Hari itu masih sama. Jimin terbangun, memasak sarapan, kemudian pergi menuju sekolah menggunakan sepeda kesayangannya. Sebenarnya, ada yang berbeda dari diri Park Jimin. Ia mengetahui hal itu. Hatinya berbunga-bunga entah mengapa. Padahal kemarin malam ia berada di titik terendahnya.
Pipi gembilnya merona dengan senyum lebar menghiasi wajahnya pagi itu, menyapa para pejalan kaki yang ia lewati dengan sapaan kelewat manis yang membuat siapa saja memekik gemas. Jimin memarkirkan sepedanya. Ia memasuki sekolah elit itu tanpa melunturkan senyumannya, merasa abai dengan tatapan murid lain yang——sekali lagi——menghakiminya.
Hatinya sedikit gentar, mengingat Wendy dan Baekhyun yang kemarin sempat melukainya. Tetapi itu kalah telak dengan sedikit kebahagiaan yang ia miliki sekarang. Entahlah, tapi setelah ia bangun tidur, pipinya sempat merona mengingat dirinya yang kemarin malam tidur tepat di dekapan Min Yoongi. Ugh, memikirkannya membuat ia merona.
"Minnie!" teriakan itu membuat ia sedikit berjengit, tanpa sadar tubuhnya sudah tenggelam dalam pelukan seseorang yang lebih besar darinya. "Selamat pagi, Minnie. Kau sudah sarapan?" tanyanya lembut sembari melepaskan pelukannya hati-hati.
"Uhm, y-ya Taehyung. Aku sudah sarapan," jawab Jimin memilin tali tasnya gugup. Bohong, Jimin tidak pernah sarapan. Ia merasa bahwa ia harus berbohong kepada Taehyung entah karena apa. Si mungil Park memang sudah terbiasa untuk tidak sarapan. Ia merasa bahwa ia selalu kenyang walapun setiap hari ia tak sarapan dan tak akan makan malam. Jimin kembali berjalan diikuti Taehyung yang menyampirkan lengannya di bahu si mungil.
Taehyung terlihat biasa saja sementara Jimin terlihat gugup. Melihat ke sekitar maka akan ditemukan murid-murid lain yang memandang mereka berdua tak suka, terlebih kepada Jimin. Juga beberapa ejekan yang lebih keras dari biasanya membuat Jimin merasa begitu rendah. "Jangan didengarkan, Minnie! Karena kau lebih baik daripada mereka," Jimin tersenyum kecil dibuatnya.
Seperti biasa pula, Jimin akan duduk sendiri di bangku paling belakang dekat dengan jendela. Ia sudah terbiasa sendiri. Sebelum itu, Taehyung sempat memeluknya sekali dan menggumamkan kata-kata semangat kepadanya yang membuat ia semakin canggung. Jimin tak terbiasa dengan perlakuan Taehyung yang seperti itu. Apalagi mengingat Taehyung adalah seorang ice prince yang begitu dikagumi oleh murid lain membuat ia yakin bahwa akan bertambah banyak yang akan membully-nya.
Suasana pagi itu terlihat lebih ramai daripada biasanya. Banyak murid di luar yang berteriak penuh kekaguman membuat yang berada di kelas juga ikut melihat ke jendela pun juga ikut keluar kelas. Banyak yang meneriaki seseorang dan Jimin yakin itu adalah murid baru] yang mungkin begitu mengagumkan karena membuat teman-teman sekelasnya juga ikut terpesona. Si mungil Park terlihat biasa saja, ia sudah terlalu kebal dengan kebiasaan murid lain yang akan terlihat mencari perhatian jika ada murid baru yang tampan ataupun cantik, terlebih murid baru itu adalah seorang yang kaya.
Jimin tidak seperti teman-temannya yang akan keluar kelas jika ada murid baru. Ia memilih tetap berada di dalam kelas karena ia yakin jika ia akan menjadi bahan bully di sana. Sebenarnya ia begitu tak peduli dengan kehadiran seseorang yang baru, ia hanya ingin membuat murid baru itu nyaman berada di sekolah elit ini yang terkenal dengan kepintaran dan tingkah laku murid-muridnya yang teladan.
Teladan matamu?!
Ya, setidaknya itulah pikiran orang-orang di luar sana.
Bel tanda masuk berbunyi, memaksa para siswa untuk masuk ke kelas masing-masing. Sebagian ada yang kekeuh untuk berada di luar kelas guna melihat murid baru itu. Dapat Jimin dengar ocehan teman-temannya yang mengagumi betapa tampannya si murid baru, membuat ia yang sedari tadi berada di dalam kelas sedikit penasaran akan rupa murid baru yang ia yakini sangat tampan.