// Jovita’s point of view (POV) start.
“Jujur sejak pertama kali bertemu denganmu, aku langsung jatuh cinta. Rasa cinta ini semakin besar ketika aku mengenalmu lebih dalam. Jovita, will you be my girlfriend?”
Apakah ini mimpi? Serius Julian menembak aku? Ah, akhirnya Julian menyatakan perasaannya juga. Tak butuh waktu lama, aku segera menjawab pertanyaannya.
“Yes, I will to be your girlfriend, Julian.”
“Yes, aku diterima! Thankyou, Jovita. I love you.”
“I love you too, Julian. Nggak usah teriak-teriak, Julian. Nanti masnya dengar. Oh, iya kok kafe ini sepi? Kamu booking satu kafe?”
“Hmm… nggak. Mungkin kebetulan lagi sepi saja. Biasanya rame kok.”
“Oh, gitu.”
Julian tidak berbohong. Tak lama, pengunjung yang lain mulai berdatangan memenuhi kafe ini. Beberapa saat kemudian pesanan kami tiba.
“Jov, kita foto dulu ya?”
“Boleh.”
“Mas bisa tolong fotoin kita berdua?”
“Bisa, Pak. Satu, dua, tiga. Sekali lagi, satu, dua, tiga.”
“Makasih ya, Mas!”
“Sama-sama, Kak. Saya permisi dulu. Selamat menikmati.”
Kami pun mulai menikmati pesanan yang telah dihidangkan. Ternyata steak-nya enak seperti yang diucapkan oleh Julian. Ditambah bumbu mushroom yang meresap ke dalam daging menambah kenikmatan. Sekitar 20 menit, kami berhasil menghabiskan 300 gram daging masing-masing. Tiba-tiba saja Julian mengajakku memakan zupa soup yang belum dimakan sama sekali.
“Steak-nya sudah habis. Sekarang kita makan zupa soup-nya.”
“Bukannya zupa soup-nya hanya satu, Julian?”
“Iya, aku tahu. Kita makannya satu berdua biar romantis. Kamu nggak keberatan ‘kan?”
“Hmm… boleh juga. Aku sama sekali tidak keberatan.”
“Oke, sekarang kamu dulu yang makan. Biar aku yang suapi.”
Julian mulai menyuapi soup beserta rotinya. Ah, bahagianya! Kami pun mulai bergantian saling suap-suapan hingga tak terasa zupa soup-nya habis. Yah, kok cepat banget sih habisnya? Padahal aku masih mau suap-suapan sama pacarku, masih belum puas.
Setelah semua pesanan kami habis, Julian pamit ke kasir untuk membayar semuanya. Aku disuruh menunggu di meja hingga Julian kembali.
“Yuk, pulang!” ajak Julian sambil kembali menggandeng tanganku.
“Yuk!”
Kami keluar dari kafe tersebut dan kembali ke mobil.
“Jovitaku…” panggil Julian padaku sambil senyum-senyum.
“Kamu panggil aku apa? Jovitaku?”
“Iya, Jovitaku. Nggak apa-apa ‘kan aku panggil kamu dengan panggilan itu? Sekarang ‘kan kamu punya aku.”
“Hmm… boleh nggak ya? Boleh deh, Julianku.”
“Yes, sekali lagi makasih ya kamu sudah terima aku jadi pacar. Aku senang banget. Aku janji akan jaga kamu dan bikin kamu bahagia.”
“Iya, Julianku. Aku pegang janji kamu. Sekarang kita pulang?”
“Iya, langsung pulang saja ya? Aku takut Om Jovan marah sama aku kalau terlalu lama bawa putrinya.”
“Gimana tadi ketemu Papa? Dia galak ‘kan?”
“Iya, galak sampai aku tegang banget menghadapinya.”
Aku terkekeh mendengarnya.
“Tegang banget ya? Tapi kamu bisa menghadapinya ‘kan?”
“Puji Tuhan. Aku bisa menghadapi calon papa mertua. Ternyata dia baik kok, nggak galak. Kamu kok bilang papamu galak?”
“Maaf ya! Ini semua memang permintaan papa. Sengaja biar aku aman dari orang-orang yang berniat nggak baik. Kamu nggak marah ‘kan?”
“It’s okay, Jovitaku. Kita pulang sekarang ya?”
“Oke.”
Julian menjalankan mobilnya. Selama perjalanan, Julian kembali mengeluarkan gombalan-gombalan romantisnya. Aku sama sekali nggak menyangka dia bisa seromantis ini. Sesekali kutanya mengenai gombalannya, apakah ia ambil dari internet? Dia menjawab, “Hanya sedikit kok. Hanya lihat, pahami, dan modifikasi.”
Tak terasa, kami telah tiba di rumahku. Julian mengantarku hingga masuk untuk mengembalikanku pada papa dan mama katanya.
“Ma, Pa, aku pulang!”
“Eh, anak Papa sudah pulang. Kok keliatannya senang banget nih?” tanya papa.
“Iya, ya kok muka anak kita ceria banget,” lanjut mama
“Ada deh, nanti aku ceritakan.”
“Om, Tante. Terima kasih ya sudah mengizinkan saya pergi sama Jovita hari ini. Karena Jovita sudah saya antarkan pulang dengan selamat, saya izin pamit dulu.”
“Baiklah, terima kasih sudah menjaga putri saya dengan baik,” respon papa.
“Iya, makasih ya, Julian,” tambah mama.
“Sama-sama, Om, Tante. Jovita aku pamit ya!”
“Iya. Hati-hati di jalan, Julian.”
Julian kembali ke mobilnya dan segera meninggalkan halaman rumahku.
“Oh iya, tadi pertanyaan Papa belum kamu jawab. Kamu kenapa keliatan senang banget? Kalian berpacaran?”
“Kok Papa tahu sih? Iya, tadi Julian nembak aku. Romantis banget.”
“Ya, kelihatan dari senyumanmu, Jovita. Oh, iya dia orangnya romantis? Tapi dia nggak macam-macam ‘kan tadi?”
“Nggak sama sekali. Julian orangnya baik, Pa, Ma.”
“Iya, Mama bisa lihat Julian memang anak yang baik, tapi kamu harus tetap hati-hati ya? Tetap perhatikan batasan-batasan.”
“Siap, Ma. Jovita akan tetap berhati-hati.”
“Cie, cie. Anak kita sudah besar ternyata.”
“Iya, Ma. Papa juga nggak nyangka banget sekarang anak kita sudah punya pacar. Ya sudah, sekarang kita masuk?”
“Oke.”
Kami masuk ke dalam rumah. Aku langsung pamit ke kamar untuk beristirahat.
Tiba-tiba aku mendapat notifikasi Instagram. “Julian nge-tag aku?”
Aku membuka postingannya. “Ternyata foto yang tadi sudah dia di share.”
juliansteveananta
[[INI FOTO YA]]
Liked by kevinchristian2411 and others
Juliansteveananta Officialy J&J berpacaran! 😎🔥
17 August 2019😘
#JulianandJovita #17August2019
View all 9 comments
kevinchristian2411 Ciee selamat untuk kalian berdua @jovitaputri2508 @juliansteveananta
steveananta_ Selamat anakku😎
2 minutes ago
Aku langsung memberikan komentar pada postingan tersebut.
“Thanks for today, Julian😘” ketikku.
// Jovita’s point of view (POV) end.
Bersambung...
©2023 WillsonEP
KAMU SEDANG MEMBACA
Julian & Jovita
Teen FictionPertemuan Julian dan Jovita di koridor sekolah menumbuhkan rasa cinta di antara keduanya. Kehidupan Julian Steve Ananta, seorang yang introvert dan jarang bergaul berubah setelah mengenal cinta. ©2020-2023 WillsonEP Seluruh hak cipta dilindungi unda...