25 :: d'competition day!

61 7 0
                                    

Hari ini, sudah genap lima hari perlombaan De'Genks dilakukan. Hari ini juga, final semua perlombaan akan dilaksanakan. Dari voli, futsal, basket, dan badminton. Karena perlombaan yang bisa memakan waktu satu hari, seperti cheerleader, band, dan fotografi, dilakukan hari itu juga. Tidak seperti empat perlombaan di atas yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk menyelesaikan sampai final.

Rena agak merasa bersalah. Sebagai anggota PMR, apalagi subbid sekaligus ketua, juga koor 1, Rena seharusnya selalu ada di lapangan saat perlombaan dimulai. Rena harus memastikan PMR bekerja dengan semestinya dan berjaga saat pertandingan berjalan.

Tapi, Reynald lagi-lagi berulah. Cowok itu semakin agresif dari hari ke hari. Sebelumnya, Reynald sudah menculik dia untuk pergi ke Bali, menghadiri acara ulang tahun perusahaan kolega. Sebelumnya lagi, mana pernah dia menculik Rena sampai seperti ini?

Tapi mendinglah, kali ini Reynald membawakan barang-barang yang menurutnya penting dan harus selalu ada di tasnya. Termasuk ponsel dan dompet. Kalau Reynald senekat itu menculik Rena tanpa membawa barang-barang berharga milik Rena, sudah dari kapan hari Rena berhenti jadi sahabatnya.

Kali ini, Reynald menculiknya ke Singapura untuk menghadiri acara pernikahan keluarga Baskoro, keluarga yang sudah menjalin persahabatan lama dengan keluarga Ferguson, juga keluarga Ferdinand. Pernikahan yang sangat-amat megah. Kedua mempelai terlihat sangat serasi dengan penampilan mereka yang maksimal dan totalitas. Dekorasinya menyilaukan, didominasi warna putih dan emas. Aulanya besar sekali, seperti stadion bola. Makanannya dimasak oleh para koki bintang lima Indonesia. Semuanya berkilau dan mewah. Undangannya juga terlihat seperti orang penting semua, memakai gaun dan high heels, tuxedo dan pantofel. Sama persis seperti acara ulang tahun perusahaan kolega di Bali tempo hari, minus pengantin. Rena jadi merasa kecil. Kalau bukan karena keluarga Ferguson dan Ferdinand di sebelahnya, mana mau Rena menghadiri acara seperti itu.

Raihan juga ada di sini karena dia termasuk keluarga Ferdinand. Kedua ketua tidak bertanggung jawab itu ... Rena tidak tahu harus memarahi seperti apa lagi agar kedua ketua itu mengerti posisi yang mereka jabat.

Pasalnya, dengan jadwal menggunung dalam kehidupan pribadinya, kehidupan sekolahnya juga mempunyai jadwal menggunung, apalagi dengan jabatan ketua pelaksana yang disandang mereka. Rena melupakan hal ini ketika Reynald dan Raihan diangkat menjadi ketua. Kalau Rena ingat, tidak mungkin Reynald dipilihnya jadi ketua.

Sudah dua hari mereka di Singapura, melewatkan dua hari pula rangkaian acara perlombaan De'Genks. Dan rencananya, besok mereka akan pulang. Tentu saja, melewatkan final party De'Genks yang sudah Rena tunggu-tunggu dari kapan hari.

Semuanya karena Reynald. Memang selalu karena Reynald. Sampai sekarang saja, Rena masih ngambek karena kejadian penculikannya ke Bali. Lalu, ditambah lagi dengan insiden penculikan ke Singapura.

"Woy, Ren." Rena menoleh. Sekarang dia sedang duduk di pinggir kolam, menikmati angin sore di tengah kolam renang fasilitas hotel.

Raihan duduk di sebelahnya. "Gue tahu dari awal loh, Raina ada di sana waktu di Rex-Dex itu."

Oh, yang waktu Raihan ulang tahun. Yah, ujung-ujungnya Raihan memang tahu dan mengantar Raina pulang. Apalagi Raina sudah teler--mengantuk, maksudnya.

"Oh, ya?" Rena merespons seadanya.

"Iya, lah! Gue kan punya aplikasi yang bisa ngelacak dia ada di mana. Dan dia ada di tempat yang sama kayak gue, di saat dia bilangnya lagi tiduran di kamar. Gue marah waktu itu, haha, tapi ya gimana, gue jadi dia juga bakalan nyusulin pacarnya, memantau situasi."

"Kalau itu mah lo cuma takut ada cowok lain yang deketin dia."

"Exactly." Raihan menjentikkan jari. "Dan gue juga ngerti dia juga nggak mau ada cewek lain yang deketin gue. Makanya gue biarin. Tapi gue khawatir banget pas hapenya low-bat. Untungnya lo mau nemenin dia."

"Tahu dari mana lo gue nemenin dia?"

"Ya tahulah, Rey nggak bakal biarin lo berkeliaran sendirian di tempat kayak Rex-Dex," seloroh Raihan. "Dan gue juga tahu omongan di kamar Rex-Dex waktu itu."

Omongan di kamar Rex-Dex? Maksudnya omongan tiga cewek nggak tahu diri itu?

"Lo keren banget, by the way. Makasih udah ngebela Raina. Tapi gue nggak pernah bilang gitu loh tentang tiga cewek di kamar itu," jelas Raihan diakhiri tawa.

Rena merasa wajahnya sudah panas sampai ke ubun-ubun. Dia memang ngasal pas membela Raina. Dia juga tidak tahu dari mana kata-kata vulgar itu bisa didapat.

"Eh, tapi lo tahu dari mana?" tanya Rena. "Gue tonjok kalau lo bilang lo ada di sana dari awal!"

Raihan meringis. "Gue emang ada di sana dari awal--aw!"

"Anjir!" Rena memukulinya membabi-buta, diiringi teriakan kesakitan Raihan. "Dasar brengsek lo, ya! Pacar lo digituin lo malah diem aja! Goblok!"

"Eh, dengerin dulu! Gue mau belain tadinya, tapi lo malah buka pintu duluan. Ya udah, gue juga mau tahu apa yang mau lo lakuin! Lo hebat, kok--ANJING! Sakit, goblok!"

"Tuh, lihat Rai, pacar lo sama sahabat gue. Nggak nyangka gue, selama ini."

Suara yang menginterupsi pertikaian mereka terdengar. Rena dan Raihan sontak menghentikan pertengkaran mereka dan menoleh ke arah sumber suara. Seperti yang sudah bisa diduga, Reynald berdiri di sana sambil mengarahkan kamera ponsel ke arah mereka.

"Raina!!!" sapa Rena sambil melambai dan tersenyum lebar, tahu bahwa yang sedang dihubungi lewat video call oleh Reynald adalah Raina--siapa lagi?

"Nggak usah sok akrab lo!" sela Reynald galak.

"Apaan sih lo, sini gue juga mau ngomong!" Rena bangkit sambil berusaha merebut ponsel dari tangan Reynald. Tapi Reynald menjauhkan ponsel itu, mengangkatnya tinggi-tinggi. Rena masih berusaha merebutnya saat ponsel itu telah raib, dan makhluk gaib yang telah mengambil ponsel itu sudah lari entah ke mana.

Rena mencak-mencak, tak terima Raina dibawa kabur begitu saja. Tapi kendati merasa sebal, dia tak ingin mengganggu momentumnya orang pacaran, walapun Rena seratus persen yakin tadi malam, atau mungkin pagi ini, Raihan sudah menghubungi pacarnya itu.

"Jalan-jalan, yuk!" ajak Rena pada Reynald.

"Eiy, udah nggak marah lagi, nih?" goda Reynald.

Rena mendengus. "Udah nggak sih, tapi status kita jadi turun satu tingkat ya, jadi temen."

"WHAT?!"

[]

Sementara di sisi lain--

"Kamu lagi ngapain sekarang?"

"Bikin sup buat Ibu." Suara di seberang sana menyahut sambil masih sibuk dengan kegiatannya di dapur.

"Kamu kok angkat panggilan Reynald sementara aku nggak!" rajuk Raihan. "Kamu udah pilih kasih sekarang."

"Loh, kamu kan udah hubungin aku tadi pagi. Sementara Rey baru kali ini. Aku juga mau ngobrol sama Rena, eh tapi ternyata kamu juga yang muncul."

Raihan masih cemberut. Raina terkikik geli melihatnya. Dan sama seperti waktu-waktu yang telah berlalu, kikikan itu berhasil membuahkan senyuman di wajah Raihan.

"Pokoknya nanti pulang kamu harus jemput aku, ya. Nanti aku suruh sopir aku jemput kamu dulu."

"Besok ..." gumam Raina. "Maaf. Kayaknya nggak bisa, Rai. Besok ada yang mau hajatan. Aku disuruh bantuin karena Ibu belum bisa bantu-bantu."

Otomatis Raihan cemberut garis keras.

"Tapi nanti aku bisa mampir kalau udah selesai. Kamu istirahat aja sebelum aku mampir, ya?"

"Tapi beneran loh, ya?"

"Masa aku bohong?" gemas Raina. "Aku mau nyuapin Ibu dulu, ya? Kamu baik-baik di sana."

"Siap!"

Dengan senyuman Raina, sambungan video itu terputus.[]

scintillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang