05.a

1.3K 123 33
                                    

Burung-burung berkicau tertangkap pendengaran. Sebagian terbang ada juga yang mengisi sarapan. Pagi yang cerah diawali senyuman hangat Park Jimin yang tampak semangat untuk bersekolah. Sepeda yang dikayuh tak melunturkan senyum yang tercetak di belah bibir. Sesekali menyapa orang-orang yang dilewatinya, tampak sangat sibuk untuk memulai hari] tapi sempat untuk membalas walau hanya dengan sebuah senyuman.

Hari Senin, Jimin suka hari itu. Walau ada beberapa orang yang entah mengapa sangat benci hari senin, termasuk penulis] Jimin semangat untuk memulai hari. Baginya, Senin adalah waktu di mana semua kegiatan selama tujuh hari penuh dimulai. Seperti memulai kembali lembaran baru setelah lembaran sebelumnya terisi penuh. Dan Jimin akan mengisinya dengan hal-hal yang baik walau tahu akan susah untuk menjalankannya.

Lahan sempit di sebelah pos penjaga gerbang sekolah dijadikan parkiran. Sepeda tidak bisa masuk karena sekolah tak mengijinkan. Terlebih dengan siswa yang berdompet tebal, cemoohan akan keluar jika Jimin memaksakan. Sepeda kesayangannya tidak boleh rusak lagi. Apalagi oleh orang-orang yang Jimin yakini tak punya hati. Ulang tahun ke-sepuluh, sang ayah memberikan sepeda. Kado terakhir bersama seorang ibu baru dan saudara tiri yang membuat hidupnya seperti di neraka.

Kepalanya ia tundukkan ketika memasuki gerbang sekolah. Tatapan benci dari orang yang dilewatinya memilih ia abaikan mengingat tak akan ada yang peduli padanya jika Jimin melawan. Ia berjalan, acuh terhadap bisikan-bisikan keji oleh murid lain.

Langkahnya terhenti ketika zamrud miliknya melihat tiga orang wanita berdiri angkuh di depannya. Ia tak berani, kepala semakin tertunduk dalam dengan gigitan kuat di bibir. Rasa takut semakin menguasai kala tiga orang itu berjalan mendekat, membuat kaki mungilnya melangkah mundur perlahan. Orang-orang mulai berkumpul, bermaksud melihat penderitaan—atau hiburan bagi mereka—dari Park Jimin.

"Ad-Ada apa, Noo-na?" cicitnya.

Seringai menyebalkan tercetak jelas di bibir ketiganya. Suka sekali jika melihat si mungil Park itu ketakutan. Terlebih jika takut di bawah mereka.

"Darimana kau dapatkan itu?" Dingin dan penuh kebencian. Jimin sampai menahan napas dibuatnya.

"Dapat a-apa?" Kernyitan di dahi menandakan bahwa Jimin bingung. Diliriknya Wendy yang sedari tadi menatap ke arahnya kesal. Ia juga melirik Irene dan Joy—salah satu teman Irene—yang juga menatap bingung Wendy.

"Mahkota itu..." Dahi mengernyit semakin dalam. Jimin bingung. Ia takut sekaligus penasaran.

Jimin meneguk ludahnya gugup, "M-mahkota?" Dan Jimin baru sadar, sedari tadi Wendy melihat atas kepalanya.

"Berikan itu kepadaku!" Satu langkah ke belakang menandakan Jimin kaget. Teriakan Wendy di depannya membuat ia semakin takut. Sadar atau tidak, semua orang tengah menatap Wendy dan dirinya bingung.

"Yak! Hey, Wendy. Apa yang kau bicarakan?" Pertanyaan Irene mewakili semua. Termasuk Jimin yang sudah berkaca-kaca. Wanita itu memandang Jimin dan Wendy secara bergantian. Bukan ini tujuan mereka yang sebenarnya menemui Jimin pagi ini.

"Berikan!" Pekikan sakit Jimin terdengar. Jemari lentik milik Wendy menarik rambutnya secara kasar. Jimin menangis seraya memegangi kedua tangan Wendy. Memohon ampun kepada wanita itu yang juga masih memandangi lekat atas kepalanya.

"Ampun ... huks ... huks ... noona..." Cengkeraman semakin terasa menyakitkan. Jimin masih terisak pilu sembari memegangi rambutnya yang seakan rontok. Orang-orang hanya melihat, terlebih Irene dan Joy yang kini menyoraki Wendy bermaksud mendukung.

Wendy di depannya, semakin menarik rambut Jimin bermaksud untuk membuat mahkota di kepala mungil itu lepas. Jujur, ia iri melihat mahkota mewah tersebut. Apalagi yang memakai Jimin, ia merasa tak pantas jika lelaki itu memilikinya. Maka, bibirnya menggumam, mengucapkan sesuatu. Yang mana hal itu membuat sebuah cahaya muncul dari kedua tangannya, merambat menuju mahkota cantik itu bermaksud melepaskan.

Ma Queen (Yoonmin)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang