[ t w o ]

2.1K 159 0
                                    

"Renasha?" panggil Ravin sambil keluar dari kamar mandi. Dia meletakkan pakaiannya di sofa, lalu melangkah menuju balkon untuk menikmati pemandangan di sana, sekaligus mencari Renasha. Tapi, Renasha tidak ada di balkon.

Suara pintu tertutup, lalu terbuka, mengalihkannya dari pemandangan di balkon. Dia melongok ke dalam kamar, melihat Renasha sedang membawa sebuah nampan dengan beberapa makanan di atasnya.

"Mau makan? Pasti kau lapar sehabis perjalanan jauh tadi," kata Renasha sambil meletakkan nampan di atas meja rendah. "Ayo makan. Tenang saja, aku tidak kasih apa-apa kok di dalamnya."

Ravin tersenyum geli. "Daging? Setahuku, harga daging sedang mahal saat ini."

"Ya, memang. Ini daging sudah tiga hari yang lalu, aku membelinya sisa. Tapi masih enak, kalau diolah dengan benar. Cobalah."

Ravin mengiris tipis daging di piring. Rasanya ... enak. Rasa daging.

"Enak," katanya semangat. "Kau tidak makan?"

"Tidak. Aku sudah makan sebelum ke istana tadi." Renasha berdeham. "Kau mantan pencuri? Tapi, setahuku tidak ada pencuri terdahulu yang bernama King. Kau tahu, aku tahu semua mantan pencuri di kerajaan ini, pada abad ini. Prestasinya, hidupnya, matinya, aku tahu. Tapi, King bukan nama yang familier di telingaku."

Tubuh Ravin menegang. Yah, dia memang hanya mengarang. Tapi, siapa sangka Renasha akan mempertanyakan hal seperti ini?

"Yah, aku memang bukan dari daerah sini, dulunya," jawabnya ragu. "Aku perantau. Saat orang tuaku meninggal, aku pindah ke kerajaan ini. Dan tidak banyak orang yang tahu aku. Aku bukan anak yang pandai bersosialisasi kala itu."

Well, satu kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya. Semoga saja Renasha mau memaafkannya ketika gadis itu tahu yang sebenarnya.

Renasha mengangkat bahu. "Habiskanlah. Aku ingin menyiapkan tempat tidur untukmu dulu."

Ravin mengangguk, makan dengan lambat. Daging ini enak, sangat. Tapi, nafsu makannya hilang seketika saat Renasha menanyakan jati dirinya. Dia bukan pembohong, tapi dia hanya tidak mau Renasha tahu yang sebenarnya lantas menjauhinya. Dia ingin bersama Renasha sebentar. Sebentar saja.

Sampai dia bisa menerima kenyataan bahwa dirinya dan Renasha tidak bisa bersama. Yah, sampai dia bisa meyakini perasaannya, juga.

Ravin menghela napas, membawa nampan masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu balkon. Dia melihat sudah ada kasur di lantai. Hanya kasur, tanpa ranjang. Tapi, itu lebih baik daripada tidur di sofa.

"Yah, hanya ini yang bisa kuberikan. Aku janji besok akan mencarikanmu penginapan yang layak. Atau, kau bisa kembali ke istanamu kalau mau," kata Renasha dari ambang pintu kamar mandi. Dia mengambil nampan dari tangan Ravin, membuat Ravin bisa mencium wangi citrus dari rambutnya. Gadis ini ternyata mempunyai wangi khas citrus.

"Yah, terima kasih. Ini lebih baik daripada di sofa. Dan tidak, mungkin aku akan menginap di sini selama beberapa hari. Aku tidak ingin pulang dulu. Entahlah. Rasanya bosan juga di istana tanpa boleh keluar sesuka hati," balas Ravin jengah.

Renasha terkekeh pelan. "Kau sudah ke balkon, kan? Lihat pemandangan di sana? Itu istana. Aku sengaja mengambil pemandangan istana, karena aku berharap bahwa suatu hari nanti aku bisa hidup di dalamnya. Tapi, tentu saja, itu hanya harapan. Aku tahu diri."

"Boleh kukoreksi?" tanya Ravin. "Tinggal di istana itu tidak ada enaknya sama sekali. Kau tidak boleh bertingkah sesukamu. Kau harus mengikuti perintah sang raja. Kau harus bersikap layaknya bangsawan. Kau harus ini, kau harus itu. Kau tidak boleh bersikap layaknya dirimu sendiri."

"Oh, ya?" ucap Renasha, skeptis. "Kukira di istana itu enak. Kau hanya hidup di dalamnya, tanpa melakukan apa pun, dan apa pun yang kau mau hanya minta, lalu langsung ada. Yah, mungkin cara pandang kita terhadap kehidupan di istana beda saat ini. Tidak apa. Kau pasti memaklumiku."

"Percaya diri sekali kau. Aku tidak memaklumimu. Siapa yang mau memaklumimu? Itu kau yang berbicara, bukan aku," balas Ravin angkuh.

Renasha melotot, lalu mengambil bantal untuk memukul Ravin. Ravin sudah lebih dulu memasang benteng. Dia memegang bantal pada kedua sisi, memasang kuda-kuda melindungi dirinya sendiri. Sementara Renasha terus menyerang sambil memaki-maki, Ravin malah membalasnya dengan tawa lebar.

Sampai akhirnya, Renasha ambruk duluan. Dia terengah-engah, berbaring telentang di kasur Ravin. Ravin masih berdiri, menunduk menatap Renasha sambil tersenyum mengejek.

"Menyerah duluan, Nona?" tanyanya dengan seringaian.

Renasha mengumpat, "Sialan kau."

Ravin tertawa lebar, duduk di samping Renasha. "Sepertinya, aku harus menggendong seseorang karena kelelahan sehabis perang tadi."

"Hey! Aku masih bisa bangkit dan berjalan ke kasurku. Aku masih muda, tahu!" gerutunya sebal.

"Silakan, Nona. Karena aku sudah merasa ngantuk di sini."

Renasha bangkit sambil menggembungkan pipinya dengan sebal. Dia mematikan lampu, lalu bergelung nyaman dalam selimutnya.

"Selamat malam, Renasha. Mimpi indah."

"Selamat malam, King. Ya, tentu saja."[]

when she met the highnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang