ex-part

244 16 0
                                    

Reynald meletakkan ponselnya dengan kesal. Rena dari kemarin tidak membalas pesannya sama sekali. Terakhir, dia hanya membalas sedang sarapan dan mengirimkan foto sarapannya seperti biasa. Tapi setelah Reynald membalas, Rena seperti hilang ditelan bumi. Bahkan pesannya tidak dibaca.

Reynald tidak ingin seperti orang freak yang mengkhawatirkan Rena setiap saat, tapi perasaan itu tetap ada dan Reynald tidak bisa menyingkirkannya. Tugas kuliahnya berantakan dan pikirannya kacau. Laptop terbuka di hadapannya, kertas berserakan di sekitarnya. Tidak ada yang beres.

Inilah kenapa Reynald tidak ingin mengambil kuliah jauh-jauh. Rasa ketergantungan ini menyebalkan.

Reynald menyugar rambutnya gusar. Diraihnya lagi ponsel, men-dial nomor Rena sekali lagi.

Mati. Ponselnya mati.

Tidak ingin menyerah, akhirnya tangannya menekan nomor mamanya di Indonesia.

"Halo, Rey?"

"Mama di mana?" tanya Reynald.

"Di Belgia."

Reynald mendesah lelah. "Rena ke mana sih, Ma?"

"Mana Mama tahu. Emangnya nggak bisa dihubungin?"

"Nggak bisa. Dari kemarin."

"Coba tanya mamanya."

"Ya udah. Mama ngapain ke Belgia?"

"Temenin papamu."

"Oke. Hati-hati, Ma."

"Iya. Kamu juga. Jangan lupa makan."

"Iya. Dah."

Panggilan terputus. Tangan Reynald menekan nomor mamanya Rena.

"Halo?"

"Halo, Ma. Ini Reynald."

"Iya, Nak Reynald. Kenapa?"

"Rena ke mana ya, Ma? Dari kemarin nggak ada kabar."

"Aduh, kamu posesif banget sama Rena. Rena lagi trip, Reynald. Mungkin nggak ada sinyal."

"Trip ke mana, Ma? Kok Rena nggak kasih tahu aku, ya?"

"Mama juga nggak tahu, Rey."

"Oh, ya udah. Makasih ya, Ma."

"Iya, sama-sama."

Reynald memutus sambungan. Ditariknya napas panjang. Trip. Trip ke mana? Sama siapa? Kok nggak ngabarin?

Pertanyaan yang berseliweran di kepalanya membuat Reynald pening. Diliriknya jam dinding. Pukul 3 sore waktu Amerika.

Memutuskan untuk refreshing, Reynald membereskan tugas-tugasnya lalu menyambar celana jeans di gantungan. Dia butuh kopi dan sepiring donat.

Mengunci pintu, ponselnya berdenting saat dia berjalan menyusuri lorong. Satu pesan dari Rena.

Jantungnya berdegup kencang.

Rena: reyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyy

Rena sent a photo

Rena: gue gak dibolehin masuk :(((((((((
Rena: padahal udh dikonfirmasi sama mama lo
Rena: trs udh ada kunci cadangan juga
Rena: tapi tetep gak boleh :((((((
Rena: lo konfirmasi dong reeyyyyyyy

Reynald mengerjap. Dibukanya lagi foto yang dikirimkan Rena. Itu betulan lobi apartemennya, kan?

Rena's calling...

Reynald sengaja hanya membaca pesannya dan mengabaikan telepon cewek itu. Biar tahu rasa.

Tapi kakinya tetap saja berlari menuju lift, jarinya menekan tombol turun dengan tidak sabaran, lalu menekan lagi tombol lobi dengan cepat. Tangan kirinya memegang ponsel yang masih menampilkan panggilan dari Rena.

Reynald tidak bisa menyembunyikan senyum lebarnya. Bibirnya seperti ingin robek dibuatnya, tapi hatinya membuncah bahagia. Reynald berusaha menormalkan napasnya. Rasa excited yang menggetarkan hatinya membuat napasnya tersengal.

Lift berhenti di lantai dasar. Reynald berjalan perlahan. Di balik dinding, tampak Rena sedang berjalan mondar-mandir di depan sofa yang disediakan di pinggir lobi. Koper berwarna abu-abu teronggok di depan sofa itu.

Reynald terlalu terperangah hingga tak menyadari nada deringnya masih berbunyi, terdengar hingga ke tempat Rena berdiri. Cewek itu berbalik badan, matanya langsung menyorot Reynald yang berdiri terpaku di sebelah meja resepsionis.

"REYNALD!" bentaknya tak santai. Reynald mengerjap. Rena tahu-tahu sudah berjalan cepat ke arahnya sambil mengentak-entakkan kaki.

"Lo dari mana aja sih?" Rena seperti mau menangis. "Gue tuh udah nungguin di sini lama, hape gue lowbat, mau ngasih surprise malah gue nggak boleh masuk! Lo lagi, tega nggak ngangkat telepon gue!"

Rena terisak-isak sampai berjongkok di depan Reynald berdiri. Reynald terkekeh senang. Pasti Rena lagi PMS.

"Biarin. Biar tahu rasa gimana rasanya dicuekin."

Rena masih berjongkok sambil terisak-isak. Reynald menghela napas. Dia tidak pernah bisa melihat Rena seperti ini.

Perlahan, Reynald ikut berjongkok di depannya. Meraup Rena dalam satu pelukan hangat. Betapa dia sangat merindukan cewek ini.

"Jangan nangis lagi, dong. Emang nggak malu, apa?"

Rena membalas pelukannya, menenggelamkan wajah di lekukan leher Reynald. "Gue capek, tahu. Abis ujian, berjam-jam perjalanan, belum makan, tidur nggak nyenyak, terus nggak dibolehin masuk juga." Rena terisak.

"Iya, tahu." Reynald mengusap punggung Rena perlahan. "Yuk, masuk."

Reynald melirik bellboy di sisi meja resepsionis. Mengisyaratkan untuk membawa koper besar milik Rena di dekat sofa. Bellboy itu mengangguk hormat.

Reynald membawa Rena bangkit perlahan. Rena masih tidak ingin melepaskan pelukannya. Jadi apa boleh buat, dia menggendong Rena seperti bayi koala.

"Kamu berat," bisik Reynald di telinganya.

Rena hanya bergumam.

"Gimana ujiannya?"

"Aku kan udah cerita."

"Iya sih, tapi aku mau denger langsung."

"Nggak mau jawab."

"Dasar." Reynald tersenyum.

Mereka tahu awal yang mereka buat seperti apa, tapi tidak ada yang tahu bagaimana akhirnya. Yang mereka tahu adalah, bahwa mereka sudah berkomitmen satu sama lain.[]

scintillaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang