; Terimakasih

11.6K 739 34
                                    

Jemarinya terulur diudara menghalangi sinar mentari yang menyilaukan matanya, ditemani semilir angin sepoi-sepoi yang membuatnya dapat merasakan ketenangan dibawah naungan pohon besar dipinggir danau yang terletak dipinggiran kota.

Mudah untuk mengaksesnya, Joan hanya perlu menaiki satu kali angkutan umum, lalu berjalan beberapa ratus meter untuk sampai disana, bukan tempat wisata, namun juga bukan area terlarang.

Joan merubah tidurnya menjadi duduk beralaskan hamparan dedaunan kering yang entah sudah berapa lama menumpuk disana, ia mendongak menatap gumpalan awan putih berlatarkan birunya langit yang bergerak perlahan terbawa angin.

Memejamkan matanya sembari mengepalkan erat kedua tangannya dan menggumamkan kata per kata dalam hatinya, seolah akan ada yang mendengarkan ocehannya.

"Apakah benar Tuhan mencintaiku?"

Iya, Joan, jangan kau kira hanya karna datang masalah pada hidupmu, Tuhan membencimu, itu tidak benar, jangan mengambil kesimpulan bodoh seperti itu.

Joan Fabian Adhitya, namanya keren sekali, bukan begitu? Sama seperti pemilik namanya, parasnya menawan, hatinya lembut, hanya saja pembawaan wajahnya yang tegas itu membuat orang sungkan menyapa, jutek, katanya, padahal tidak begitu.

"Pulang, Joan, kamu ini senang sekali kelayapan setelah pulang sekolah, huh?"

Ia mendongak pada sang kakak yang datang tiba-tiba menyusulnya dengan bibir penuh omelan, seperti seorang ibu yang tengah memarahi bocah kecilnya yang ketahuan kabur untuk tidur siang.

"Nggak merugikan siapapun, Bang."

Jitakan pelan mampir dikening membuat ia mengaduh pelan,

"Merugikan Abang mu ini, harus membuang waktu tidur siang untuk mencarimu ditengah panasnya hari, cepat pulang!"

"Bawel juga Abang ya, cium mau?"

"Kamu mau Abang pukul pakai sepatu apa sandal?"

Maka dengan begitu Jeno terbahak lepas, lantas bergerak mengekori sang kakak menuju motor diparkirkan, berada dekat dengan sang kakak entah kenapa membuatnya sedikit nyaman, eksistensinya seolah ada.

"Abang, perhatiannya Abang, jangan dihilangkan, ya? Joan butuh."

Joan, hari kelahirannya dianggap sebagai pembawa dosa besar bagi keluarga besar Adhitya, kala itu, hanya karena tidak adanya hubungan pernikahan yang sah antara Ayah dan Mama.

Jadi Joan yang harus disalahkan, ya?

Dulu juga, makian dan hinaan seakan akan menjadi makanan setiap hari baginya, apalagi kalau ada acara keluarga besar yang memaksa ia untuk ikut serta, pulang-pulang ia pasti akan mendapat amarah Ayah, meski sekarang sudah tidak lagi, Ayah sekarang lebih memilih untuk mendiamkan dibanding menyiksa fisiknya.

Tapi tak apa, Joan kebal, tak sekali dua kali ia mencoba melawan, konsekuensinya jelas saja memar dibadan, tapi apa ia peduli? Tidak, asal Ayah mau mendengarkan setidaknya satu dua kata penjelasannya, tidak apa.

"Joan, turun sini, makan!!"

Melvin Adhitya, begitu orang mengenalnya, putra sulung keluarga Adhitya, yang pembawaannya dewasa, sosok kakak yang selalu Joan kagumi luar dalam, sosok yang juga ia jadikan motivasi menjalani kehidupan masa remajanya.

"Joan turun, Ayah belum pulang, cepet!"

Ah benar, hubungan Joan yang tak baik dengan Ayah pastilah diketahui semua orang dalam rumah, bisa dipastikan teriakan yang akan menggema ketika dua orang tersebut dalam ruang dan waktu yang sama.

Equanimity✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang