Para panitia tidak tidur. Dari H-1 d-day, sampai hari ini, hari H, para panitia sudah sibuk bekerja menyiapkan segala-galanya yang dibutuhkan. Cek sound, lightning, panggung, memastikan dekorasi sudah pada tempatnya, memastikan screen sudah terpasang rapi, memastikan stand-stand sudah berdiri tegak, tanpa kekurangan suatu apa pun.
Tugas Raihan dan Reynald kali ini tidaklah sulit. Mereka hanya harus memastikan segala-galanya baik-baik saja, atau mereka harus bertanggung jawab pada setiap kerusakan yang amit-amit terjadi nanti. Jadi para ketua hanya harus mengamati dan memerhatikan pekerjaan para panitia karena setiap divisi sudah ada koornya masing-masing.
Dan dapat dipastikan 100%, kalau para koor adalah orang yang sangat bertanggung jawab.
Para panitia yang menganggap diri mereka tidak penting datang pukul 7 pagi. Itu saja harus Reynald dan Raihan ancam dulu, baru mereka mau datang pagi-pagi. Kalau tidak diancam, mungkin mereka akan datang saat Tompi sudah tampil.
"Lo udah mandi belum, Rey?" tanya Gege saat Reynald menghampiri tenda musisi.
Reynald hanya nyengir.
Gege mendengus. "Lo, Rai?"
Raihan hanya mengangkat bahu. "Ntar aja. Lo udah? Kunci hotel mana? Raina mana?"
"Masih ada Rena di hotel. Sama Raina. Gue sama Rita duluan soalnya mau ngecek lagi."
Reynald dan Raihan mengangguk, lalu pamit pergi ke hotel untuk membersihkan diri. Karena mereka belum mandi dari kemarin. Kemarin saja hanya mandi satu kali.
Mereka memang menyewa dua kamar hotel dengan pintu penghubung untuk para BPH dan Koor 1. Satu untuk cewek, satu untuk cowok. Kamar itu untuk menyimpan barang-barang mereka, juga untuk mereka beristirahat walau hanya sebentar. Meski pada faktanya, hanya segelintir yang dapat istirahat, itu pun hanya dua atau tiga jam.
Reynald dan Raihan segera pergi ke hotel setelah sebelumnya memastikan Rena dan Raina memang ada di sana.
BPH dan Koor lain yang sedang senggang juga sedang beristirahat di sana. Kamar hotel sudah seperti kamar sendiri. Baju bertebaran di mana-mana. Kertas, buku, dan proposal berserakan sana-sini. Bahkan ada kolor menggantung di handle pintu kamar mandi.
Well, setidaknya hanya di kamar cowok. Kalau di kamar cewek, semuanya terparkir rapi karena ada sosok ibu di kamar itu. Yap, Raina. Siapa lagi?
"Lo udah sarapan?" tanya Reynald saat dia menghampiri Rena untuk mengambil baju.
"Belum. Mau bareng? Katanya Raina juga mau bareng Raihan."
"Ya udah. Lo pakai sabun hotel, ya?"
"Iya."
"Baunya nggak lo banget."
"Gue males bawa-bawa. Gue cuma bawa sampo sama sikat gigi doang."
Reynald mengangguk, lalu kembali ke kamarnya untuk membersihkan diri.
[]
"Gila banget sih ini, sumpah!"
Gege berteriak di antara nyanyian Naif yang lagi seru-serunya. Rita, Rena, dan Raina mengangguk dengan mata berbinar, mengikuti alunan dan nyanyian lagu Naif, Air dan Api. Mereka berempat melompat-lompat di depan, di celah antara panggung dan pagar yang membatasi antara panggung dengan penonton. Bersama-sama dengan Reynald, Raihan, Max, dan Daniel juga. Tali ID card mereka yang berbeda warna juga berfungsi untuk para penjaga pagar mengenali VIP free pass.
Lampu sorot yang berkali-kali menyoroti wajah mereka tidak membuat mereka gentar dan lantas berpindah tempat. Mereka masih betah di situ, tempat VIP paling PW. Jarang-jarang ada panitia yang boleh ke situ, walaupun punya VIP free pass juga. Karena mereka dekat dengan sang ketua saja, jadinya mereka dibolehkan menempati yang ter-pe-we.
Jam sudah menunjukan pukul 21.45, yang berarti sebentar lagi Naif akan turun dari panggung. Semakin malam, jumlah penonton malah makin bertambah, bukannya berkurang. Sepertinya mereka ingin menonton Brian McKnight dan Jason MRaz saja.
Sejak pukul lima sore, di mana Tompi tampil, saja penonton yang datang sudah sekitar lima ribuan. Dan sekarang, kerumunan sudah bertambah banyak, sekitar 12 ribuan. Seperti kata Gege, ini sih gila banget.
Bahkan ada stasiun TV terkenal yang meliput dari belakang kerumunan.
Raihan dan Reynald menyeringai puas. Puas dengan hasil usaha mereka. Usaha dari Genina dan Patron Petromax yang berhasil bekerja sama. Usaha dari para panitia yang rela mengorbankan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk acara ini alih-alih berkumpul bersama teman-temannya atau bermalas-malasan di rumah. Usaha dari semua murid Genina dan Patron Petromax yang rela mengorbankan uangnya untuk acara besar ini.
Saat Sheila on 7 naik ke panggung, Reynald memikirkan betapa dia merasa sangat bangga dan puas, betapa dia sangat sayang dengan acara ini, betapa dia sangat menyayangi teman-temannya yang selalu mendukung dia sebagai ketua pelaksana. Lalu pandangan matanya beralih pada cewek di sampingnya, yang sedang melompat dan tertawa, bernyanyi dan menari, berteriak tanpa memedulikan semuanya. Reynald ingin sekali seperti itu. Tidak memedulikan semuanya, hanya memikirkan pesta yang ada di depannya.
Tapi, tetap tidak bisa. Dia memikirkan segalanya. Beasiswa, teman-temannya, orang tuanya, closing party, De'Genks, Genina, Patron Petromax, Raihan, Rena...
Terutama, Rena.
Reynald tidak bisa berhenti memikirkan tentang Rena. Segalanya tentang cewek itu. Bagaimana cewek itu tersenyum setengah saat Reynald melemparkan jokes garing, bagaimana cewek itu tertawa saat melihat Reynald dihina setengah mati, bagaimana cewek itu terkantuk-kantuk saat video call dengannya yang ada di Amerika, dengan perbedaan waktu begitu jauh, bagaimana cewek itu berbinar saat ada sesuatu yang disukainya, bagaimana cewek itu merengut saat Reynald memaksanya ikut ke acara-acara formal, bagaimana cewek itu selalu menemaninya dalam setiap kesempatan, dan saat Rena berkata, "Gue sayang lo, Rey."
Senggolan di bahunya membuat Reynald tersadar. Rena menatapnya sambil tersenyum lebar.
"Jangan ngelamun dong, kerja keras lo nih!" serunya, mengalahkan dentuman musik dari speaker tak jauh dari mereka.
Reynald ikut tersenyum lebar. Mulai menikmati apa yang tersaji di depannya. Kerja kerasnya. Kerja keras dengan Rena di setiap langkahnya.
Dan tanpa punya otak, kalimat itu terucap seketika.
"Gue keterima beasiswa di Manhattan."
Rena menghentikan lompatannya. Matanya membesar menatap Reynald.
"Itu bagus." Rena mengerutkan kening. "Kenapa lo ngasih tahunya nggak antusias gitu?"
"Lo nggak marah?"
"Marah kenapa?"
Reynald menyugar rambut. "Yah, kata lo waktu itu, kalau gue pergi, lo bakal marah."
"Itu kan lo bilangnya pergi dan nggak ngabarin gue sama sekali. Tapi sekarang lo ngabarin gue, kan? Lagian, lo ke sana buat sekolah. Ya masa gue marah?" Rena kembali memerhatikan Sheila on 7 yang masih tampil dengan riuh. "Tapi iya sih, gue agak kesel."
"Kenapa?" tanya Reynald harap-harap cemas.
"Lo mau pergi jauh. Jauh banget, kayak di planet lain, yang nggak bisa gue raih." Rena memberikan senyum patah. "Sedangkan gue udah terbiasa sama kehadiran lo di sini. Gue cuma ... pengin nangis rasanya."
Reynald menarik Rena dalam pelukan. Rena memeluk pinggang Reynald lebih erat. Kendati cewek itu mengatakan ingin menangis, tapi tak ada air mata yang keluar. Karena memang, Rena senang juga Reynald mau mendengarkan sarannya.
"Jangan di sini-sini aja. Gue tahu lo bisa. Jangan ngebuat gue sedih karena ngerasa jadi penghalang lo ngejar mimpi lo."
"Kapan lo berangkat?" tanya Rena sambil melepas pelukan.
"Abis UN."
"Wah, masih lama dong."
"Iya. Kurang lebih 4 bulan lagi."
Rena nyengir lebar. "Lagu kesukaan lo nih, 'Dan'."
Reynald ikut nyengir. Merangkul Rena erat sambil ikut bernyanyi.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
scintilla
Teen FictionScintilla (n.) a tiny, brilliant flash or spark; a small thing; a barely-visible trace [] Dari dulu, status Reynald dan Rena nggak berubah. Sahabat sehidup-semati. Tapi, meskipun cuma sahabatan, mereka tetep nggak bisa menampik setitik perasaan yang...