Sinar matahari pagi mengenai kulit wajahnya yang sedang tertidur. Membuat si mungil Park itu mengernyit berusaha membuka mata. Mulutnya menguap lebar kemudian mencecap seperti bayi.
"Akh, punggungku pegal sekali," ujarnya seraya berusaha bangun dari tempatnya tidur. Sebelah lengan mungilnya sedikit memijat punggungnya yang terasa nyeri. Jimin berdesis menahan sakit dibuatnya.
Well, sudah biasa bagi Jimin untuk bangun dengan keadaan seperti itu setiap pagi. Dirinya tidur di loteng yang mana di tempat tersebut tak ada kasur. Semenjak ayahnya meninggal, ia dipaksa ibu tirinya untuk tidur di lantai paling atas rumah besar itu. Mau tak mau, Jimin harus menurutinya. Tidur beralas karpet tipis dan selimut yang juga tipis.
Jimin sudah selesai mandi. Rambutnya yang masih basah ia abaikan. Dirinya sudah rapi dengan seragam miliknya dan tas yang sudah ia gendong di bahu. Ia kemudian turun menuju dapur bermaksud membuat sarapan untuk ibu dan kakak tirinya. Lengan mungilnya bergerak gesit meracik semua bahan dan menggorengnya. Ia sedikit terburu-buru. Si mungil Park itu ingin segera pergi ke sekolah guna menghindari makian sang ibu tiri. Dirinya juga tak mungkin sarapan mengingat sifat ibu tirinya itu. Terlebih sang Noona, dirinya tak tahu apa salahnya hingga membuat dua orang yang seharusnya menyayanginya itu malah membencinya.
Piring terakhir sudah ia letakkan di meja makan. Kepalanya menoleh ke arah tangga. Memastikan bahwa Ibu dan kakak tirinya belum terbangun. Dirinya menghela napas lega kemudian bergegas berangkat ke sekolah.
***
Jimin tersenyum cerah. Hatinya sungguh senang sekarang. Kedua netra zamrud-nya berbinar. Si mungil Park itu baru saja melunasi biaya untuk study wisata. Dirinya bersenandung riang sembari berjalan di koridor sekolah. Mengabaikan tatapan benci dan cemoohan murid-murid lain di sekitarnya. Park Jimin terlalu senang. Baginya, mampu melunasi biaya keperluan dengan uang hasil kerja kerasnya sendiri merupakan hal yang menakjubkan. Dirinya tak perlu repot-repot meminta kepada orang tuanya seperti murid-murid kebanyakan. Tak perlu merengek untuk dibelikan ini dan itu. Ia tak lemah seperti yang dikatakan orang-orang. Ia tak manja meskipun dulu ia diperlakukan bak putri raja. Dia bisa mencari uang bahkan mampu membiayai sekolahnya. Dan pemikiran itu membuatnya semakin bersemangat.
Bruk
Jimin terjatuh. Ia baru saja berbelok kemudian menabrak seseorang yang masih berdiri di depannya. Dirinya sedikit berdesis menahan sakit di bokongnya kemudian mendongak.
Deg
Tubuh mungilnya membeku. Dirinya tak berani bergerak setelah melihat siapa yang ditabraknya. Tatapan marah dan tak suka dari orang yang ditabraknya tadi mampu membuat dirinya menahan napas. Park Jimin terlalu takut.
"M-maafka..."
Plak
Sebuah tamparan melayang di pipi kirinya. Membuat sudut bibir tebalnya sedikit robek. Jimin menahan isakannya ketika rasa panas akibat tamparan itu menjalar di pipi gembil miliknya.
"Dimana matamu, jalang?!" ujar sosok yang ditabrak Jimin tadi seraya berlutut di depannya yang kini menunduk.
"M-maafkan aku, Baekhyun s-sunbae,"
"Jangan sekali-kali kau memanggil namaku dengan mulut kotormu, Jalang!" desis Baekhyun. Teman-teman sepermainannya melihatnya dengan tatapan datar. Tak peduli dengan tingkah pemuda Byun itu yang memang nakal dan termasuk golongan badboy.
"Hiks ... M-maaf..."
Kedua netra zamrudnya ia pejamkan kuat-kuat. Jimin tak berani menatap Baekhyun yang sekarang mencengkeram kedua pipinya. Mengabaikan lelehan air mata yang mengalir melewati pipinya itu. Jimin tak berani membuka matanya. Terlebih lagi ketika ia merasakan tatapan semua orang di koridor itu mengarah padanya. Sosok Park itu tahu betul bahwa tak akan ada yang peduli kepadanya. Ia yakin sekarang ini banyak yang menatapnya tidak suka dan penuh kebencian.
