[ o n e ]

2.6K 182 1
                                    

Ravin mengikuti gadis di depannya dalam diam. Dia harus berhati-hati, agar tak ada yang mengenalinya di sini. Walaupun orang-orang yang berkeliaran di kota malam hari kebanyakan mabuk, tapi itu tidak menghapus kemungkinan bahwa ada segelintir orang sadar yang mengenalinya.

Dia hanya tak ingin Renasha tahu bahwa dirinya seorang pangeran. Dia ingin menghabiskan waktunya dengan gadis ini dulu. Sampai nanti, sampai waktu yang tidak bisa ditentukan. Sampai dia tersadar, kalau ini hanyalah kenangan biasa yang akan terhapus memori baru. Sampai dia bisa menerima kenyataan, bahwa dirinya dan Renasha tidak bisa bersama.

Karena, sejak dia menatap mata cokelat yang mengintipnya takut-takut dari balik pepohonan beberapa jam lalu, dia tahu, bahwa dirinya tak akan bisa kembali lagi ke permukaan. Dia sudah jatuh terlalu jauh ke dalam mata cokelat itu.

"Hey, jangan melamun. Nanti kau ketinggalan. Ayo, ikuti langkahku," kata Renasha, menyentaknya dari lamunan indahnya.

Ravin mengangguk, mengikuti langkah gadis itu sambil menunduk. Dia tak ingin dikenali. Tapi, pakaian dan postur tubuhnya tidak bisa disamarkan dengan apa pun.

Renasha berbelok ke sebuah jalan kecil. "Ayo. Sebentar lagi kita sampai."

Mereka berjalan dalam diam, dengan Renasha yang memimpin jalan. Ravin menatap gadis itu dari belakang. Gadis ini punya tubuh proporsional, cocok dengan wajah manisnya. Gadis ini lebih seperti seorang bangsawan daripada seorang pencuri.

Jalan kecil yang tadi mereka lewati ternyata berhenti sampai di tepi danau. Danau Houghsroff, namanya. Danau yang indah, yang biasa dijadikan tempat pariwisata di sisi lain danau.

Renasha berjalan menyusuri tepi danau, dan Ravin mengikuti. Sampai pada sebuah rumah tingkat tiga yang sudah bobrok, baru gadis itu berhenti.

"Home sweet home," gumam Renasha. "Ayo, masuk."

Ravin memandangi rumah ini dengan skeptis. Rumah ini tidak cocok untuk Renasha. Gadis itu cocoknya tinggal di mansion.

"Hey, jangan memandangi rumahku seperti itu! Kau menyakitiku, tahu!" tegur Renasha terus terang. "Ayo, masuklah. Malam semakin dingin."

Ravin mengangguk, mengikuti dengan ragu.

Masuk ke dalam rumah, ternyata rumah ini adalah hunian yang hangat dan nyaman. Di bagian depan ada sofa-sofa serta meja rendah. Di belakangnya, ada meja makan dengan empat kursi. Di belakang meja makan, terdapat dapur dan toilet. Di samping dapur, ada tangga menuju ke atas.

Renasha melepas tutupan wajahnya serta tudung yang menutupi kepalanya. Dan saat itulah, lagi-lagi Ravin tidak bisa mengalihkan pandangan.

Rambut Renasha berwarna cokelat muda, sama seperti matanya. Dikuncir kuda, tapi Ravin taksir panjangnya sampai sebatas pinggang.

"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Renasha heran. "Kau mau minum?"

"Oh, yah, boleh," jawab Ravin terbata-bata.

Renasha berjalan menuju dapur, dan Ravin mengikuti. Mengambil dua gelas besar, Renasha segera mengisinya dengan air putih.

"Maaf, hanya itu yang kupunya," katanya malu. "Ayo, kau mau istirahat setelah perjalanan panjang tadi, bukan? Bawa saja gelasnya ke atas. Kau pasti tidak mau naik turun tangga hanya untuk mengambil minum," canda Renasha, membuat Ravin terkekeh.

"Kamarmu di atas?"

"Ya. Lantai tiga. Lantai dua seluruhnya kamar adikku."

"Wow. Orang tuamu?"

"Oh, aku belum bilang, ya? Orang tuaku sudah meninggal, beberapa tahun lalu. Aku hanya punya adikku sekarang," jawab Renasha sendu. "Sudahlah. Ayo, ke atas."

"Renasha, kaukah itu?" seru sebuah suara dari atas. "Apakah kau membawa pesananku?"

Ravin mengangkat sebelah alis, sementara Renasha hanya meringis. "Ya, Renata. Ini aku."

"Kau membawa pesananku?"

"Ehm, tidak," jawab Renasha ragu, sambil berjalan menaiki undakan tangga.

"You son of a bitch! Sudah kubilang, ambil saja yang itu! Dasar kau pencuri tak berguna!" bentak Renata keras.

Renasha meringis, melempar tatapan maaf kepada Ravin. "Kau mau kukenalkan pada adikku?" tanyanya gamang.

"Tidak, sudah cukup aku mengenal adikmu dari seruan-seruan kalian tadi," jawab Ravin dengan kesal. Dia kesal dengan adik Renasha yang mau enaknya saja. Sedangkan dia hanya bersantai-santai di rumah, kala kakaknya pergi 'bekerja'. Dan lagi, dia tak ingin mengambil risiko 'dikenali', kalau-kalau Renata tahu tampang pangeran seperti apa.

Renasha mengangguk, mengerti. "Kalau begitu, ayo langsung naik ke atas."

Mereka lanjut menaiki undakan tangga, sampai ke kamar Renasha di lantai tiga. Ravin berhenti di ambang pintu, memerhatikan kamar sederhana milik Renasha. Ranjang berukuran sedang di tengah ruangan, di sebelah kanan dan kirinya ada nakas kecil serta lampu tidur. Di sebelah kanan, ada lemari besar. Di sebelah kiri, terdapat sofa panjang yang kelihatannya masih empuk walaupun sudah usang. Di sebelah kiri sofa, terdapat pintu, yang Ravin asumsikan itu adalah pintu menuju balkon. Di depan ranjang, terdapat meja belajar serta rak buku yang berjejer rapi. Di dekat pintu masuk, ada pintu lagi, yang Ravin asumsikan itu adalah kamar mandi. Di bawah, terhamparlah karpet bulu yang sangat halus, memanjakan kaki setelah seharian terkurung di dalam sepatu dan kaos kaki. Kamar Renasha juga wangi. Wangi citrus yang menyegarkan.

Singkatnya, kamar Renasha nyaman dan hangat.

"Kamarmu ... menakjubkan," komentar Ravin dari ambang pintu. Renasha, yang sedang membuka lemari untuk mengambil pakaian, menolah sekilas.

"Oh, ya? Dalam artian apa?"

"Nyaman," jawab Ravin singkat. "Hangat, tidak terkesan dingin. Dan rapi."

Renasha terkekeh pelan. "Memang seperti itu seharusnya sebuah kamar, kan? Karena kamar itu daerah pribadi, yang bisa menjadi faktor untuk menggambarkan kepribadian sang pemilik kamar. Dan aku tidak ingin menjelekkan kepribadianku. Seperti inilah kamarku, seperti inilah aku," jelas Renasha. "Ini, ambillah. Ganti sana, di kamar mandi. Mudah-mudahan muat, soalnya pakaian ayahku yang lain sudah kujual. Hanya pakaian-pakaian favoritku yang masih kusimpan. Dan kau, kau tidak akan tidur pakai pakaian seperti itu, kan?"

Ravin mengangguk, menyetujui. "Bolehkah aku sekalian mandi? Rasanya tubuhku lengket karena perjalanan jauh tadi."

"Jangan!" Renasha melarang. "Di sini tidak ada air hangat. Hanya ada air dingin, yang dinginnya seperti saat musim dingin. Nanti kau bisa sakit. Tidak, basuh saja tubuhmu, jangan mandi."

Ravin mengangguk. "Yah, baiklah. Terima kasih, Renasha."

"Renasha? Kukira nama itu kepanjangan kalau diucapkan. Kau bisa memanggilku Rena saja."

"Tidak," tolak Ravin tegas. "Renasha, Renata. Aku tidak ingin memanggilmu dengan nama yang sama dengan nama adikmu. Biarkan aku memanggilmu Renasha, atau Asha, kalau boleh?"

"Yah, terserah padamu sajalah. Ayo cepat ganti pakaian, aku juga ingin mengganti pakaianku di sini."

"Di sini?" tanya Ravin heran.

"Yah, di sini, di kamarku. Dan kau tidak boleh keluar dari kamar mandi sebelum aku selesai mengganti pakaian. Ayo, cepat."

Ravin hanya tersenyum geli, sebelum melangkahkan kaki masuk ke kamar mandi.[]

when she met the highnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang