Dan di sinilah ia, di sebelah utara Danau Delta.
Benar kata Bu Ratih, di sebelah utara memang sepi. Paling banyak hanya ada dua orang yang numpang lewat. Dia berbaring di puncak bukit yang paling dekat dengan danau, memejamkan mata, menikmati semilir angin yang membelai kulitnya lembut. Anak-anak rambutnya yang lepas dari gulungan menyapu wajahnya lembut, terkesan geli. Matahari menyorot teduh, tidak panas. Burung-burung berkicau nyaring, menyempurnakan suasana pagi hari itu.
Lama dia memejamkan mata, sampai tak sadar, dia tertidur.
Bangun-bangun, matahari akan terbenam. Pas sekali, sunset di depan mata. Renasha duduk. Di sekitar danau sudah sepi. Hanya ada satu atau dua orang yang berlalu lalang. Sepanjang mata memandang, hanya ada rumput dan pohon yang bergoyang.
Oh, tidak. Tidak, bukan hanya rumput dan pohon yang bergoyang. Tapi dia melihat setitik, setitik lagi, lagi, lagi, cahaya di sekitar danau. Seperti ... seperti lentera.
Huh? Memangnya ada lentera sore-sore di danau ini? Setahunya, dari informasi yang ia dengar baru-baru ini, Danau Delta hanya memberikan kenyamanan dan kesejukan untuk para pengunjungnya. Tidak ada lentera-lentera di sekitar danau seperti ini.
Atau dia datang saat sedang ada perayaan atau semacamnya, ya?
Ah, tapi, kata Bu Ratih, di sini perayaan atau yang semacamnya sedikit. Paling setahun dua kali. Itu juga bukan pada tanggal ini.
Mengapung di atas danau, ada suatu rakit. Di atas rakit itu terdapat kelopak bunga mawar merah dan putih, serta lentera. Saat rakit itu mengapung semakin dekat, Renasha baru bisa membaca tulisannya.
Dengan kelopak bunga mawar putih yang dibentuk tulisan, dikelilingi dengan kelopak bunga mawar merah, di pojok-pojok rakit ada lentera-lentera sehingga menyinari tulisan itu.
WILL YOU MARRY ME?
Mata Renasha berkaca-kaca. Walaupun dia tidak tahu siapa yang dilamar dengan romantis begini, tetap saja dia terharu. Apalagi, tulisan itu berhenti tepat di depannya.
Siapa pria yang rela membuat semua kejutan ini untuk gadisnya? Romantis sekali....
"Wah, aku tidak menyangka kau akan menangis seperti ini."
Tubuh Renasha menegang. Suara itu, suara yang menemani malam-malam sunyinya. Suara yang terus menggaung di pikirannya, seakan tidak mau pergi dari sana. Suara yang terus menghantuinya semenjak pria itu pergi dari hidupnya.
Suara yang dirindukannya, bahkan sampai detik ini.
"Tidak mau melihatku, Renasha?"
Air mata Renasha turun tanpa dikomando. Tubuhnya masih menegang, masih duduk di atas rumput bergoyang itu. Matanya menatap nanar pada rakit yang masih ada di depannya. Bahkan untuk memutar tubuh melihat pria itu saja, pikirannya tidak mampu.
Apa yang harus dilakukannya? Berlari? Kabur dari sana? Berdiam diri saja? Atau menunggu pria itu menghampirinya?
Pikirannya kosong. Tubuhnya kaku. Lidahnya kelu. Yang bisa ia lakukan hanyalah diam dengan pikiran kosong.
Tiba-tiba, entah sejak kapan, pria itu sudah berjongkok di depannya.
"Kau begitu benci padaku sampai tidak mau melihat wajahku, ya?" tanya pria itu dengan tatapan sendu.
Begitu maniknya menatap mata yang balas menatapnya sendu itu, air matanya meluncur tak terkontrol. Isakannya mengeras, seiring dengan air matanya yang makin deras keluar. Lengan pria itu melingkari tubuhnya, membuatnya hangat seketika.
Renasha berontak. Dia memukuli dada pria itu dengan lemah, sambil terisak-isak keras. Tapi pria itu tidak melepaskannya. Malah makin mengeratkan pelukannya.
"Jahat! Kenapa saat aku ingin melupakanmu, kau hadir lagi? Kenapa saat aku sudah menata hatiku kembali, kau hadir lagi, menghancurkan hatiku? Kenapa?" serunya masih sambil terisak.
Pria itu mengeratkan pelukannya, bergumam, "Maaf."
Tidak lama kemudian, isakan Renasha memelan. Tangisannya sudah tidak sekeras tadi, tapi masih ada satu-dua tetes yang meluncur turun.
Pria itu, Ravin, merenggangkan pelukannya. Menatapnya teduh, lantas menggenggam tangannya.
"Maaf," Ravin berkata. "Tapi aku tidak bisa membiarkanmu melupakanku. Aku tidak bisa membiarkan kau berpaling padaku. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi dariku. Karena apa? Karena kau adalah rumahku. Sejauh apa pun aku pergi, pasti aku akan selalu kembali. setersesat apa pun diriku, pasti aku akan selalu menemukan jalanku untuk pulang. Karena kau adalah rumahku. Tempatku berpulang." Ravin menarik napas. "Maka dari itu, will you marry me?"
Renasha menunduk, menangis dalam diam. Sekarang, saat pria itu meminta dirinya secara langsung, apa yang harus dia lakukan? Apa yang harus dia katakan?
"Katakan sesuatu, Renasha. Kumohon. Kau ingin menggantungkanku, hm? Memangnya aku kain basah?"
Renasha terkekeh sedikit, mendongakkan kepalanya, menatap Ravin lembut. "Aku tidak bisa...."
Tubuh Ravin membeku.
"....menolakmu." Renasha tersenyum. "Karena tanpa sadar, aku juga sudah mencintaimu."
Senyum Ravin merekah. Dia segera memeluk Renasha, erat. Matanya menatap Renasha penuh cinta. Kebahagiaan. Sampai bibirnya menemukan bibir Renasha,
Saat itulah, dirinya sudah kembali ke rumah.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
when she met the highness
RomansaRenasha Rowman hanyalah seorang gadis desa yang mencoba peruntungan dengan mencuri ke dalam istana yang sedang ramai karena ada pesta dansa. Sedangkan Ravin Malcolm hanyalah seorang pemuda yang mencoba peruntungan untuk bisa kabur dari suasana mono...