[ t w e n t y s e v e n ]

1.2K 103 3
                                    

"Oh, anakku, senang sekali orang tua ini saat kau mengunjungiku. Ada apa, Nak?"

Ravin berjalan tegas, sorot matanya juga menyiratkan kalau dia sedang tidak ingin bercanda sekarang.

"Kudengar, kau sudah menentukan permaisuriku," katanya langsung pada intinya.

Sang Raja terlihat malu-malu. "Hah! Si tua de Bough itu! Selalu saja tidak bisa menutup mulut. Ya, Ravin. Saat kau menghilang, Raja Kuranten berkunjung ke sini membawa anak gadisnya. Dia sudah tua, Ravin. Ingin sekali melihat anaknya menikah. Dan satu-satunya pangeran yang belum menikah hanya kau. Aku menyetujuinya."

"Tapi aku tidak!" bantah Ravin keras. "Aku tidak menyetujuinya! Aku tidak akan menikahinya!"

Sang Raja tersenyum lembut, kebapakan. "Ya. Putri Nedisa juga tidak menyetujuinya. Dia datang padaku sambil menangis, mengatakan kalau dia sudah punya pria yang dia cintai. Tapi, pria itu hanyalah rakyat biasa. Dia tidak bisa mengurusi urusan kerajaan. Aku menolak membantunya."

"Tak tahukah Ayah, kalau hidup bersama orang yang kita cintai lebih terasa hidup? Maksudku, lihat kau dan Mama. Gambaran cinta sejati. Mencintai sampai mati, kan? Sampai saat ini pun, kau tidak menikah lagi karena masih mencintai Mama. Aku pun seperti itu, Ayah. Aku tidak ingin menikahi orang yang tidak kucintai."

Raja John Malcolm tersenyum lembut, hangat. "Gadis itu, ya?"

Ravin mendengus. "Hah! Si tua de Bough itu memang tidak bisa menutup mulutnya."

Raja John Malcolm terbahak keras. Sir Trafla, yang mendengarkan dari balik pintu, hanya tersenyum geli, sebelum pergi dari sana.[]

when she met the highnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang