[ f o u r t e e n ]

1.3K 109 0
                                    

Sialan jam kota, berdentang terus sampai membuat Renasha tidak bisa tidur.

Dentangan jam kota menunjukkan waktu pukul dua belas malam, tapi Renasha masih belum bisa tidur. Dia masih terbayang-bayang dengan ciuman Ravin tadi. Bagaimana bibir pria itu menempel pada bibirnya, melumatnya dengan lembut, sampai akhirnya pria itu membuka bibirnya dan menginvasi seluruh bagian dalam mulutnya tanpa ampun. Duh, rasanya, Renasha tidak punya muka lagi untuk bertemu Ravin. Dia malu, bingung, dan kesal. Malu, karena dia tiba-tiba dicium seperti itu; bingung, karena dia tidak tahu cara membalasnya bagaimana; dan kesal, karena tubuhnya tidak menolak ciuman Ravin tadi. Ya ampun, pantas saja adiknya ketagihan berciuman. Yah, bukan salahnya kalau dia ketagihan, karena Renasha juga ketagihan! Ciuman Ravin tadi hebat sekali, sampai-sampai Renasha tidak ingin melepaskannya kalau saja napasnya masih kuat. Tapi karena itu ciuman pertamanya, jadi dia tidak bisa lama-lama. Lemas!

Memikirkannya saja sudah membuat wajah Renasha merona. Ugh, kalau seperti ini, Renasha tidak bisa tidur!

Dengan membawa gelas minumannya, Renasha menyeret selimut yang melingkari tubuhnya ke balkon. Dia berencana untuk duduk di sana saja, sambil melamun. Mana tahu nanti dia tertidur sendiri.

Duduk di balkon, Renasha mulai merenung. Dia menatap istana yang menyinari gelapnya malam. Bangunan kokoh dengan cat warna putih dan lampu-lampu terang menyinari gelapnya kota pada malam hari. Istana sangat indah kalau dilihat dari sini. Renasha sering mengandai-andai kalau saja dirinya seorang putri atau ratu, pasti hidupnya tidak akan sesusah ini. Pasti hidupnya akan bahagia, dengan kebutuhan tercukupi. Tapi, menilik dari cerita Ravin tentang peraturan istana yang sangat ketat itu, Renasha jadi berpikir dua kali untuk tinggal di istana. Dia jadi ragu untuk melamar pekerjaan di istana, minimal sebagai maid. Dia juga jadi ragu untuk mengambil jalan pintas, seperti yang dilakukan Ravin.

Di tengah lamunan kacaunya, seseorang duduk di sebelahnya. "Hei."

Renasha menoleh, menemukan Ravin dengan rambut acak-acakan khas seorang yang habis bangun tidur. Renasha sempat terpana sebentar, sebelum berdeham dan mengalihkan pandangan. Demi Tuhan, kenapa Ravin tampan sekali saat ini? Dan terlihat ... errr, sexy.

"Kenapa belum tidur? Tadi sudah kubilang jangan tidur malam-malam," kata Ravin.

Renasha mengedikkan bahu. "Tidak bisa tidur."

"Kenapa? Kemarin kau langsung tidur. Mungkin harus lelah dulu baru bisa tidur, ya?"

"Hm, mungkin."

"Memangnya hari ini tidak lelah?"

"Kurang," koreksi Renasha. "Aku tidak jalan-jalan jauh seperti biasanya, jelas itu kurang melelahkan bagiku. Biasanya, aku jalan-jalan seharian, lalu malamnya baru pulang. Tapi hari ini, hampir seharian aku di rumah saja."

"Hm, seperti itu." Ravin mengelus dagu. "Kegiatan apa yang bisa membuatmu lelah?"

"Entahlah."

"Aku tahu, tapi kau pasti tidak akan menyukainya."

"Apa?"

Ravin menaikkan satu alis, menggoda. "Yakin mau tahu?"

Renasha membulatkan matanya, penasaran. "Ya. Apa?"

Ravin terkekeh, mengacak rambut Renasha. "Ayo ke dalam, angin sudah mulai kencang, nanti kau sakit. Ayo tidur, aku temani."

Renasha cemberut. "Tapi bilang padaku dulu apa kegiatan itu."

Tapi rupanya Ravin tidak berniat untuk memberi tahu. "Ayo, Renasha. Nanti kau sakit."

Renasha berdecak, bangkit untuk kembali berbaring tanpa memejamkan mata. Ravin yang duduk di pinggir ranjangnya berdecak.

"Tidur, Renasha."

"Aku penasaran, King. Ayolah, memangnya serahasia apa kegiatan itu sampai kau tidak ingin memberitahuku?" Renasha merajuk.

"Tidak ada rahasia, Renasha. Tidurlah."

Dengan rasa penasaran dan kesal yang makin membesar, ia memejamkan mata.[]

when she met the highnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang