[ s e v e n ]

1.6K 137 0
                                    

"Renasha," Ravin memanggil Renasha saat gadis itu baru saja turun dari tangga.

Renasha menoleh. "Ya?"

"Kau serius ingin pergi berbelanja?" tanya Ravin lagi. Dia masih berharap Renasha membatalkan niatnya dan menemani dia di rumah ini saja.

"Ya, tentu saja. Memang kenapa? Kau mau ikut? Atau kau takut sendirian?" tanya Renasha heran, sekaligus meledek.

Ravin terkekeh. "Tidak. Tapi aku masih berharap kau mau tinggal dan menemaniku berkeliling danau ini."

Renasha tersenyum menyesal. "Oh, sayang sekali, King. Aku tidak bisa menemanimu hari ini. Mungkin besok. Tapi sementara aku pergi berbelanja, kau akan kuajak ke tempat persembunyianku. Mungkin kau akan lebih merasa nyaman di sana dibanding di sini."

Ravin mengangkat bahu, berusaha tenang walaupun dalam hati dia menjerit kesenangan. "Yah, terserah kau saja," katanya datar, berusaha menutupi nada senangnya. Senang karena dia tidak perlu mendekam di sini dan menghadapi adik Renasha kalau tiba-tiba gadis itu datang. Karena dia belum siap bertemu Renata. Dan selamanya pun tidak akan siap.

Renata itu seperti gadis-gadis lain yang mengincarnya. Dia akan melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang dia mau. Cara ternekat sekali pun akan dia lakukan kalau dia menginginkan sesuatu. Apalagi pangeran yang adalah ahli waris kerajaan dan mempunyai harta melimpah. Yah, Ravin tidak akan heran kalau cepat atau lambat Renasha akan tahu kebenarannya, karena di kamar adiknya terpampang lebar lukisan dirinya. Yah, setidaknya, dia berharap jangan dalam waktu dekat.

"Kalau begitu, ayo berangkat. Kau sudah siap?" tanya Renasha.

"Yah, sudah. Ayo," balas Ravin sambil bangkit, berjalan keluar dari rumah Renasha. Sembari Renasha mengunci pintu, Ravin melihat sekitar, kalau-kalau ada orang yang melihat keberadaannya di sini.

"Renasha," Ravin memanggil lagi kala mereka sudah berjalan menyusuri jalan setapak.

"Ya?"

"Kau pernah masuk ke kamar adikmu?" tanya Ravin hati-hati.

"Ah, tidak, tidak pernah. Kenapa kau bertanya seperti itu?"

"Tidak, tidak apa-apa. Kenapa kau tidak pernah masuk ke kamar adikmu?"

"Karena kamar adikku adalah daerah terlarang untukku. Entah kenapa, tapi dia selalu melarangku untuk masuk ke kamarnya. Padahal dia sendiri sering keluar masuk kamarku tanpa izin. Terakhir kali aku masuk ke kamarnya untuk membersihkan kamarnya, kami bertengkar hebat."

"Dan, kapan itu?" tanya Ravin harap-harap cemas.

"Sekitar satu bulan yang lalu. Kenapa?"

"Ah, tidak. Hanya ingin tahu. Ternyata, hubunganmu dan adikmu kurang baik, ya." Diam-diam Ravin menghela napas lega.

"Tidak baik," koreksi Renasha. "Hubunganku dengan adikku memang tidak baik. Entah kenapa, tapi dia terlihat sangat membenciku. Padahal, kalau kuingat-ingat, dulu kami sangat dekat. Apa-apa berdua, semua barang kami kembaran, dan pakaian kami pun kembaran, setiap hari. Tapi sejak, yah, kau tahu, orang tua kami meninggal, dia jadi menjauhiku."

"Apa kau selalu seperti ini kepada orang asing?" tanya Ravin penasaran.

"Seperti ini, seperti apa?"

"Seperti ini. Memberi mereka tempat menginap, mencurahkan isi hati, berbagi kesedihan dan kesenangan, dan menceritakan seluruh rahasiamu."

"Tidak," jawab Renasha salah tingkah. "Hanya kepada orang-orang yang bisa membuatku nyaman, aku akan bersikap terbuka. Dan sejauh ini, orang yang bisa membuatku nyaman hanya kau dan satu temanku. Aku pun tidak tahu kenapa aku bisa seperti ini kepadamu. Biasanya aku sangat keras terhadap orang asing."

"Jadi, kau nyaman bersama denganku?" goda Ravin, terkekeh geli. Sejujurnya, dia lega. Lega karena bukan hanya dia saja yang merasakan perasaan ini. Ternyata Renasha pun merasakannya. Nyaman.

"Ah, bukan begitu maksudku," elak Renasha dengan wajah memerah. Ravin terkekeh keras.

"Tadi kau bilang, kau nyaman denganku dan satu temanmu. Siapa dia?"

"Dia sahabatku. Jimmy, namanya. Dia sepantaran denganku, tapi rumahnya di kota. Tadinya, rumahnya di sebelah rumahku. Tapi, keluarganya berhasil mengumpulkan uang untuk membeli rumah di kota dan membuka toko roti di sana. Yah, mau tak mau dia harus ikut, dan aku harus kehilangan sahabatku, walaupun kami masih sering bertemu kalau aku punya waktu luang untuk mengunjungi toko rotinya. Tapi, yah, orang tuanya kurang suka denganku. Jadi kami lebih sering bertemu di tempat umum seperti taman kota atau perpustakaan kota."

"Jimmy," gumam Ravin, sedikit kesal. "Pria?"

Renasha mengangguk. "Pria. Tampan, dengan tubuh atletis dan warna kulit kecokelatan sempurna. Rambutnya pirang, dan yang paling kusuka, warna matanya. Biru tua kehitaman."

Alis Ravin mengerut, tak suka. "Bukankah warna mataku juga biru?"

"Ya. Itu mengapa aku sangat suka warna matamu. Biru muda, seperti air jernih yang mengalir, tenang. Dan sepertinya, aku lebih suka warna matamu dibanding warna mata Jimmy."

Ravin mengalihkan pandangan dari mata cokelat Renasha yang menatapnya intens. Dia salah tingkah, astaga. Wajahnya terasa memanas, dan tiba-tiba saja jantungnya berdetak sangat cepat, tak beraturan. Ya Tuhan, seingatnya keluarganya tidak ada yang memiliki riwayat penyakit jantung.

Ravin berdeham. "Yah, terima kasih."

Dan di sepanjang sisa perjalanan, Ravin tidak bersuara lagi.[]

when she met the highnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang