. Apalagi Reynald. Cowok itu bahkan harus dispen semua pelajaran untuk mengurus vendor dan tempat.
Setelah tempatnya ditetapkan di Jiexpo, Reynald dan Raihan langsung berangkat untuk mengesahkan dan mengurus izin lain-lain. Dan setelah melewati banyak event lain di sekolah masing-masing, akhirnya kedua ketuplak itu punya satu waktu senggang bersama-sama. Yaitu, hari ini.
Yang tidak bisa hari ini, tidak masalah. Yang penting kedua ketuplak itu ada di tempat.
"Males, ah. Pasti panas di lapangan gitu."
"Ren, plis, lah. Gue udah stres banget ini."
Rena memang tidak melalui penderitaan kestresan Reynald karena Rena hanya menjadi koor kesehatan, bukan bagian penting yang mengharuskannya dispen. Jadi sampai hari ini, Rena masih santai saja belajar di kelas.
Rena menatap Reynald iba. Teman masa kecilnya itu kelihatan sekali sudah berantakan. Baju batiknya sudah keluar dari celana, rambutnya acak-acakan, dan kancing bajunya pun sudah terlepas dua, memperlihatkan kaos putih yang membalut tubuh bidangnya.
Rena menghela napas. Sepertinya dia harus merelakan ujian matematikanya besok.
"Ya udah. Jam berapa?"
Binar di mata Reynald membuat Rena tak kuasa menahan senyum. "Abis istirahat kedua. Abis ini gue mau laporan ke Pak Najib. Tunggu gue samperin, oke?"
"Iya."
Reynald duduk di sebelah Rena. "Capek banget, tahu."
"Iya, tahu."
"Kenapa sih lo nggak mau ikut gue dispen?"
"Buat apa? Gue juga nggak ada gunanya. Mending belajar di sini."
"Lo kan charger-an gue."
Rena memutar bola mata. "Ambil sana di tas."
Reynald hanya menatapnya tak mengerti, tapi akhirnya tertawa geli. Menggelengkan kepala tak habis pikir, cowok itu mengambil charger di tas Rena. Kebetulan juga baterai ponselnya sudah habis.
"Reynald!" Seseorang yang memanggil dari luar kelas memhuat Reynald mengerang keras-keras. "Ayo, udah dipanggil Pak Najib!"
"Gue nitip hape di kelas lo, ya."
Rena hanya mengangguk, lalu kembali berkutat dengan buku cetaknya.
[]
Matahari yang bersinar terik membuat Rena mati-matian membuka mata agar bisa melihat suasana di Jiexpo, calon venue tempat De'Genks closing party.
Reynald dan Raihan tampak sedang berbicara serius di tengah lapangan, ditemani BPH dan koor lain yang juga turut hadir. Hanya Rena yang merasa terasingkan di sini, berdiri bersandar di mobil Reynald karena Rena belum pernah ke sini sama sekali. Jadinya tidak tahu tempat mana saja yang adem.
Raina tidak terlihat di mana pun. Yah, Rena mengerti. Raina itu murid beasiswa. Kalau dia dispen dan absen banyak, beasiswanya akan ditangguhkan. Dan Raina tidak mau itu terjadi. Raihan juga sepertinya mengerti.
Rena menengadahkan tangan di dahi, menghalau panas matahari. Sweater yang diberi Reynald sudah disampirkan di kepalanya agar rambutnya tak terbakar sinar matahari.
Seumur-umur, baru kali ini Rena merasakan panas matahari yang begitu terik dan menyengat seperti saat ini.
Tak lama kemudian, orang-orang yang berkumpul itu bubar dan Reynald mengibaskan tangan, isyarat agar Rena mendekat ke arahnya. Rena menuruti.
KAMU SEDANG MEMBACA
scintilla
Teen FictionScintilla (n.) a tiny, brilliant flash or spark; a small thing; a barely-visible trace [] Dari dulu, status Reynald dan Rena nggak berubah. Sahabat sehidup-semati. Tapi, meskipun cuma sahabatan, mereka tetep nggak bisa menampik setitik perasaan yang...