10

295 35 5
                                    

Matahari sudah mengganti posisi bulan sejak pagi tadi. Namun, sinar matahari tak begitu terik pagi ini. Awan mendung yang menyelimuti langit membuat matahari tak bisa memancarkan teriknya dengan puas.

Jam menunjukkan pukul 06.57. Seorang gadis turun dari motor yang kendarai oleh pria berjaket serta berhelm hijau.

"Ini mas," ujarnya yang sedang buru-buru hendak menyebrang.

"Eh mbak mbak," merasa dipanggil, gadis itu membalikkan badannya tak jadi menyebrang.

"Ada apa mas?" tanyanya.

"Mbak lupa kembaliannya ini mbak,"

"Buat mas aja," jawabnya yang langsung melanjutkan niatnya untuk menyebrang.

"Mbak mbak,"

"Haduhh, apa lagi mas?" jawabnya dengan kesal.

"Anu mbak, helmnya,"

Gadis itu menepuk jidatnya sendiri, kesal bercampur malu. Ia segera melepaskan helm itu dan mengembalikannya. Baru saja ingin menyebrang lagi,

"Mbak mbakk,"

"APALAGI MASS?" jawabnya lagi yang langsung membalikkan badannya.

"Bintang 5-nya jangan lupa mbak ya, terimakasih banyak mbak," ujar mas-masnya dengan tersenyum.

Gadis itu hanya menjawab dengan acungan jempol, lalu segera menyebrang untuk menuju ke gerbang sekolah.

Shit.

Gadis itu mendesah kesal seraya berusaha membuka gerbang yang sudah dikunci dari dalam itu. Tahu Pak Ikhsan sedang berjalan kearahnya, ia memohon agar dibukakan gerbang.

"Pak Ikhsan, Pak Ikhsan, tolong tolong tolong bukain gerbangnya pakk," ucapnya memohon dengan wajah sedih.

"Sebentar sebentar, saya minta izin Bu Rena sama Bu Nia dulu," jawab Pak Ikhsan yang sedang mengeluarkan handphonenya dari saku celananya.

"LHO LHO PAK, JANGAN PAK, NANTI SAYA DIHUKUM TERUS NANTI SAYA—" belum sempat menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja perempuan paruh baya berkacamata muncul dari belakang Pak Ikhsan.

"Buka gerbangnya pak," perintah Bu Rena.

'Mampus gue,' batinnya,

"Kamu, ikut saya," ujar Bu Rena. Gadis itu berjalan mengekori Bu Rena.

•••

Sesampainya di lapangan. Gadis itu hanya pasrah akan hukuman yang akan Bu Rena berikan.

"Ashila, kenapa kamu telat? Tumben-tumbennya kamu telat," tanya Bu Rena. Baru hendak menjawab,

"Bu Rena, ini bu tambah satu," itu seperti suara Bu Nia yang terdengar dari belakang Shila. Tapi Shila tak berani membalikkan badannya, ia sedang menunduk karena berhadapan dengan Bu Rena.

Shila mendapati sepasang kaki yang ikut berdiri disampingnya.

"Kamu lagi kamu lagi, apa lagi alasan kamu telat kali ini? Tidak ada kapoknya ya kamu, Rhadito."

Mendengar kata terakhir yang diucapkan Bu Rena, Shila segera mendongakkan kepalanya. Dan benar. Itu Dito. Shila kembali menundukkan kepalanya lagi. Sial sial sial, batinnya. Shila berharap semoga hukumannya tidak mengurusi berkas diruang kurikulum. Atau jika bisa hukumannya yang tidak berada didalam ruangan. Bisa gila Shila, dihukum didalam ruangan bersama Dito. Kalau bisa juga, semoga ada yang datang terlambat lagi, agar jika dihukum tidak hanya berdua.

"Saya kesiangan bu," jawabnya ringan.

"Setiap kali kamu terlambat, pasti alasannya kesiangan. Memangnya kamu kalau malam itu ngapain saja? Main?" tanya Bu Rena menaikkan nada bicaranya. Dito rasa, pertanyaan itu tak perlu ia jawab.

One And Only Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang